(07) Hari ini aku senang

209 27 6
                                    

Perlahan-lahan, teman-temanku yang tidak sejalan denganku pun mulai menjauhiku. Mereka menganggapku terlalu fanatik dalam beragama.

Aku duduk termenung di bawah pepohonan sambil memandang sungai, di sertai angin sepoi-sepoi. Saat itu, tidak ada siapa-siapa, aku hanya sendiri di tempat itu.

Lalu, aku pun teriak dengan sekuat-kuatnya, meluapkan segala isi hatiku.

"Mengapa semua temanku menjauhiku pada saat aku ingin menjadi hamba Allah yang lebih baik lagi?" teriakku dengan keras.

"Apakah keputusan hijrahku ini salah?!" teriakku lagi.

Tiba-tiba, ada seseorang yang menjawab perkataanku, "Mempunyai ribuan teman tidak ada gunanya jika hanya mengajak kita kepada kemaksiatan," ucap seorang lelaki.

Akupun menoleh ke belakang, Ternyata itu adalah Kak Abi. Aku sangat terkejut kala itu.

Lalu ia berkata lagi, "memang terkadang ketika kita memilih untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan tulus, kita akan menghadapi berbagai ujian dan tantangan. Tidak semua orang akan bisa memahami atau mendukung keputusan kita."

"Namun, penting bagi kita untuk tetap teguh dalam keputusan hijrah kita. Kita harus yakin bahwa Allah akan memperkuat kita dalam perjalanan ini. Saat teman-teman menjauh, Allah akan mengirimkan teman-teman baru yang sejalan dengan kita dan mendukung perjuangan kita menuju kebaikan."

"Dalam perjalanan hidup ini, terkadang kita harus menyendiri untuk mengambil napas dan merefleksikan diri. Di saat itulah kita bisa mengekspresikan segala kegelisahan dan kekhawatiran kita. Tetapi jangan pernah meragukan keputusan hijrahmu yang mulia. Ingatlah bahwa ketulusan dan keteguhan hatimu akan mendapatkan ganjaran yang lebih besar di sisi Allah."

"Sejak kapan Kaka ada di sini?" tanyaku.

"Sebelum kamu datang ke sini, Kakak sudah ada di sini," jawab Kak Abi.

"Kok Lesha baru lihat, kayaknya gak ada deh tadi," ucapku.

"Kaka dari tadi baca buku di sini, terus gak sengaja denger ada akhwat teriak-teriak," jelas Kak Abi.

Akupun tersenyum.

Perasaanku yang sedih seketika berubah menjadi bahagia saat aku bertemu dengan Kak Abi. Tak bisa dijelaskan betapa bahagianya aku. Namun, aku mencoba untuk tetap tenang agar tidak terlihat salting.

"Makasih ya Kak atas nasihatnya, Lesha jadi semangat lagi hijrahnya," ucapku dengan penuh terima kasih.

"Alhamdulillah, jadi jangan sedih dan murung lagi karena itu adalah sesuatu yang disukai setan," ucap Kak Abi.

"Hmm, iya Kak," ucapku dengan tersenyum.

Kak Abi duduk agak jauh dariku dan tidak menatapku, melainkan menatap danau. Kak Abi memang sangat menjaga pandangannya.

Tanpa sadar, aku terus memandang ke arah Kak Abi.

"MasyaAllah, nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang kau dustakan," ucapku dalam hati saat melihat Kak Abi.

"Ya Rabb, jadikanlah lelaki yang ada di sampingku ini jodohku," pintaku berdoa dalam hati.

"Astagfirullah, bukan mahrom Lesha, jangan dipandang terus, zinah mata," ucapku dalam hati, merasa bersalah.

"Kalau boleh tahu, kenapa Kakak membaca buku di sini?" tanyaku.

"Di sini suasananya tenang dan pemandangannya juga indah. Kakak gak tau kenapa hati jadi adem kalau ke sini. Ini tempat favorite Kaka," ucap Kak Abi.

"Oh ya? Lesha juga tadi lihat tempat ini kayak adem banget, makanya Lesha mampir ke sini," ucapku sambil menghirup udara yang segar.

"Lesha ke sini cuma buat marah-marah?" tanya Kak Abi seperti ngeledek.

"Huaa, jadi malu,"

"Udah gak apa-apa, lain kali kalau ada masalah, curhatlah kepada Allah ya? Karena Allah-lah sebaik-baiknya tempat untuk mengadu,"

"Iya, siap, Kak," ujar Alesha dengan antusias sambil mengangguk

"Dulu sebelum hijrah, Alesha mengira Kakak takut dengan perempuan karena sering kali menunduk saat berpapasan dengan wanita.  Namun, setelah hijrah Alesha ngerti kenapa Kenapa Kaka begitu, maafin Alesha ya Kak."

"Gapapa, Alesha. Kakak ngerti kok!"

"Dulu Kaka pernah khilaf berpacaran karna tidak menundukkan pandangan, maka dari itu sekarang Kaka menjaga pandangan."

"Kaka pernah pacaran?" tanyaku dengan rasa tidak percaya.

"Iya," jawab Kak Abi.

"Walaupun sudah mantan, ko rasanya cemburu ya," lirihku dalam hati.

"Lalu, kenapa putus?" tanyaku lagi.

"Kami berpisah karena Kaka ingin kembali ke jalan yang benar. Namun, sebelum pergi, Kaka berkomitment untuk kembali suatu hari nanti ketika Kaka sudah siap."

Seketika, tubuhku menjadi lemas dan wajahku terlihat sedih ketika Kak Abi mengungkapkan niatnya untuk melamar wanita itu.

"Lalu?" tanyaku kembali.

"Namun, saat Kaka ingin melamarnya, dia sudah menikah. Kabarnya dia terlibat dalam pergaulan bebas yang menyebabkan... Tapi sudahlah, ini aib nya yang sebaiknya ga kita bicarakan."

"Aduh, maaf ya Ka. Seharusnya Lesha ga bertanya seperti ini kepada Kaka."

"Gapapa"

"Jegarrrrrr!" terdengar suara gemuruh memecah keheningan sekitar. Langit mulai mendung, menandakan bahwa hujan akan segera turun. Hari sudah menjelang sore, dan suasana semakin teduh.

"Alesha, Kakak mau pulang. Ayo, kita pulang bersama," ajak Kak Abi.

"Iya, ka," jawabku sambil mengangguk.

Danau yang tidak jauh dari rumah kami membuat perjalanan pulang cukup singkat. Seperti biasa, Kak Abi berjalan di belakangku dengan jarak yang sesuai.

"Ya Allah, semoga suatu saat aku bisa berjalan di samping Ka Abi, menjadi pendampingnya di dunia dan akhirat," ucapku berdoa dalam hati sambil melangkah.

Tak lama kemudian, kami tiba di rumahku.

"Yaudah, Kakak langsung pulang ya. Assalamu'alaikum," ucap Kak Abi.

"Baik, kak. Wa'alaikumussalam," balasku.

Aku terus melihat ke arah Kak Abi.

Bersambung....





Hijrahku karna-Nya Bukan Karnamu [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang