Pukul 15.00 WIB
"Lagi mager banget, tapi udah janji sama Siska hfttt," ucapku sambil melihat ke arah jam yang tergantung di dinding.
"Yaudah deh, aku siap-siap dulu," ucapku lalu bersiap-siap.
Akupun bercermin.
"Tanya Mama ah, bagus gak ya aku pake gamis ini," ucapku sambil bercermin lalu keluar kamar.
Akupun menghampiri mamaku. "Ma, gimana, bagus gak gamis yang Lesha pake ini?" tanyaku pada Mama.
"Bagus, cantik, tapi ko mama heran ya?" tanya Mamaku yang melihatku memakai baju gamis yang lebar.
"Heran kenapa, Ma?" tanyaku.
"Enggak lho, Mama heran aja, kamu itu kayaknya berubah drastis banget. Dulu kamu itu anti banget pake pakaian syar'i, kok bisa ya sekarang anak Mama berubah? Apakah ada seseorang yang membuat Lesha berubah?" tanya Mama yang curiga.
"Apasih, Ma? Lesha emang suka ko pake pakaian kayak begini. Lesha mau Istiqomah hijrah, doain aja, jangan mikir aneh-aneh deh," tegasku kepada Mama.
"Hem, iya deh, semoga saja," ucap Mama.
"Jadi, Mama kapan mau hijrah kayak Lesha? Masa kalah sama anaknya," tanyaku.
Aku mencoba mengingatkan mamaku, karena Mamaku memang belum begitu konsisten dalam menjalankan ajaran agama. Mama masih sering mengenakan pakaian yang ketat dan tidak memakai hijab saat keluar rumah.
"Sebenarnya, Mama juga mau konsisten pake pakaian syar'i, tapi... kayaknya sulit. Mama gak tahan gerah. Oh iya, Mama mau angkat pakaian dulu," ujar Mama sambil berjalan ke belakang untuk mengangkat pakaian.
"Maaf ya, Ma. Lebih baik kita merasa sedikit gerah di dunia karena memakai hijab daripada merasa gerah di neraka karena tidak memakainya," ucapku sambil mengikuti Mama.
"Iya, InsyaAllah, Mama mau coba buat lebih konsisten," ucap Mama dengan tersenyum kepadaku.
Aku merasa senang mendengar respon Mama yang positif.
Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu: tokk, tokk, tokk. Aku segera berjalan ke depan untuk membuka pintu.
"Eh, Siska,"
"Ayo, Al, jadi gak?"
"Ok, bentar ya, aku pake hijab dulu," ucapku sambil berlari ke kamar untuk memakai hijab.
Siska menjawab, "Ok."
Tak lama kemudian, kami berdua menuju ke taman. Sesampainya di sana, aku dan Siska mencari tempat yang nyaman untuk duduk. Kami membawa sebuah kain dan melentangkannya di atas rumput, menciptakan tempat duduk yang santai.
"Ayo, Al, duduk di sini," ajak Siska.
Kami duduk di atas kain tersebut, menikmati suasana taman yang indah. Udara segar dan sejuk menyelimuti kami, menciptakan atmosfer yang menyenangkan.
"MasyaAllah, sejuk banget disini," ucapku sambil memandangi pemandangan sekitar.
"Iya, Al, tempatnya bagus, makanya gue ajak lo kesini. Oh iya, tunggu bentar ya, tadi gue juga janjian ama orang di sini," ucap Siska.
Aku pun penasaran dan bertanya pada Siska, "Cewek apa cowok?"
Siska pun menjawab, "Cowok."
"Awas, jangan-jangan itu pacarmu ya? Ingat, Sis, kita itu ga boleh pacaran, itu dosa!" ucapku sambil memberikan nasehat kepada Siska.
Siska dengan cepat menegaskan, "Iya-iya, kami tidak pacaran, kami hanya teman biasa kok."
Teman Siska akhirnya sampai dan menghampiri kami.
"Kenalin, ini teman aku, namanya Alesha. Alesha, kenalin ini teman aku, namanya Arka," ucap Siska sambil memperkenalkan aku dan temannya.
"Salam kenal," ujar Arka sambil menyodorkan tangannya untuk berjabat tangan denganku.
Aku dengan tegas menolak jabatan tangannya, "Maaf, bukan mahrom. Nama saya Alesha."
Arka langsung merasa tidak enak, "Aduh, maaf."
"Iya, gapapa," jawabku.
Siska dan Arka terlihat sangat akrab, mereka asyik mengobrol sampai-sampai sepertinya mereka lupa kalau aku ada di sana.
"Ya Allah, semoga temanku dijauhkan dari godaan setan yang terkutuk," ucapku dalam hati sambil memandangi mereka yang sedang asyik bercanda.
Kemudian aku berpura-pura batuk, "Ehhmmm."
"Sabarlah, Alesha, ini ujian," ucapku dalam hati sambil melihat mereka yang begitu dekat.
"Aku mau jalan-jalan keliling taman dulu ya," ucapku.
"Oh, iya, boleh kok," jawab Siska.
Siska pun berteriak padaku, "Hati-hati jangan nyasar ya, Al!"Aku melanjutkan jalan-jalan di sekeliling taman. Dalam hati, aku merasa kesal dengan Siska karena mengajakku ke taman padahal dia punya janji dengan cowo.
"Kenapa dia harus ngajak aku kalau sudah janji dengan orang lain. Dasar Siska," gumamku dalam hati dengan rasa kesal. Aku memutuskan untuk duduk di kursi yang berada di dekat air mancur, sambil memperhatikan air yang terus mengalir.
Dalam keheningan taman, aku mencoba menenangkan diri dan meresapi suasana yang tenang. Meskipun awalnya aku merasa sedikit tersingkir, aku memilih untuk menjalani momen ini dengan penuh kehadiran. Air yang mengalir mengingatkanku tentang perubahan dan keluwesan, bahwa aku juga harus mengalir dalam situasi yang tidak selalu sesuai dengan harapanku.
Tiba-tiba, ada seorang lelaki yang menegurku.
"Jangan melamun, gak baik," celetuk lelaki itu.
Akupun menoleh ke belakang.
"Kak Abi?" ujarku.
Reflek akupun berkata dalam hati, "MasyaAllah, ini aku gak mimpi ya?"
Kak Abi pun menjawab, "Iya, kamu ngapain disini?"
"Tadi Lesha nemenin Siska kesini, tapi Siska asyik ngobrol ama temennya. Yaudah, Lesha jalan sendiri aja," jelasku.
"Kamu hebat ya," ucap Kak Abi sambil duduk di kursi yang agak jauh dari kursiku.
"Hebat kenapa, Kak?" tanyaku.
"Iya, kamu hebat. Pada saat kebanyakan remaja sebayamu sibuk berpacaran, kamu malah sibuk memperbaiki diri," ucap Kak Abi.
Pada saat Kak Abi berbicara seperti itu, hatiku amat-teramat senang kala itu, namun aku mencoba untuk tetap tenang dan biasa saja.
"Alhamdulillah, bukannya ungkapan itu juga cocok buat Kakak?" ucapku.
Kak Abi hanya tersenyum.
"Tadi sebenarnya Kakak udah lihat kamu sama Siska dari jauh, terus ada satu laki-laki. Kakak kira itu cowo yang lagi dekat sama kamu, namun setelah mendengar penjelasanmu, Kakak jadi lega," ucap Kak Abi.
"Engga dong Ka, btw lega kenapa?" tanyaku penasaran.
"Apa Kak Abi cemburu ya?" tanyaku dalam hati.
"Ya lega, maksudnya lega masih ada wanita yang ga pacaran dan fokus memperbaiki diri" jawab Kak Abi gugup.
"Hehe, banyak ko" ujarku salting.
Dalam seketika, suasana terasa canggung di antara kami. Tiba-tiba, sebuah pikiran melintas dalam benakku—mengungkapkan perasaanku kepada Kak Abi. Aku tidak ingin menyia-nyiakan momen ini, terutama karena Kak Abi akan segera pergi jauh dan kami mungkin tidak akan bertemu lagi sesudah ini. Motivasiku saat itu adalah bahwa, apa pun respons Kak Abi, setidaknya aku akan merasa lega karena telah mengungkapkan perasaan yang selama ini aku pendam.
Dengan hati berdebar, aku mengumpulkan keberanianku. Aku menatap Kak Abi dengan penuh harap, mencoba menemukan keberanian di dalam diriku sendiri.
"Ka?" panggilku.
"Iya?" sahut Kak Abi.
Bersambung....
KAMU SEDANG MEMBACA
Hijrahku karna-Nya Bukan Karnamu [End]
Teen Fiction~Alesha Khumairah Setiap kita yang sudah berhijrah tentu punya alasan di balik hijrahnya. Apapun itu, jadikanlah Allah yang utama sebagai alasan di balik hijrahmu, agar hatimu tidak kecewa nantinya. ~Muhammad Abi Ghazali Jika engkau mencintai seoran...