(09) Sangat mengecewakan

185 22 0
                                    

"Satu minggu kemudian..."

"Hari ini begitu cerah," ucapku sembari menatap langit. "Bismillah, semoga aku tidak membuat keputusan yang salah."

Aku melangkah menuju sekolah dengan hati penuh harap. Setibanya di sekolah, ketika hendak melewati lorong kelas, tak sengaja aku mendengar sekelompok anak laki-laki sedang berbicara. Aku mendengar salah seorang dari mereka menyebut namaku. Lalu aku berhenti dan bersembunyi di balik dinding kelas untuk mendengar apa yang mereka bicarakan.

"Jadi, lo beneran mau ta'aruf ama Alesha?" tanya salah seorang lelaki kepada temannya.

"Ah, gaklah! Lo pada, pada salah paham! Kalian pikir gue beneran suka sama dia?" jawab seorang lelaki.

"Gue aja baru aja mikir buat deketin Alesha," seru temannya.

"Hahaha, siap-siap kalah ya?" kata lelaki tadi.

Dalam hati, aku berkata, "Sepertinya aku mengenal suara itu."

Lalu aku mencoba untuk mengintip untuk melihat siapa yang berbicara.

Alangkah terkejutnya aku saat mengetahui bahwa lelaki yang berbicara tadi adalah Gavin. Namun aku memilih untuk diam saja saat itu dan terus mendengarkan apa yang dibicarakan oleh Gavin dan teman-temannya.

"Lebih baik jangan, Vin. Kasihan Alesha, dia kayaknya cewek baik-baik. Jangan ngajak ta'aruf kalo lo cuma main-main, lebih baik lo ga ngajakkin dia ta'aruf," ucap seorang lelaki memberi nasehat kepada Gavin.

"Iya, awas lo kena Karma," celetuk temannya yang lain.

"Halah, bilang aja kalian iri kan ama gue kalo misalnya gue yang menangin taruhan ini," ucap Gavin.

"Lagipula, gue yakin Alesha gaakan tertarik kalo gue cuma ngajak pacaran," sambung Gavin.

"Terserah," ucap temannya.

Lonceng pun berbunyi... Saatnya masuk ke kelas.

Saat di kelas, hatiku sangat kacau setelah mengetahui bahwa Gavin dan teman-temannya hanya menjadikanku bahan taruhan. Aku tidak bisa berkonsentrasi selama jam pelajaran.

"Mungkin ini adalah jawaban atas istiqharah ku selama seminggu ini," ucapku dalam hati.

Pukul 13.00 WIB...

Lonceng pun berbunyi. Saatnya pulang sekolah.

Seperti biasa, aku langsung pulang ke rumah. Selama perjalanan menuju rumah, pikiranku terus dipenuhi oleh kejadian Gavin yang menggunakan diriku sebagai bahan taruhan.

"Tega sekali dia, menjadikanku bahan taruhan," ucapku dalam hati sambil berjalan.

Tiba-tiba, Gavin menghadangku di jalan.

"Assalamu'alaikum, Alesha," ucap Gavin sambil tersenyum melihat ke arahku.

"Wa'alaikumussalam," ucapku menjawab salam darinya.

Aku bersikap seolah-olah biasa saja pada saat itu.

"Jadi, gimana jawabannya?" tanya Gavin.

"Jawaban apa?" tanyaku balik.

"Jawaban tentang ta'aruf," jelas Gavin.

"Maaf, aku tidak bisa," ucapku sambil terus berjalan.

"Kenapa? Apa alasannya?" tanya Gavin sambil mengikuti langkahku.

"Aku ingin bertanya padamu, apa yang kamu tahu tentang ta'aruf?" tanyaku pada Gavin.

"Ta'aruf adalah tahap pengenalan diri antara lelaki dan perempuan untuk menuju ke jenjang yang lebih serius, yaitu pernikahan," jawab Gavin.

"Itulah jawabannya. Aku tidak ingin menerima seorang lelaki yang hanya menjadikan ta'aruf sebagai candaan," ujarku dengan sikap acuh tak acuh.

"Maksudmu?"

"Coba renungkanlah itu sendiri,"

"Apa kamu mendengar perkataanku dan teman-temanku tadi pagi?"

"Terima kasih telah menjadikan saya  taruhan. Melalui hal ini, saya belajar bahwa lelaki yang benar-benar serius dalam berta'aruf akan langsung menemui wali saya, bukan malah mencari saya terlebih dahulu,"

Gavin hanya terdiam dan menunduk saat itu.

"Semoga kamu tidak melakukan hal ini lagi kepada wanita lain," ujarku pada Gavin, lalu akupun berlari meninggalkan tempat itu.

Menangis? Oh, tentu tidak. Air mataku terlalu berharga untuk dibuang sia-sia hanya untuk seorang lelaki yang tidak pantas ditangisi.

Sesampainya di rumah...

"Assalamu'alaikum," ucapku sambil mengetuk pintu rumah.

"Wa'alaikumussalam," sahut Mamaku sambil membukakan pintu.

"Kamu kenapa Al? Keliatannya lesu banget?" tanya Mama.

"Gapapa, Ma. Alesha kayaknya lagi ga enak badan," ucapku agar Mama tidak banyak bertanya.

"Oh, yaudah kamu bersih-bersih badan aja dulu, habis itu makan terhs istirahat ya," ucap Mama.

"Ok, siap Ma," jawabku.

-Skipp-

"Sore ini, aku ingin pergi ke danau itu lagi," ucapku sambil berbicara sendiri di depan cermin.

Akupun bersiap-siap untuk pergi ke danau. Kebetulan cuaca sore ini sangat bagus.

Sesampainya di sana, aku tidak melihat siapapun kecuali seorang wanita yang mengenakan cadar sedang piknik bersama suami dan anak-anaknya. Keluarga mereka terlihat sangat harmonis.

"MasyaAllah, apakah kelak aku bisa seperti itu?" ucapku berkata dalam hati.

Akupun duduk di tepi danau sambil membaca buku.

"Seandainya Ka Abi ada di sini," ucapku berbicara dalam hati.

Setengah jam berlalu dan aku tidak melihat tanda-tanda kedatangan Kak Abi.

Tiba-tiba, "Hai," ucap seorang lelaki.

"Kayaknya ini Ka Abi," ucapku dalam hati dengan perasaan bahagia.

Aku pun menoleh ke belakang.

Namun, aku sangat terkejut karena orang yang memanggilku bukanlah Kak Abi. Melainkan seorang lelaki yang tidak kukenal. Lelaki itu tampaknya sedang mabuk dan penampilannya seperti preman.

"Hey, cantik, mau jadi pacar Abang?" ucap lelaki yang berpenampilan seperti preman itu.

Preman itu perlahan-lahan mendekatiku.

"Siapa kamu? Eh, eh, jangan mendekat ya!" teriakku sambil mundur perlahan.

"Gak usah takut sama Abang, Abang baik kok," ucap preman itu perlahan-lahan mendekatiku.

Suasana begitu sepi saat itu. Wanita bercadar yang piknik bersama keluarganya tadi sudah pergi.

Aku sangat ketakutan pada saat itu. Dan aku berlari karena rasa takut yang melanda. Preman itu pun mengejarku. Akhirnya, aku terjatuh saat berlari.

"Hah, mau kemana lagi, cantik?" ucap preman itu.

Akupun berteriak meminta bantuan, namun tampaknya tidak ada yang mendengar suaraku.

"Jangan berani-berani mendekat, ya!" ucapku dengan tegas.

Preman itu semakin mendekatiku, dan ketika dia hampir memegang tanganku, tiba-tiba seorang lelaki muncul dan memukul preman itu dari belakang.

Aku melihat ke arah lelaki tersebut, dan ternyata itu adalah kak Abi. Tanpa ragu, aku langsung berlari dan bersembunyi di belakang Kak Abi.

Kak Abi pun berkelahi dengan preman itu, dan tak terduga, Kak Abi mampu mengalahkannya. Aku semakin kagum pada Kak Abi saat itu.

Preman itu berlari dan meminta maaf, serta berjanji untuk tidak menggangguku lagi, bahkan tidak mengganggu wanita lain. Setelah itu, Kak Abi mendekatiku.

Bersambung....
















Hijrahku karna-Nya Bukan Karnamu [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang