35 : Problematika Hati

21 7 0
                                    

Hari ke hari berhasil dilewati, sesuai rencana. Tanpa melenceng sedikit pun.

Ya. Sudah terhitung 1 bulan. Reira berhasil menghindar dari Ravaro. Pencapaian yang sangat luar biasa, kan? Berusaha menahan diri agar tidak ke rooftop saat sedang bosan. Berusaha bangun pagi untuk membuat bekal, supaya saat istirahat dia tidak bertemu Ravaro. Setiap bel pulang baru berbunyi, dia juga langsung bergegas pulang.

Sebegitu kerasnya Reira menghindar. Terdengar pengecut memang. Tapi Reira juga tidak mau selalu merasakan sakit hati. Menyadari fakta bahwa Ravaro tidak mungkin akan membalas perasaannya.

Tapi Ravaro tetaplah Ravaro. Beberapa kali dia berusaha untuk menemui Reira. Kadang ke kelasnya bahkan sampai ke rumahnya. Namun, Reira selalu berhasil menghindar.

"Ra, kayanya gak jadi kerkel hari ini deh," ujar Jeno.

"Oh, yaudah," jawab Reira seadanya. Lagipula tugas yang diberikan deadline-nya 2 minggu lagi.

"Maaf ya,"

"Iya," katanya sambil tersenyum. "Udah sono balik,"

"Lo gak pulang?" tanyanya. "Ayo gue anter,"

"Makasih. Gue pulang sendiri aja, Jen,"

Jeno mengangguk, "Oke, gue duluan,"

Sepergian Jeno, Reira terdiam di tempatnya. Tatapannya lurus menatap papan tulis yang masih dihiasi tulisan materi Geografi. Dia menghela napas. Dia ragu. Mau pulang, tapi dia baru ingat kalau hari ini Ravaro ada jadwal ekskul basket. Sedangkan jalan menuju gerbang melewati lapangan. Haruskan dia berdiam di kelas sampai sekolah benar-benar sepi? Ah, tidak. Itu terlalu buruk.

Akhirnya dengan langkah pelan, Reira berjalan keluar kelas. Dia harus berani menghadapi kemungkinan yang akan terjadi. Sesekali Reira menghembuskan napas gusar. Hatinya merapalkan do'a semoga Ravaro tidak melihatnya.

Reira masih berjalan. Sudah mendekati lapangan. Dan di lapangan tidak ada satupun siswa klub basket yang sedang berlatih. Aman. Reira menghela napas lega. Lalu melanjutkan kembali langkahnya.

Deg.

Langkahnya terhenti. Kini orang yang dia hindari mati-matian muncul di hadapannya. Tatapannya lurus memandang dirinya. Reira mendadak mati rasa. Dia tidak bisa lagi berkutik saat Ravaro berjalan mendekat ke arahnya.

"Cukup main kucing-kucingannya, Ra," ujarnya.

Tersadar. Reira langsung mengalihkan pandangannya ke arah lain.

"Kenapa menghindar?" tanya Ravaro, masih memandang Reira yang diam, tidak menjawab pertanyaannya.

"Jawab, Ra," tukas Ravaro.

Helaan napas kecil keluar dari mulut Reira. Dia menatap Ravaro. "Buat apa lo peduli? Bukannya bagus? Lo jadi gak perlu pusing-pusing mikirin perasaan gue, itupun kalo kepikiran,"

Ravaro berdecak, "Lo pikir kenapa gue selalu cari-cari lo setelah kejadian itu?" Reira menatap Ravaro tanpa berniat untuk menjawab pertanyaannya.

"Itu karena gue gak mau kita selesai gitu aja,"

Reira tertawa miris, "Kalo lo lupa, bahkan kita gak pernah mulai apapun,"

"Pertemanan, Ra. Gue gak mau berakhir gitu aja,"

Pertemanan. Reira semakin tertohok dengan kata itu.

"Ro, kita cuma dua orang yang ketemu secara gak sengaja. Bahkan saat itu lo lagi galau karena Aqilla,"

"Hal gak sengaja yang lo maksud itu berarti buat gue,"

Apa? Berarti?

"Cukup, Ro. Jangan bikin gue naruh harap lebih lagi,"

Special Friend | When You Were Special For Me ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang