"Jegaaarrrrrr!" suara gemuruh yang begitu keras memecah keheningan. Langit menjadi gelap dan angin bertiup sangat kencang.Aku semakin cemas, khawatir dengan cuaca yang memburuk. "Aduh, gimana ini? Ojek gak ada yang lewat lagi, bentar lagi mau hujan, mau jalan kaki jauh, mana hp gak bawa," ucapku berbicara sendirian.
Dan akhirnya, apa yang aku takuti terjadi. Hujan pun mulai turun. Tanpa ragu, aku berlari dari gerbang masjid menuju masjid tersebut untuk berteduh. Akupun duduk di depan masjid.
Ternyata, banyak juga akhwat yang belum pulang dan terjebak hujan. Aku hanya duduk sendiri di sana, sambil melamun dan memandangi rintik hujan.
Lalu, aku melihat segerombolan akhwat yang sedang ngobrol dengan asyiknya. "MasyaAllah, enak ya punya teman yang satu frekuensi," ucapku dalam hati, kagum dengan kebersamaan mereka.
Aku tersenyum sendiri melihat para akhwat itu saling bercanda.
"Hem, ternyata begini ya, datang ke suatu tempat di mana kita tidak mengenal siapapun di tempat itu," ucapku lagi dalam hati.
Tiba-tiba, seseorang menghampiriku.
"Belum pulang, Ukh?" tanya seorang akhwat yang memakai cadar.
Alangkah terkejutnya aku, ternyata itu adalah Ustadzah yang menjadi penceramah di pengajian tadi.
"Eh, Ustadzah. Iya nih, saya lagi menunggu hujan berhenti," ucapku.
"Nama kamu siapa?" tanya Ustadzah itu padaku.
"Nama saya Alesha," jawabku sambil tersenyum.
"Kamu sendirian ke sini?" tanya Ustadzah itu lagi.
"Iya, tadi saya bersama teman tapi temannya sudah pulang duluan," jawabku.
Ustadzah itu terdiam sejenak sambil memandangi rintik hujan.
"Kalo Ustadzah sendiri?" tanyaku pada Ustadzah itu.
"Gak usah panggil Ustadzah, panggil aja Mbak Nisa. Kan ini udah di luar pengajian juga. Aku kesini bareng sahabatku," ucap Mbak Nisa sambil menunjuk ke arah temannya yang memakai khimar biru, hitam, dan coklat. Mereka semua juga memakai cadar.
"Ladies, sini," panggil Mbak Nisa kepada teman-temannya.
Teman-temannya pun datang menghampiri kami.
"Kenalin ini teman Mbak, namanya Alesha. Alesha, kenalin ini sahabat-sahabatnya Mbak," ucap Mba Nisa sambil memperkenalkanku kepada sahabat-sahabatnya.
Sahabat-sahabatnya pun mengajakku bersalaman, sambil memperkenalkan diri mereka.
"Hai, Alesha. Kenalin, namaku Sinta," ucap akhwat yang memakai khimar warna biru.
"Hai, namaku Yuna," ucap akhwat yang memakai khimar warna hitam.
"Hai, Ukh. Kenalin, namaku Rere," ucap akhwat yang memakai khimar warna coklat.
Mereka tersenyum padaku. Meskipun mereka memakai cadar, senyuman mereka tetap terlihat melalui mata yang menyipit.
"MasyaAllah, na'am ukh," ucapku dengan tersenyum. Aku merasa gugup pada saat itu, tetapi aku mencoba untuk lebih percaya diri.
"Enak ya, punya sahabat yang sefrekuensi, sama-sama suka agama yang mengingatkan kita saat lalai, dan yang bersahabat karena sama-sama ingin mengejar cinta Allah. Sayangnya, aku belum memiliki sahabat yang seperti itu," ucapku dengan ekspresi sedih.
"Kamu mau jadi sahabat kami?" ujar Mbak Nisa nampak prihatin terhadapku.
Akupun melihat ke arah sahabat-sahabatnya Mba Nisa. Mereka hanya terdiam pada saat itu, membuatku berpikir bahwa mereka tidak menyukai kehadiranku. Namun, Rere akhirnya berkata, "Iya, jika Alesha mau, kami akan sangat senang."
"Kita sama-sama berjuang untuk mencapai ridho Allah. Semoga kelak kita berkumpul kembali di surga," ucap Sinta dengan penuh semangat.
"Iya, bismillah. Bersama-sama kita bisa saling menguatkan untuk tetap berada di jalan Allah," ucap Yuna.
"MasyaAllah, mauuu," ucapku dengan raut wajah yang terharu dan penuh harapan.
Aku merasa sangat bahagia pada saat itu, merasakan kehangatan dan kebersamaan di antara kami.
Mba Nisa pun mengulurkan tangannya, sebagai tanda persahabatan yang tulus. Sinta pun ikut mengulurkan tangannya dan meletakkannya dengan lembut di atas tangan Mba Nisa. Rere dan Yuna juga bergabung dengan mengulurkan tangan mereka. Kami semua saling menatap dengan senyuman yang tulus dan penuh kegembiraan. Akupun dengan ikhlas mengulurkan tanganku, merasa disambut oleh cinta dan persahabatan mereka.
"Bismillah, sahabat untill Jannah," ucap kami dengan penuh keikhlasan sambil mengangkat tangan yang kami satukan tadi.
"Tapi, saya gak pake cadar. Saya jadi minder dan merasa gak pantas," ucapku dengan rasa cemas.
"Gapapa kok, kita sama-sama belajar. Ingat, sayang, bercadar bukan berarti menjadi malaikat. Tetapi dengan bercadar, itu adalah bentuk usaha kita untuk melindungi diri dari dunia yang fana. Karena hakikatnya, wanita merupakan fitnah terbesar yang ada di dunia," ucap Mba Nisa dengan penuh pengertian.
Sinta, Rere, dan Yuna tersenyum penuh dukungan.
"MasyaAllah, Lesha tambah terharu dan senang bisa jadi salah satu bagian dari kalian," ucapku dengan raut wajah yang penuh kebahagiaan sekaligus terharu.
"Oh iya, Alesha berapa tahun?" tanya Rere.
"18 tahun 3 bulan lagi, kalau yang lain berapa?" tanyaku.
"Wow, masih muda banget ya... umurku 20," ucap Yuna.
"Kalo aku 19," ucap Rere.
"Aku 19," ucap Sinta.
"Bagaimana dengan Mbak Nisa?" tanyaku pada Mba Nisa.
"Alhamdulillah, saya yang paling muda," ucap Mba Nisa bercanda.
"Iya, muda kalau dibalik," timpal Yuna.
"Hehe, Mbak berusia 25 tahun," ucap Mbak Nisa.
"Oh iya-iya," ucapku sambil tersenyum.
"Oh iya, Alesha ada nomor WhatsApp," tanya Mbak Nisa.
"Ada, Mbak," jawabku.
Kemudian aku memberikan nomorku kepada Mbak Nisa.
"Iya, nanti Mbak masukkan ke grup WhatsApp ya," ucap Mbak Nisa.
"Oke, Mbak. Siap," ucapku.
Yang lain hanya tersenyum saat itu. Dan tak lama setelah itu, hujan pun berhenti. Yuna, Sinta dan Rere pun pamit untuk pulang duluan.
Tinggallah aku dan Mbak Nisa yang belum pulang,
"Oh iya, Mbak. Lesha mau nunggu ojek di depan, Mbak gimana?" ucapku.
"Ya udah, kita ke depan aja. Mbak juga lagi nunggu Abang buat jemput," ajak Mbak Nisa.
Aku dan Mbak Nisa pun berjalan menuju gerbang masjid.
Tak lama setelah itu, Mbak Nisa dijemput oleh Abangnya terlebih dahulu.
"Al, Mbak pulang duluan ya. Assalamu'alaikum," ucap Mba Nisa.
"Na'am, Mbak. Wa'alaikumussalam," ucapku sambil tersenyum.
Dan akupun berada di sana sendirian, menunggu ojek lewat. Pada pukul 17:00 WIB, hujan tadi berhenti. Sekarang sudah pukul 17:30 WIB, dan aku masih berdiri di gerbang masjid menunggu ojek.
Tak lama kemudian, akhirnya aku berhasil mendapatkan ojek dan akhirnya bisa pulang ke rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hijrahku karna-Nya Bukan Karnamu [End]
Teen Fiction~Alesha Khumairah Setiap kita yang sudah berhijrah tentu punya alasan di balik hijrahnya. Apapun itu, jadikanlah Allah yang utama sebagai alasan di balik hijrahmu, agar hatimu tidak kecewa nantinya. ~Muhammad Abi Ghazali Jika engkau mencintai seoran...