Suasana hiruk pikuk keramaian di bandara memang bukanlah sebuah hal yang baru. Tempat ini menjadi saksi perpisahan dan pertemuan yang selalu mengundang air mata.
Dari pintu kedatangan, sosok Aron yang sedang mendorong troli ditemani Mira yang berjalan di sampingnya. Di belakangnya ada Stella yang bergelayut di lengan Alex, dan tangan Alex yang merangkul pinggang langsingnya.
Sedangkan di bagian belakang, Daffa dengan kaca mata hitamnya sibuk bermain ponsel. Pria itu bahkan tak membawa kopernya, karena ia tak mau berlama-lama menghabiskan waktunya di kota yang hanya membuatnya kembali mengingat masa lalu.
"Daff, langsung ke mobil, yah. Papa udah minta sopir buat jemput," teriak Stella yang diangguki Daffa.
Pria itu menghentikan langkahnya, melepaskan kacamata hitamnya dan tersenyum tipis. Matanya mengitari ke setiap sudut bandara, seraya berusaha meyakinkan dirinya bahwa semuanya akan baik-baik saja.
" Selamat datang kenangan," gumamnya lalu melanjutkan langkahnya, menyusul keempat saudaranya yang sudah hilang di balik kerumunan orang.
Tanpa disadarinya, ada sosok gadis yang menatapnya sendu. Mata gadis itu bahkan berkaca-kaca, apalagi setelah melihat punggungnya yang telah berlalu.
Punggung kokoh yang sudah setahun menghilang bak ditelan bumi, menyisakan pertemuan terakhir yang menjadi memori yang masih dikenangnya sampai detik ini.
Tea mengusap air matanya kasar, seharusnya ia tak menangis seperti ini. Apalagi hanya karena melihat Daffa yang telah kembali. Di relung hatinya, Tea akui ada kelegaan yang ia rasakan, seolah-olah rasa rindunya terbayar setelah melihat Daffa walau hanya sepintas.
Gadis itu memang sedang di bandara, menanti kedatangan Gerald tunangannya yang baru pulang dari Jepang untuk mengikuti kegiatan perusahaan di sana.
"Hai sayang," ucap Gerald membuat Tea yang sedang menatap kosong, terkejut.
Tea menoleh, dan langsung tersenyum lebar saat Gerald menariknya dan mengecup pelipisnya. Kebiasaan yang sering pria itu lakukan kepadanya.
"Kok bengong?" tanya Gerald
"Nggak kok," jawab Tea lembut
"Kamu kesini sama supir aku, kan?" Gerald mendorong troli dengan tangan kanannya, sedangkan tangan sebelahnya menggenggam erat tangan Tea, seolah-olah gadis itu akan hilang ditelan kerumunan.
"Iya, aku dari apartemen kamu. Aku udah siapin makan siang juga buat kamu, sebelum kesini," jelas Tea lalu masuk ke jok belakang diikuti Gerald yang telah menyerahkan troli pada sang supir.
"Udah nggak sabar, mau makan masakan kamu, sayang," kata Gerald sambil mengedipkan matanya
Tea terkekeh, lalu menyandarkan kepalanya pada dada Gerald yang terasa nyaman. Pria itu mengelus rambut hitamnya yang baru di gunting hingga sebahu.
"Kelihatannya kamu lagi nggak mood, yah." Gerald membuka pembicaraan, saat mobil Honda miliknya sudah menembus jalanan padat siang ini.
"Aku lelah, mau tidur."
Gerald mengangguk, lalu kembali mengusap rambut Tea membuat gadis itu tertidur. Ia tersenyum tipis saat suara dengkuran halus terdengar merdu di telinganya.
"Kapan aku bisa menjadikan kamu, milikku seutuhnya," gumam Gerald sebelum ikut memejamkan matanya karena kelelahan di pesawat.
✨✨✨✨✨
Suasana Isak haru memenuhi kediaman keluarga Darman Erlangga. Istrinya Ratna sibuk memeluk Daffa dan tak berhenti menangis. Wanita berusia setengah abad lebih itu, memang sudah mengetahui semuanya, karena sang suami tercinta yang sudah menceritakan semuanya.Sebagai seorang bibi dari Daffa, Ratna begitu kecewa atas perbuatan Daffa dan Stella. Tetapi, ia tidak mungkin terus memendam kemarahan. Ia tidak ingin lagi melihat Daffa yang tak punya semangat hidup, seperti saat kehilangan kedua orangtuanya.
