(22) Hari setelah kepergiannya.

157 20 12
                                    

13.30 WIB.

Akupun pulang sekolah. Saat di perjalanan pulang ke rumah, di sepanjang jalan, aku terus saja melamun memikirkan tentang Kak Abi.

"Hem, rasanya lama sekali. Hari ini aja belum satu hari kepergiannya, tapi kok rasanya udah lama banget ya?" ujarku dalam hati.

Dan tak sengaja, aku melihat sepasang suami istri yang sedang jalan bergandengan melewatiku.

"MasyaAllah, kapan ya aku bisa kayak gitu, sama Kak Abi? Aaa, kayaknya indah banget," hayalku.

Tiba-tiba, seseorang dari belakang menghampiriku dan berkata, "Pengen ya?"

Akupun reflek menoleh dan melihat, ternyata itu adalah Gavin. "Apasih!" ketusku.

"Yaudah, gandengan ama gue aja, di pelaminan," goda Gavin.

"Apasih, Vin, dasar modus!!" lalu, akupun berjalan dengan cepat.

"Lo belum maafin gue ya?" tanya Gavin sambil mengejarku.

"Udah, udah, Gavin! Udah di maafin ko. Allah aja maha pengampun, masa aku engga!" tegasku.

"Makasih ya, Al. Lo emang bidadari... Eh, btw, cuaca hari ini cerah yaa," ujar Gavin mencoba mencari topik obrolan.

"Hmm, ya," jawabku dengan mimik wajah yang sedih.

"Lo kenapa sih, Al? Dari tadi kayak galau gitu?" tanya Gavin.

"Gapapa, Vin."

"Hayoo... Lo galau gara-gara cowo kan?" tuduh Gavin.

"Apaansih, Vin!"

"Jangan sampe lo galauin cowo yang ga halal buat lo, Lesha. Galaulah karna dosa!" nasihat Gavin.

"Tumben sih, Gavin bijak," ungkapku dalam hati.

"Apa-apa?" ujarku, meminta Gavin mengulangi kata-katanya.

"Iya, maksudnya jangan galau hanya karena dia yang gak halal buat lo, tapi galaulah karena ingat dosa-dosa," jelas Gavin.

"Makasih ya, Vin."

"Hah? Ini beneran?" tanya Gavin memintaku mengulang kata-kataku.

"Ga! Cuma angin lewat," jawabku.

"Sama-sama, Al. Gue ga budek kok! Gue cuma pengen lo ngulang kata-kata lo aja, soalnya lo kalo ngomong gitu manis banget," ujar Gavin dengan senyum lebar di wajahnya.

"Mulai, gombal!"

"Ga, gombal kok! Yaudah, mulai sekarang kita temanan ya?" pinta Gavin.

"Iya-iya, terserah," jawabku.

Dan tanpa terasa, kamipun sampai di depan rumah.

"Yah, udah sampe aja... Gue duluan ya, Lesha," ujar Gavin berpamitan.

"Iya," jawabku.

"Assalamu'alaikum, ukhty," salam Gavin padaku dengan tersenyum manis.

"Wa'alaikumussalam," balasku.

"Apa, Gavin benar-benar mau berubah ya... Ah, udahlah!" ujarku dalam hati, lalu aku pun masuk ke dalam rumah.

-Skipp-

15.00 WIB

Saat itu, aku melihat keluar jendela kamarku.

Aku melihat Gavin sedang bermain bersama anak kecil. Ia nampaknya penyayang anak kecil.

"Kalau dilihat-lihat, bener juga ya, Gavin itu ganteng," ucapku dalam hati sambil tersenyum.

Lalu aku melihat segerombolan gadis lewat di depan Gavin. Gadis-gadis itu nampaknya melirik-lirik Gavin, namun Gavin tak melirik gadis-gadis itu.

"Ternyata dia ga seburuk yang aku kira," ucapku dengan tersenyum saat melihat Gavin dari jendela.

Tiba-tiba, terdengar suara pintu yang dibuka dan Kak Reza masuk ke dalam kamarku.

"Alesha, Kakak mau ngomong sesuatu," ucap Kak Reza.

"Ngomong apa Kak?" tanyaku penasaran.

"Eeem, gimana ya," ucap Kak Reza ragu.

"Ngomong aja Kak, jangan malu-malu," pancingku.

Kak Reza menghela nafas dan melanjutkan dengan agak terbata-bata, "Alesha, Kakak malu. Kakak gabisa ngaji, sedangkan akhwat yang Kakak suka jago ngaji. Alesha... Kakak benar-benar mau hijrah,"

"MasyaAllah, Alhamdulillah. Akhwat itu bisa jadi perantara buat Kak Reza hijrah," ucapku dalam hati.

"Ya udah, Kakak coba belajar ngaji di masjid," saranku.

"Aduh, Kakak malu banget deh kalo belajar ngaji di masjid. Apalagi Kakak harus mulai dari Iqra satu," keluh Kak Reza.

"Gak apa-apa, Kak. Terlambat lebih baik daripada tidak sama sekali. Ngapain harus malu buat belajar agama? Orang-orang pamer maksiat aja gak malu, lah kita mau belajar agama kok malu" nasihatku.

"Hem, iya sih, kalau sama kamu gimana, plis Alesha, ajarin Kakak," ucap Kak Reza memohon.

"Hmm, gimana ya? Yaudah deh, Alesha mau. Gimana kalau kita belajar ngaji setiap habis Maghrib,"

"Siap, Ustadzah," jawab Kak Reza, sambil menggodaku dengan sebutan Ustadzah.

"Hehe, Aamiin," balasku.

Akupun berkata lagi pada Kak Reza, "Kak, tapi niatin hijrah Kakak karna Allah ya, bukan karena manusia?"

"Iya, adikku sayang,"

[Skipp]

Pukul 18.15 WIB

Akupun sholat Maghrib berjama'ah bersama Kak Reza, karena hanya kami berdua yang sudah siap untuk sholat. Yang lainnya masih sibuk dengan kegiatan masing-masing. Hem, seperti itulah keluargaku yang masih awam dalam beragama.

Sesudah sholat, aku mengajari Kak Reza mengaji. Aku melihat betapa bersemangatnya Kak Reza dalam belajar mengaji.

"Semoga Kak Reza tetap istiqomah," doaku dalam hati.

Kami terus mengaji hingga waktu Isya' tiba. Tak lama kemudian, adzan Isya' berkumandang.

Aku dan Kak Reza segera melaksanakan sholat Isya'.

Setelah selesai sholat, Kak Reza berkata padaku,

"Alesha, kasih Kakak motivasi dong tentang hijrah," pinta Kak Reza.

Akupun memberikan motivasi kepada Kak Reza tentang hijrah. Hingga 15 menit pun berlalu...

"MasyaAllah, makasih ya, adikku, buat motivasinya," ujar Kak Reza berterimakasih.

"Iya, Kak. Kalo ada yang mau ditanyain tentang agama, tanyain aja ama Lesha. InsyaAllah, selagi Lesha bisa, Lesha akan jawab,"

Dan kami pun melipat sajadah. Setelah shalat, aku mencari udara segar dengan duduk di teras rumah.

"MasyaAllah, indahnya langit malam ini. Banyak bintang," ucapku sambil merenung dan berpikir. Aku membayangkan bahwa saat ini Kak Abi juga mungkin sedang menatap langit yang sama di malam ini.

"Coba aku cek WhatsApp-nya ah, aktif apa engga," ucapku sambil mengambil ponsel dan membuka aplikasi WhatsApp. Aku mencari nama Kak Abi dalam daftar kontak dan melihat status aktivitasnya. Ternyata, terlihat bahwa Kak Abi terakhir terlihat online kemarin.

"Hmm, Kak Abi ga aktif," ujarku dengan mimik wajah yang sedih.

Tiba-tiba, aku melihat Gavin pulang dengan menggunakan sepeda motor. Ia mengenakan baju koko, sarung, dan juga peci.

"Dari mana ya dia, mungkin habis sholat Isya' di masjid. Kenapa ya, setiap kali lihat Gavin pulang dari masjid, aku jadi teringat dengan Kak Abi," batinku.

Gavin menegurku, "Ngelamun terus, gak baik lho..."

"Hmm, nggak ko! Engga ngelamun,"

Gavin pun duduk di kursi yang ada di teras rumahnya. Karena rumah kami bertetangga, kami bisa mengobrol dari teras rumah masing-masing.

Bersambung....


































Hijrahku karna-Nya Bukan Karnamu [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang