Akupun menghantarkan Ibunya, Gavin, pulang ke rumahnya...
Sesampainya di depan rumah, aku berkata, "Ibu, mampirlah ke rumah Lesha. Mama sudah masak, kita bisa makan bareng-bareng."
"Iya, makan di rumah kami aja, Mbak," ajak Mamaku.
Mamaku sudah mengetahui tentang Gavin.
"Gapapa, Ibu mau kerumah Ibu saja," jawab Ibunya Gavin dengan wajah yang pucat, dan ibunya Gavin pun langsung masuk ke dalam rumahnya.
Aku dan Mama hanya diam saja, mungkin Ibunya Gavin memang sedang ingin sendiri.
Setelah aku dan Mama masuk ke dalam rumah, aku langsung menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah selesai mandi dan sholat, aku mulai bersiap-siap untuk pergi ke rumah Ibunya Gavin lagi untuk melihat bagaimana keadaannya. Saat itu, aku masih sangat sedih dan berduka atas kepergian Gavin. Di dalam laci, aku melihat gelang yang ditemukan oleh Siska waktu itu, yang katanya milik Gavin. Tanpa berpikir berfikir panjang, aku mengambil gelang tersebut.
"Apa benar ini punya Gavin? Inisialnya G dan A, apa ini namaku dan namanya? Gelangnya sangat cantik," ucapku dalam hati.
Seketika air mataku menetes, lalu aku pun memakai gelang itu dan pergi ke rumah Ibunya Gavin.
"Tok, tok, tok," aku mengetuk pintu rumahnya Ibu Gavin.
Ibunya Gavin membukakan pintu, wajahnya masih sangat berduka.
"Ibu udah makan?" tanyaku dengan cemas.
"Sudah, Nak," jawab Ibunya Gavin.
Ibunya Gavin terus saja melihat ke arah tanganku, lalu Ibunya Gavin pun duduk, lalu ia menangis.Lalu aku duduk di sampingnya dan berkata, "Ibu, sudah jangan menangis."
"Bolehkah Ibu berbicara jujur padamu?" ucap Ibunya Gavin.
"Iya, boleh, Bu," ucapku.
"Alesha, maafkan sikap Ibu akhir-akhir ini. Sesungguhnya, Ibu sangat kecewa ketika mengetahui kamu akan menikah, karena Ibu ikut merasakan apa yang Gavin rasakan. Gavin sangat mencintaimu, begitu ia tahu kamu akan menikah, ia sangat bersedih dan kecewa. Gavin selalu menceritakan tentangmu kepada Ibu. Kamu adalah wanita pertama yang di ceritakannya kepada Ibu. Kamu tau gelang yang kamu pakai itu? Itu adalah gelang yang Gavin buat khusus untukmu, itu adalah gelang hasil desainnya dan di pahat oleh pemahat profesional," ungkap Ibunya Gavin sambil menangis
Akupun memeluk Ibunya Gavin.
Lalu akupun berkata sambil menangis, "Ibu, maaf, maafin Lesha yang gak bisa menerima cintanya Gavin."
"Gapapa nak, mungkin ini sudah takdir," ucap Ibunya Gavin sambil menangis.
Akupun melepas gelang itu dan ku berikan kepada Ibunya Gavin lalu aku berkata, "Ibu waktu itu temen Lesha nemuin gelang ini di toko dan ia kasih gelang ini ke Lesha, Lesha ingin menanyakannya pada Gavin apakah ini gelangnya, tapi Lesha lupa."
"Simpan aja itu untukmu. Gavin membuat gelang ini 2, satu untukmu dan satu untuknya. Yang satunya dipakainya ketika ia ingin pergi tadi," ujar Ibunya Gavin dengan sedih.
Akupun merasa sangat sedih. Air mataku jatuh tak tertahan.
Aku menangis sambil memeluk Ibunya Gavin.[Skipp]
Malampun tiba, aku keluar rumah dan melihat ke arah langit.
Lalu aku berkata, "Gavin, kuharap kamu bahagia di sana. Lihat ini, Lesha sudah memakai gelang yang engkau buat. Gelang ini sangat cantik."
Lalu akupun menoleh ke samping.
"Gavin, biasanya engkau selalu menemaniku mengobrol di teras ini," ujarku dengan sedih, lalu akupun masuk ke dalam rumah.
1 Minggu kemudian...
Sudah seminggu tak ada kabar tentang penemuan mayat Gavin. Kami sudah berusaha bolak-balik ke tempat evakuasi.
Kabar beredar bahwa pesawatnya terbakar saat jatuh di laut lepas dan tidak ada penumpang yang selamat. Hari demi hari, aku terus datang ke rumah Ibunya Gavin untuk menghiburnya. Aku berusaha mengembalikan senyum yang hilang dari wajah Ibunya Gavin, meskipun aku sendiri masih merasa sangat sedih atas kepergian Gavin.Kini, Ibunya Gavin sudah mulai mereda dan belajar menerima kenyataan jika seandainya benar-benar Gavin tidak selamat. Namun, Ibunya Gavin tetap berdoa semoga terjadi keajaiban, karena masih ada setitik harapan. Mayat Gavin belum ditemukan. Kami hanya bisa berdoa kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala.
"Nak, anggap Ibu ini sebagai Ibumu sendiri, ya," ujar Ibunya Gavin.
"Iya, Bu. Alesha juga akan sangat bahagia jika Ibu mau menganggap Alesha seperti anak Ibu sendiri," balasku.
Lalu kami pun berpelukan.
Besok adalah hari pernikahanku dengan Kak Abi. Aku harus tetap melanjutkan pernikahanku walaupun saat ini aku masih berduka, karena sebelumnya kami memang sudah merencanakan pernikahan ini.
Kini aku sedang duduk sendirian di taman, menikmati angin sepoi-sepoi yang berhembus.
"Wussssshh, wusshhhh," suara angin berhembus.
Saat itu aku melamun. Tiba-tiba seseorang datang duduk di sampingku, akupun menoleh kesamping ternyata itu adalah Kak Abi.
"Assalamu'alaikum," tegur Kak Abi.
"Wa'alaikumussalam," jawabku.
"Gak baik ngelamun,"
"Nggak, kok nggak ngelamun,"
"Alesha, makasih ya,"
"Makasih, untuk apa Kak?"
"Karna kamu udah mau menunggu Kaka,"
"Iya, Ka. Berterimakasihlah kepada Allah karena Allah yang menyatukan kita," jawabku.
Tiba-tiba, saat kami sedang berbicara, terdengar suara gemuruh, "Jegaaarrr!"
Aku dan Kak Abi pun memutuskan untuk pulang, takut ada kejadian yang tak di inginkan. Ketika aku sampai di rumah, Mamaku langsung meneriaki, "Alesha, tangannya belum dipasangi henna, ayo kesini!"
"Iya, Ma. Alesha ke kamar mandi dulu, cuci kaki," ujarku.
Lalu, aku langsung pergi ke kamar mandi. Setelah selesai dari kamar mandi, aku langsung menemui Mamaku.
"Ayo, nak, pasang henna dulu," ujar Mamaku.
"Iya, Ma," jawabku.
Dan Mamaku pun memasangkan henna di tanganku. Mamaku memang pintar melukiskan henna di tangan.
"Alesha, kenapa?" tanya Mama, yang melihatku gugup.
"Alesha gugup, Ma, dengan acara besok," jawabku.
"Bismillah, ya sayang. Mama juga pas mau nikah sama Papa kamu dulu, Mama juga gugup," ujar Mama sambil tersenyum.
Setelah 1 jam, akhirnya Mamaku pun selesai.
"Wah, cantik banget ini, Ma," pujiku.
Mamaku tersenyum dan berkata, "Udah jangan gerak-gerak ya, nanti henna-nya rusak."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hijrahku karna-Nya Bukan Karnamu [End]
Teen Fiction~Alesha Khumairah Setiap kita yang sudah berhijrah tentu punya alasan di balik hijrahnya. Apapun itu, jadikanlah Allah yang utama sebagai alasan di balik hijrahmu, agar hatimu tidak kecewa nantinya. ~Muhammad Abi Ghazali Jika engkau mencintai seoran...