"Udah ma, Daffa juga udah balik. Berhenti menangis, yah," bujuk Stella yang merasa bosan melihat sang mama yang tak berhenti menangis.
Ratna mendelik ke arah putrinya. "Mama nggak bisa lihat Daffa seperti ini," katanya parau.
Daffa berusaha menenangkan bibinya, pria itu berulang kali menggumamkan kata maaf dan berusaha meminta sang bibi agar berhenti menangis.
"Bi, jangan nangis lagi dong. Kan, aku udah disini bareng kalian."
"Janji sama bibi, kamu nggak bakal kembali lagi ke Jepang. Rumah kamu disini, Daff, bukan di Jepang," lirih Ratna.
Daffa terdiam, ia melirik ke arah Stella yang dibalas gelengan kepala wanita itu. Daffa lalu kembali melihat ke arah Darman yang memberi jawaban yang sama seperti Stella.
Daffa menghela nafas berat, ia tau keputusan yang ia ambil akan sangat berat nantinya. Tetapi melihat sang bibi tercintanya yang sedari tadi tak berhenti menangis, akhirnya Daffa terpaksa memilih tetap stay disini.
"Baiklah, Bi. Daffa akan tetap di Indonesia," jawabnya membuat sang Bibi tersenyum puas.
Ia mendekap Daffa, keponakannya yang begitu ia sayangi setelah Stella dan suaminya.
"Dan satu lagi, bibi nggak mau kamu tinggal di apartemen. Kamu harus tinggal di sini bersama bibi dan paman!" perintah Ratna mutlak
Daffa hendak berbicara, tapi Ratna mengangkat tangannya memberi isyarat bahwa perintahnya tak boleh dibantah.
"Baiklah kalau itu memang kemauan Bibi," kata Daffa pasrah.
"Ya sudah, sebaiknya kamu ke kamar dan istirahat. Bibi udah minta simbo buat beresin kamar lama kamu."
Daffa mengangguk, dan berjalan ke arah kamar lamanya. Ia merebahkan tubuhnya ke atas kasur dan memandang langit kamarnya yang berwarna putih.
Pria itu tersenyum getir, menghela nafasnya kasar. Entah perasaannya menjadi tak enak seperti ini, terlebih semenjak kakinya menginjak kembali Indonesia dan mengingatkan kembali pada sosok gadis itu.
Daffa menggeleng, mengusir pikiran Tea yang kembali berkeliaran di otaknya. Daffa akui ia memang sudah kalah setahun lalu, tapi kenapa sosok Tea juga tak bisa lenyap seiring berjalannya waktu. Kenapa sosok manis itu selalu muncul setiap ia merasa sendirian seperti ini.
Daffa mengusap wajahnya kasar, ia ingin tidur dan beristirahat sekarang. Tetapi lagi-lagi bayangan gadis yang memakai cincin di jari manisnya, itu mengganggu lelapnya.
Setahun lebih, Daffa yakin gadis itu mungkin sudah membangun rumah tangga ataupun sudah mempunya bayi lucu yang memenuhi kehidupannya. Sedangkan dirinya hanya bisa seperti ini, menangis dan menyesal dalam diam akibat rasa kehilangan yang begitu menderanya.
Daffa kadang berpikir untuk mengakhiri hidupnya, ia tak bisa menjalankan hidupnya setelah kehilangan Tea. Tetapi Stella dan Alex selalu mencegahnya, dan berakhir dengan dirinya yang harus ditampar oleh Stella karena wanita itu berusaha membuatnya kembali sadar.
Selama di Jepang, Daffa butuh waktu untuk bangkit dari keterpurukannya. Meski ia membutuhkan waktu, tetapi semuanya berjalan semestinya walau ingatan Tea masih tetap membekas di hatinya hingga sekarang.
Daffa bahkan menutup semua akses komunikasinya, hanya karena ingin menghilang dan menghindar dari masa lalu yang tak habisnya mengusiknya.
Daffa berusaha memejamkan matanya, ia berharap biarkan siang ini ia bisa tidur dan sejenak untuk melupakan. Ia sudah pasrah jika kedatangannya kembali sama dengan mengorek kembali luka lama yang berusaha ia kubur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Something(Sekuel you Are Mine)
ChickLitSTORY 2 Bisakah kamu membedakan mana yang harus jadi prioritas? Aku yang sebagai kekasihmu? Atau dia yang hanya merupakan sepupu angkatmu? Kenapa harus selalu aku yang mengalah Sedangkan dia selalu diutamakan Apakah ada sesuatu yang tak pernah kutah...