Tea benar-benar menikmati weekendnya dengan puas seharian ini, bersama si Rumi keduanya menjelajahi Timezone layaknya anak kecil yang merindukan hiburan. Setelahnya keduanya memutuskan untuk menikmati sushi di salah satu restoran.
"Thanks, ya Rum. Aku happy banget," ujar Tea sambil membuka ponselnya untuk sekedar melihat kabar dari Daffa yang nihil.
"Aku juga sudah puas banget, kali ini benar-benar ngilangin rasa lelahku akibat kerja rodi," cibir Rumi.
Tea mengangguk setuju, Rumi dan para pegawai divisi keuangan memang sudah seminggu terakhir, selalu lembur. Ada sedikit masalah pada bagian keuangan sehingga mereka lebih banyak menghabiskan waktunya di kantor.
"Iya juga, sih. Wajah kamu sudah kayak zombie tahu, kelopak mata saja sudah hitam banget," ledek Tea .
"Namanya juga kurang tidur," sahut Rumi santai sambil mengunyah salmon yang sudah dipotongnya.
"Oh iya btw, bagaimana kerjaan di Bali?"tanya Rumi.
"Sudah,sih tinggal pembangunannya saja."
"Oh begitu, terus bagaimana kamu sama pak Daffa?" tanya Rumi membuat Tea tersedak minumannya.
"Uhuk, kamu gimana, sih? Minum, tuh hati-hati donk!" kata Rumi sambil menyodorkan kotak tisu pada Tea.
Tea melap bibirnya lalu mendengkus. "Kamu, sih kasih pertanyaan yang aneh," balas Tea dongkol.
"Apanya yang aneh, aku 'kan cuman tanya gimana kamu sama pak Daffa di sana?"
"Ya nggak gimana-gimana, 'kan kita sibuk kerja di sana."
"Nggak ada something begitu sama pak manager?" goda Rumi sambil terkikik geli.
"Something apa'an!" balas Tea pelan.
Ia ingin sekali menceritakan semuanya pada Rumi soal dirinya dengan Daffa, karena dirinya butuh teman dan Ia yakin Rumi sangat cocok diajak bicara. Apalagi Rumi sudah sangat dekat dengannya dan sudah dianggap saudaranya.
Mungkin sudah saatnya untuk membagikannya dengan Rumi."Rum," panggil Tea pelan.
Rumi hanya menatap Tea sekilas lalu sibuk dengan sushi didepannya yang tersisa tinggal setengah.
"Ada yang mau aku omongin sama kamu."
"Soal apa?" Rumi terlihat penasaran.
Tea berdehem tangannya terasa basah karena berkeringat, mungkin ia merasa gugup saat ini. Ia sudah siap dengan ekspresi terkejut dari Rumi yang mungkin akan berteriak atau bertingkah heboh setelah mendengarnya.
"Kalau aku ngomong aku pacaran sama Pak Daffa kamu percaya?" tanya Tea hati-hati sambil menunggu respon dari Rumi.
"Ohhhh," jawab Rumi santai membuat Tea melotot kaget.
"Kok oh doang?" tanya Tea heran.
Ia pikir Rumi akan menunjukkan ekspresi yang heboh, berhubung teman tengilnya ini termasuk gadis yang suka menghebohkan sesuatu yang terkesan biasa menjadi luar biasa.
Rumi meletakkan alat makannya lalu menopang dagu. "Terus aku harus apa?"
"Ya harusnya kamu kaget atau apa gitu."
"Kenapa harus gitu? Aku rasa semu kecurigaanku selama ini terjawab sudah," ucap Rumi santai.
"Curiga? Maksud kamu?" tanya Tea tak mengerti.
"Jadi begini, aku sudah mulai curiga sama perhatian pak Daffa ke kamu. Kamu ingat nggak saat pertama kali aku ajak kamu buat makan di kanti kantor?" tanya Rumi diangguki Tea.
"Itu atas suruhan pak Daffa, ia minta aku buat nemanin kamu makan siang. Jadi, ya aku turutin kemauannya. Coba kamu pikir mana berani aku ke lantai atas hanya buat ngajakin orang yang nggak aku kenal buat makan siang bareng."
"Iya juga, sih. Tetapi kenapa pak Daffa sampai ngelakuin itu ke aku?"
"Ya mana aku tahu, menurutku pak Daffa memang punya rasa sama kamu. Sudah berapa kali juga, aku perhatiin pak Daffa itu lihatin kamu terus, loh," kata Rumi berapi-api.
"Jadi, aku nggak bakalan kaget lagi dengar cerita kamu," lanjutnya.
"Aku sama kak Daffa emang sudah resmi."
"Selamat dong kalau begitu, kalau dilihat kalian memang cocok, kok."
"Bukannya kamu bilang kak Daffa cocokan sama Mbak Stella?"
"Iya juga, sih, hanya aku pronya sama kamu. Lagian keduanya 'kan masih punya hubungan saudara walau tak sedarah."
Tea mengaduk minumannya dengan tak semangat.
"Oh iya, btw kalian kenalan di mana, sih?" tanya Rumi penasaran.
"Kami tetanggaan saat di London. Jadi,kami sudah dekat banget."
"Terus kenapa kalian seolah nggak saling kenal?" tanya Rumi penasaran.
"Ceritanya panjang, Rum. Sekarang kami sudah resmi jadian, hanya saja Kak Daffa minta hubungan kami backstreet dulu."
"Lah kenapa?"
"Ya, karena dia nggak mau aku merasa nggak nyaman. Takut aku jadi bahan pembicaraan orang kantor," ujar Tea lesu.
"Kalau dipikir-pikir, memang benar, sih. Soalnya pak Daffa itu idaman semua perempuan di kantor ini, rermasuk aku juga." kata Rumi sambil nyegir.
"Kamu nggak keberatan sama permintaannya?"
Tea menggeleng lalu tersenyum tipis.
"Terus kenapa kamu cemberut, begitu?"
"Masalahnya di sini aku merasa nggak nyaman sama kedekatan kak Daffa dan Mbak Stella."
Rumi menopang dagunya. "Tunggu! Jangan bilang kamu cemburu sama Pak Daffa dan Mbak Stella?" tanya Rumi dengan mata menyipit.
"Kalau boleh jujur, iya." Suara Tea terdengar lemah.
"kamu tahu 'kan kalau mereka sepupuan?"
"Aku tahu, hanya saja cara Kak Daffa khawatir sama Mbak Stella itu beda. Bahkan ia rela pulang duluan hanya karna mendengar Mbak Stella masuk rumah sakit."
"Memangnya Mbak Stella kenapa sampai bisa masuk rumah sakit?"
"Katanya ada kecelakaan kecil pas pemotretan."
" Setelahnya Kak Daffa bahkan batalin rencana jalan-jalan kami hanya demi Mbak Stella. Menuruku itu berlebihan."
"Positif thinking dulu, Mungkin saat itu cuman Kak Daffa yang dibutuhkan Mbak Stella."
"Masalahnya ada keluarganya yang lain, Rum."
Rumi tertawa kecil membuat Tea menyernyit.
"Apanya yang lucu?!" tanya Tea ketus.
"Nggak gitu, ngelihat kamu cemburu gini, kok lucu, ya," ujar Rumi kembali tertawa.
Tea mendenguks mengusap wajahnya kasar
"Memangnya salah aku cemburu?""Nggak juga, sih, hanya saja sebaiknya kamu nggak usah cemburu sama Mbak Stella. Ingat mereka hanya sepupu," ucap Rumi sambil menepuk pundak Tea pelan.
Tea tak memberi respon, hanya seulas senyum tipis yang muncul. Ia berusaha untuk tidak cemburu, tetapi tetap saja hati kecilnya seolah menyangkal.
Tea berusaha menepis perasaan tak nyaman ini yang menganggu pikirannya. Ia tak ingin rasa cemburu merusak hubungan yang baru terjalin selama sehari ini.
Ia mencintai Daffa dan harusnya ia percaya pada kekasihnya itu bukan menyimpan rasa yang ia saja bingung harus menjabarkannya.
Tea menghela napas, mengambil ponselnya lalu mengirim sebuah pesan untuk Daffa
To:Kak Daffa♥️
Di mana?
Malam ada waktu? Aku mau bertemu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Something(Sekuel you Are Mine)
ChickLitSTORY 2 Bisakah kamu membedakan mana yang harus jadi prioritas? Aku yang sebagai kekasihmu? Atau dia yang hanya merupakan sepupu angkatmu? Kenapa harus selalu aku yang mengalah Sedangkan dia selalu diutamakan Apakah ada sesuatu yang tak pernah kutah...