Namun, mulutku terasa berat sekali untuk mengatakannya.
"Ko diem?" tanya Kak Abi.
Namun, tetap saja aku tak bisa menyatakan perasaanku, hingga akhirnya aku mempelesetkan pertanyaanku, "Maksudnya, Kaka, sendiri ngapain kesini?"
"Nenangin diri," jawab Kak Abi.
"Emm... Lagi ada masalah ya Ka?" tanyaku penasaran.
"Akhir-akhir ini suasana hati Kaka kurang baik."
"Kenapa Ka?" tanyaku.
"Karna sebentar lagi Kaka akan pergi, namun Kaka belum menyatakan perasaan ke akhwat itu. Kaka berencana ingin menyatakan perasaan kepada akhwat itu melalui surat ini, dan memintanya untuk menunggu," ujar Kak Abi sambil menunjukkan lembaran kertas yang terselip di dalam sebuah diary yang ia pegang.
"Emm, gitu ya, Ka," jawabku berusaha tegar.
Seketika saat itu, harapanku pun pudar. Badanku menjadi lemas. Bersyukur tadi aku tak jadi mengungkapkan perasaanku.
Dengan sedih, aku terdiam dalam keheningan. Aku memalingkan wajahku ke samping, berharap Kak Abi tidak melihat air mata yang mengalir di pipiku. Tanpa suara, aku mengusap air mata dengan hijabku, berusaha menghilangkan bekas sedih yang terpancar dari wajahku.
Lalu aku menarik napas dalam-dalam untuk mencoba mengendalikan perasaanku yang sedang kacau. Meskipun hatiku hancur, aku berusaha tersenyum dan berpura-pura tidak ada yang terjadi.
"Entah nanti, apapun tanggapan akhwat itu pada saat menerima surat ini. Namun, Kakak merasa lega karena sudah menyatakan perasaan ini," ucap Kak Abi.
"Em, iya, Ka," jawabku, menahan sesa
"Kak Abi, seandainya Kaka mengetahui betapa hancurnya hatiku saat ini, maka Kaka akan lebih memilih untuk tidak menceritakan hal itu kepadaku," lirihku dalam hati.
Tiba-tiba, seseorang menepuk pundakku dari belakang.
Akupun menoleh ke belakang. Ternyata, orang itu adalah Siska.
"Alesha, lo dari mana aja? Gue dari tadi nyariin lo. Ohh pantes, asyik disini, ada Kak Abi, ehemm," ucap Siska sambil pura-pura batuk.
Akupun menjawab perkataan Siska, "Gak sengaja kok, ketemu sama Kak Abi. Emang temen kamu tadi kemana?"
"Udah pulang, ayo, Al, kita pulang," ajak Siska.
"Aduhh Siska ini, orang masih mau disini juga!!" gerutuku dalam hati.
Akupun mengiyakan ajakan Siska, sebab tidak adalagi alasan untuk tetap disini.
"Iya, kami pamit duluan ya, Kak," timpal Siska.
"Iya, hati-hati ya," jawab Kak Abi.
"Ka Abi belum mau pulang?" tanya Siska.
"Kaka masih mau nulis di sini," jawab Kak Abi.
"Nulis apa, Ka Abi?" tanya Siska.
"Rahasia," jawab Kak Abi.
"Yaudah deh, kalau gak mau kasih tau! Kami juga gak rugi, Wlee," ucap Siska.
Akupun hanya tersenyum melihat mereka pada saat itu. Siska memang tipe orang yang mudah akrab dengan siapapun. Ya, bisa dibilang dia juga tipe orang yang ceria. Siska adalah satu-satunya sahabatku sejak dulu yang masih bertahan sampai saat ini. Ya, walaupun bisa di bilang Siska masih belum sepenuhnya hijrah dalam beragama, tapi aku tetap memaklumi itu karena setiap orang memiliki proses hijrahnya masing-masing.
Dan kami pun pergi dari tempat itu.
Skip -
Tiga hari kemudian...
KAMU SEDANG MEMBACA
Hijrahku karna-Nya Bukan Karnamu [End]
Teen Fiction~Alesha Khumairah Setiap kita yang sudah berhijrah tentu punya alasan di balik hijrahnya. Apapun itu, jadikanlah Allah yang utama sebagai alasan di balik hijrahmu, agar hatimu tidak kecewa nantinya. ~Muhammad Abi Ghazali Jika engkau mencintai seoran...