(32) Rencana Allah.

159 17 0
                                    

Keesokan harinya, pada jam 3 sore, aku duduk di tepi danau. Suasananya sangat sejuk dengan angin sepoi-sepoi yang bertiup. Aku duduk sambil menulis di buku diary.

-Dear Diary-

Terlahir dari keluarga yang awam agama, itu adalah takdir. Namun, untuk menjadi hamba Allah yang taat, itu adalah pilihan. Dulu, sebelum aku mencapai titik hijrahku saat ini, hidupku terasa kosong, seakan ada yang hilang, tapi tidak tahu apa.

Hingga pada akhirnya, Allah mempertemukanku dengan seseorang yang membuatku termotivasi untuk berhijrah. Aku pikir aku sudah benar-benar berhijrah, namun kenyataannya, niatku salah dalam berhijrah. 

Hingga akhirnya aku sampai pada titik di mana aku merasakan kecewa seberat-beratnya. Aku menyadari bahwa pada saat itu, alasan utama aku berhijrah hanyalah untuk mendapatkan cinta manusia.

Namun, di setiap kejadian pasti ada hikmahnya. Allah tidak salah dalam memilih kita berada dalam suatu kejadian. Dari kejadian itu, aku belajar bahwa ketika kita menggantungkan harapan kepada manusia, kita akan selalu merasakan kekecewaan.

Pertemuan aku dengan Kak Abi menjadi satu contoh yang menggambarkan hal tersebut. Mungkin, dia adalah perantara yang Allah kirimkan dalam hidupku untuk membantu aku mendekatkan diri kepada Rabbku. Melalui perjalanan ini, aku mulai memahami bahwa cinta dan kebahagiaan sejati hanya dapat ditemukan dalam hubungan yang teguh dengan Allah.

Ternyata rencana Allah memang indah. Di saat aku fokus memberbaiki diriku tanpa berharap kepada selain-Nya. Allah mendatangkan Kak Abi kepadaku, Allah  menunjukkan bahwa tempat terbaik untuk berharap hanyalah kepada-Nya. Dengan mengandalkan Allah, apapun ketetapan-Nya, kita tidak akan pernah kecewa.

Kisah ini mengingatkanku pada kisah Zulaikha dan Yusuf. Ketika Zulaikha mengejar cinta Yusuf secara duniawi, Allah menjauhkan Yusuf darinya. Namun, ketika Zulaikha mengalihkan perhatiannya untuk mengejar cinta Allah, Allah mempertemukan Zulaikha dengan Yusuf.

Hal ini mengajarkan kita bahwa ketika kita mencari cinta dan kebahagiaan yang sejati, kita harus mengarahkannya kepada Allah. Allah akan membimbing kita dan memberikan yang terbaik dalam hidup kita, sesuai dengan kehendak-Nya.

-Alesha Khumairah
_______________________________________
Saat aku sedang asyik menulis, tiba-tiba seseorang duduk di sebelahku. Akupun menoleh ke arahnya.

"Assalamu'alaikum, Ukhty," sapa Gavin dengan tersenyum.

"Wa'alaikumussalam, kebetulan ada kamu, Gavin," balasku.

"Iya, kenapa? Sebenarnya aku sengaja kesini," ujar Gavin.

"Aku mau ngomong sesuatu," jawabku.

"Sama aku juga," ujar Gavin dengan wajah yang serius.

"Yaudah, kamu duluan aja," pintaku.

"Entah ini kabar baik atau kabar buruk bagimu, tapi sungguh aku sudah tak bisa lagi menyimpannya sendirian," ucap Gavin.

"Ngomong aja, gapapa," pancingku.

"Alesha, sesungguhnya aku menyukaimu, aku mencintaimu. Aku ingin melamarmu di depan orang tuamu. Jujur, sejak dulu aku ingin mengungkapkan isi hatiku, tapi aku masih menunggu waktu yang tepat, dan mungkin ini adalah waktu yang tepat," ungkap Gavin.

Aku yang mendengar ungkapan dari Gavin merasa terkejut.

"Bagaimana bisa? Berarti selama ini wanita yang dia cintai adalah aku," ujarku dalam hati.

"A-apa?" jawabku dengan gugup, hatiku berdebar kencang.

"Sungguh, saat ini aku sudah mengumpulkan niatku untuk berbicara hal ini kepadamu," ujar Gavin serius.

Saat itu, kami duduk bersebelahan, tapi tetap menjaga jarak di antara kami. Terasa ada ketegangan yang mewarnai suasana.

"Jujur, sejak awal aku bertemu denganmu, aku merasa hidupku lebih berwarna. Engkau yang menginspirasiku untuk memperdalam ilmu agama, dan dari situlah hidupku terasa berwarna ketika mulai berhijrah," ujar Gavin mengungkapkan isi hati.

Saat itu, Gavin berbicara dengan begitu serius. Baru kali ini aku melihat Gavin berbicara dengan serius seperti itu.

Sejujurnya, aku pun memiliki perasaan yang sama terhadap Gavin. Bagaimana tidak, setelah Kak Abi pergi, Gavin selalu mengisi hari-hariku dan memberikan dukungan dalam setiap langkahku.

Saat itu rasanya aku ingin menangis, namun aku menahan air mataku, Namun, akhirnya air mataku tak terbendung lagi. Air mataku jatuh membasahi cadarku, mencerminkan kebimbangan yang ada di dalam hatiku.

"Maaf, Gavin. Semalam Lesha sudah dilamar oleh Kak Abi. Iya, Kak Abi adalah seseorang yang Lesha ceritakan waktu itu. Semalam, dia datang membawa orang tuanya, dan Lesha menerimanya. Dua minggu lagi, kami akan melangsungkan pernikahan. Sesungguhnya, Lesha memiliki perasaan yang sama terhadapmu. Namun, jika Allah berkehendak lain, kita tak bisa berbuat apa-apa. Mungkin Lesha bukan yang terbaik untukmu," ucapku dengan

Aku melihat ke arah Gavin. Dia meneteskan air mata. Dia nampak sangat sedih. Baru kali ini aku melihat Gavin sesedih ini.

"Kata hatiku mengatakan aku juga mencintaimu, namun mulutku hanya bisa berkata,'Maaf'" ujarku dalam hati.

"Gavin, jangan menangis hanya karena Lesha. Air matamu berharga, tolong jangan membuat Lesha semakin merasa bersalah," ujarku dengan sedih.

"Aku bukan menangis karenamu, namun aku menangis karena aku merasa begitu pengecut menjadi lelaki. Aku tak kunjung berani untuk melamar, hingga pada akhirnya aku kalah duluan dengan lelaki lain," ujar Gavin dengan suara serak, penuh penyesalan dalam kata-katanya.

"Untuk apa disesali? Jadikanlah ini sebagai pelajaran," ujarku dengan raut wajah yang sedih.

"Lalu, apa yang ingin kamu katakan tadi?" tanya Gavin.

"Yang ingin Lesha katakan tadi adalah jawaban dari ungkapan hatimu tadi," jawabku.

Air mata Gavin terus mengalir. Aku bingung harus berbuat apa. Tiba-tiba, rintik hujanpun mulai jatuh.

"Gavin, ayo pulang. Sudah turun rintik hujan, sepertinya hujan akan turun sangat deras. Langit juga sudah gelap," ajakku dengan kepedulian.

"Aku masih ingin tinggal di sini," jawab Gavin bersikeras.

"Gavin, ayolah, jangan begini. Lesha jadi sedih melihatmu seperti ini," bujukku terus.

Namun, Gavin tetap bersikeras untuk tinggal di sana. Dia terlihat hancur dan penuh kebingungan. Aku merasakan bahwa ia membutuhkan waktu untuk merenung dan mencari jalan keluar dari keadaan yang rumit ini.

Hujan terus mengguyur dengan intensitas yang semakin deras. Segera setelah menyadari hal itu, aku mengambil payung yang kubawa di dalam tas dan membukanya untuk melindungi diriku dan juga Gavin dari rintikkan hujan yang tak henti.

"Vin, ayo kita pulang," aku terus membujuk Gavin.

Gavin tetap terdiam, ekspresinya terlihat sedih dan penuh pertimbangan.

"Baiklah, kalo gak mau pulang, Lesha akan lepas payungnya," ancamku.

Akupun melepaskan payungnya dan menaruh payungnya di samping Gavin. Lalu akupun pergi dengan berhujan-hujanan.

Aku terus berjalan tanpa menoleh kebelakang.

Tiba-tiba seseorang datang memayungiku, aku menoleh, dan ternyata itu adalah Gavin.

"Lesha, setidaknya kamu tidak sakit di hari pernikahanmu nanti," ujar Gavin.

Hijrahku karna-Nya Bukan Karnamu [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang