14(Revisi)

6.2K 339 2
                                    

Tinggalkan jejak vote yah guys
Happy reading

Hawa dingin menembus kulit putih Tea yang hanya terbungkus jaket abunya. Angin malam yang berhembus menerbangkan helaian surai hitamnya yang tergerai indah.

Di sampingnya ada Daffa yang memandang penuh takjub ke arah lautan yang begitu tenang malam ini.

Keduanya sedang duduk berselonjoran di pasir pantai setelah menikmati makan malam bersama. Hening diam menyelimuti keduanya, hanya  hembusan napas keduanya yang terdengar bersahutan.

"Tea!" Suara Daffa terdengar pelan.

"Ada apa, Kak?" tanya Tea.

"Seandainya kakak mengungkapkan perasaan kakak sama kamu, apa kamu akan menerimanya?" Daffa bertanya serius masih fokus memandang hamparan lautan di depan sana.

Tea terdiam bingung harus menjawab seperti apa. Bahkan pertanyaan Daffa lebih membingungkan dari tugas kuliahnya yang selalu saja membuat kepalanya hampir pecah.

Tea berdehem "Maksudnya apa, Kak?"

Daffa menoleh menatap Tea yang juga menatapnya.

"Baiklah kakak akan mengatakan sesuatu sama kamu, sesuatu yang sering kakak rasakan saat bersama kamu dan saat tak ada kamu." Daffa mengganti posisinya menjadi bersila agar lebih puas menatap wajah cantik Tea di bawah sinar sang rembulan.

Tea mengangguk dengan perasaan yang berdebar dan merasa gugup seketika.

"Kakak tidak tahu sejak kapan, kakak bisa merasakan hal ini sama kamu. Kakak merasa kosong saat kamu memutuskan untuk mengindari kakak."

"Kakak merasa tak ada yang bisa menjadi tempat ternyaman untuk setiap lelah dan nggak bisa-"

"Maksud Kakak, aku hanya tempat untuk menjadi sandaran saat kakak Lelah?" Tea memotong ucapan Daffa sebelum pria itu berbicara hingga selesai.

"Bukan seperti itu, Tea. Makanya kamu harus mendengarkan ucapan kakak hingga selesai!" kata Daffa.

Tea mendengkus lalu mengangguk kecil.

"Kakak merasa kakak selalu kesepian. Bahkan kakak merasa ini hal pertama yang kakak rasain ketika kehilangan orang yang paling berarti dan dia adalah kamu."

"Kakak jatuh cinta sama kamu. Kakak nggak bisa jauh apalagi sampai kehilangan kamu, Tea." Daffa menggenggam tangan mungil Tea dengan erat, seakan-akan ingin memberitau bahwa Tea adalah miliknya.

Tea terdiam menudukkan wajahnya saat Daffa dengan senyum manisnya masih begitu lekat menatapnya.

"Kakak nggak bakalan maksa kamu. Hanya kakak mau bilang kakak benaran sudah jatuh cinta sama kamu. Kakak jahat banget sempat nolak kamu, tetapi kakak ngelakuin itu karena kakak memang belum punya perasaan sama kamu."

"Kakak nggak mau membalas perasaan kamu karena nggak mungkin biarin kita berhubungan dan salah satunya tak punya rasa yang sama," kata Daffa.

Tea menatap genggaman tangan Daffa serta beberapa kali menatap mata Daffa yang belum lepas sedikit pun dari wajahnya. Ia menarik napasnya dan mengembuskan secara perlahan.

"Kak, jujur aku bingung harus menjawab apa, bahkan aku merasa kalau takdir sedang bercanda sekarang. Beberapa tahun lalu, Kakak sendiri yang menolak dan hanya menganggap aku sebagai adik. Setelahnya, sekarang kakak bilang jatuh cinta sama aku, apa ini permainan, kakak?" tanya Tea lirih.

Daffa langsung menggeleng dengan cepat, tidak suka saat Tea mengatakan perasaannya sebuah permainan. Ini benar-benar perasaan cinta yang sesungguhnya dan dirinya hanya merasakan hal seperti ini pada Tea. Bahkan Pada Stella dan Ara, rasanya tak pernah sedalam ini.

"Kakak benar-benar jatuh cinta sama kamu dan  terpuruk saat kamu menjauh dari kakak. Kamu bisa tanyakan sama kakak dan ipar kamu, keduanya tahu semua tentang hari yang kujalani tanpa kamu, Tea."

Tea merasakan setiap ucapan yang keluar dari mulut Daffa adalah sebuah keseriusan. Sudah tak ada perasaan bimbang yang menyelimuti hatinya. Penantiannya selama ini akhirnya terwujud malam ini meski sempat ditolak sebelumnya.

Tea berpikir tidak salahnya bukan kalau mencoba serta memberikan kesempatan untuk Daffa. Toh, pada akhirnya semua masa depan ada di tangan sang kuasa.

Tea membalas pegangan tangan Daffa, mengulas senyum yang baru Daffa akui, senyum yang selalu membuatnya jatuh cinta lagi dan lagi.

"Aku akan menerima kakak, setidaknya aku kasih kakak kesempatan. Jujur, aku juga masih nggak bisa bohongin perasaan aku. Aku masih sayang sama Kak Daffa," ucap Tea sambil menahan degupan jantungnya yang kian meronta.

Daffa tersenyum senang. "Terima kasih, Tea. Kakak nggak bisa bilang apa-apa lagi selain terima kasih karena kamu sudah menerima kakak."

Keduanya sama-sama saling tersenyum, menikmati detakan jantung keduanya yang terdengar merdu bersahutan.

Suara kembang api serta lampion yang beterbangan sudah memenuhi langit yang malam ini kenapa begitu indah, seakan-akan mendukung niat Daffa untuk menjadikan Tea kekasihnya.

Daffa mengelus puncak kepala Tea, mengecup kening sang gadis yang sudah resmi menjadi kekasihnya beberapa menit yang lalu.

"Suka?" tanya Daffa.

"Suka banget, Kak, terima kasih banyak,"ucap Tea lalu dipeluk Daffa.

Daffa merasakan kenyamanan yang begitu membuat dirinya damai dan demi apa pun, Daffa bersumpah ia tidak ingin kehilangan gadis yang saat ini sedang di dekapannya. Apa pun akan ia lakukan hanya untuk menjaga dan selalu membuat Tea bahagia.

Dalam hitungan detik, pikiran Daffa terpecah, ia baru menyadari kalau ada sesuatu hal yang belum ia pikirkan dan selesaikan.

Apalagi kalau bukan Stella?

Ini bukan hal yang baik mengingat janjinya yang harus ia tepati pada mantan kekasihnya itu.
Daffa menggeleng kecil,  tak ingin momen bahagianya ini harus terhalang karena memikirkan Stella. Mungkin urusan Stella akan ia urus nanti, yang terpenting sekarang menghabiskan waktu dan menikmati setiap detak jantung Tea yang begitu merdu adalah hal yang sedang ia rasakan.

Bagi Tea bahagia itu sederhana. Rasanya ia sedang bermimpi dan jika ini adalah mimpi tolong jangankan bangunkan! Ia sudah begitu nyaman dengan situasi seperti ini dan ini merupakan dekapan yang paling ia inginkan selama mengenal Daffa.

Sebagai seorang gadis muda yang mencintai pria berusia selisih agak jauh dengannya mungkin tak mudah. Ia mungkin sudah memikirkan apa saja yang akan menghalangi hubungan keduanya dan Tea berjanji ia akan berusaha sedemikian rupa untuk tetap bersama Daffa.

Ia terlalu mencintai Daffa bahkan dalam proses menghindari pria itu dan bertingkah seolah-olah sudah melupakan dan bisa move on. Tea  malah selalu terjebak dalam kenangan keduanya, ia sudah jatuh terlalu dalam dan sadar tidak akan mudah melenyapkan Daffa dari pikirannya sskaligus hatinya. Daffa terlalu spesial dan pria itu yang tahu semua tentangnya dan Daffa adalah pria yang diinginkannya.

Part 14 selesai
Maaf sekali baru bisa upload,dan pada jam seperti ini
Terlalu banyak hal yang buat pusing sekaligus memakan waktu
Dari hari Senin sudah mulai kuliah online,dengan persiapan yang sering bikin otak mau pecah.
Jadi baru bisa publish pagi ini.
Sorry yah readers

Something(Sekuel you Are Mine)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang