Terimakasih buat para readers, yang sampai sekarang tetap setia menanti cerita saya🙏
Saya bersyukur punya kalian🤗
Dan saya sayang kalian guys♥️Ibukota memang tak akan pernah bebas dari namanya kemacetan. Hiruk pikuk kendaraan, dan bunyi klakson yang saling bersahutan memang menjadi salah satu ciri keadaan ibukota.
Di sebuah mobil putih, Tea beberapa kali menggeram kesal. Hampir setengah jam dirinya terjebak macet, padahal ia ada janji dengan Rumi dan Arland saat ini.
Kedua sahabatnya itu, sedang sibuknya mengurus pertunangan mereka. Tea bahkan tak tau, jika takdir malah menjadikan Rumi sebagai wanita yang diidamkan Arland. Pertemuan keduanya yang selalu tanpa sengaja, membuat Arland berusaha mendekati gadis pecicilan seperti Rumi. Hingga akhirnya keduanya memutuskan menjalin kasih dan akan segera menuju ke jenjang serius.
Hari ini memang Rumi mengajaknya bertemu di restoran. Sahabatnya itu meminta Tea, agar bisa membantunya mengurus tema pertunanganya yang di gelar Selasa depan.
Katanya Rumi ingin sekali menyewa WO yang sama dengan yang mengurusi pertunangan Tea dan Gerald.Setelah terjebak macet, Tea segera turun dari mobilnya. Ia sudah telat sejam dari waktu janjian mereka. Dengan tergesa-gesa Tea berjalan ke arah restoran, hingga dirinya tak sengaja menabrak seseorang dan membuatnya terjungkal ke belakang.
Tea meringis ketika merasakan bokongnya yang terasa sakit, karena mencium tanah. Ia berusaha bangun, tapi sebuah ukuran tangan membuatnya terpaku sesaat.
Ia mendongak menatap wajah sang pemilik tangan yang saat ini masih setia mengulurkan tangannya. Dunia seolah terhenti begitu saja. Tatapan dua pasang mata itu saling menyelam untuk sesaat, saling menyalurkan kerinduan yang dipendam keduanya.
"Apa kamu akan tetap dengan posisi seperti itu?" Suara datar itu berasal Daffa. Iya pria yang ditabrak Tea memang Daffa.
Pria itu baru selesai makan siang, karena hari ini ia memang sengaja mengelilingi ibukota. Selain merindukan kota itu, ia juga ingin bertemu Aron karena sepupunya mengajak bertemu.
Tea menggeleng lalu berusaha bangun, tanpa menerima uluran tangan Daffa. Suasana terasa canggung menyelimuti keduanya, seakan dua sejoli itu adalah orang asing yang baru pertama kali bertemu.
"Lain kali hati-hati," kata Daffa yang berlalu begitu saja dari hadapan Tea.
Tea tak bergeming, ia meraba dadanya yang berdetak kencang seperti ia masih bersama pria itu. Harus Tea akui, sosok Daffa tadi terasa berbeda. Pria itu seolah menganggapnya asing, bahkan tak ada senyuman yang pria itu tunjukkan.
Setahun berlalu dan Daffa terlihat berubah. Tea tersenyum getir, kenapa rasanya sakit sekali, melihat sosok Daffa yang saat ini.
Tea menggeleng, ia enggan memikirkan masa lalu dan sosok itu. Sebaiknya ia ke dalam, Rumi dan Arland pasti sudah menunggunya sedari tadi.
"Kamu terlambat banget, Tea," cibir Rumi yang dibalas delikan tajam Tea.
Gadis itu menarik kursi dan langsung duduk berhadapan dengan Rumi yang sedang membuka buku konsep pertunangannya.
"Arland mana? Kok nggak kelihatan, biasanya juga kalian seperti lem," sindir Tea.
Rumi mendengkus, dan memutar bola matanya malas. Sindiran Tea memang benar. Semenjak ia menjadi kekasih Arland, ia memang sangat lengket dengan pria itu.
"Arland ada ke belakang sebentar, ada masalah di dapur," jawab Rumi sambil membolak-balik buku yang dipegangnya.
Tea mengangguk, lalu memanggil waiters dan menyampaikan pesanannya.
"Terus gimana konsepnya, mau yang mana?" tanya Tea. Matanya melirik ke arah ponselnya, ada pesan masuk dari Gerald yang langsung dibalasnya.
"Aku mau yang sederhana sih, tapi nggak meninggalkan kesan mewah gitu," ucapnya sambil meneguk minumannya.
"Ya, kamu bisa aja ngomong sama WO nya, biar dibuat sesuai keinginan kamu."
Rumi mengangguk. "Iya kalau soal Arland, dia bakal nurut aja sama aku. Katanya apa yang aku pilih, pasti sesuai keinginannya," ujar Rumi sambil tersenyum genit.
Tea mendengkus. "Iya yang bucin, biasa aja deh," cibir Tea.
"Biarin. Namanya juga jatuh cinta sama pria yang kita cinta, jadi nggak salah dong jadi bucin," ucap Rumi lalu kembali fokus pada bukunya.
Tanpa Rumi tahu, raut wajah Tea berubah. Ucapan Rumi seolah menyentil dirinya. Ada sesuatu yang hingga detik ini, membuat Tea tak nyaman. Tentang hatinya yang belum bisa ia serahkan sepenuhnya pada Gerald. Pria yang telah resmi menjadi tunangannya sejak setahun lalu. Pria yang begitu memujanya dan memperlakukan dirinya bak seorang ratu.
Gerald dengan sifat lembut serta perhatiannya membuatnya menjadi wanita yang sangat beruntung memiliki sosok seperti Gerald. Tetapi, ada yang salah disini.
Bukan Gerald yang salah, tetapi dirinya yang salah.Tea sendiri bingung, ada apa dengan perasaannya yang tak berubah sejak setahun lalu? Kenapa hatinya tak bisa melupakan luka dan menerima sosok yang berusaha membantunya keluar dari kubangan masa lalu.
Tea terhenyak saat Arland melambaikan tangan ke arahnya. Ia mendelik membuat Arland dan Rumi hanya terkekeh.
"Ngapain bengong sih? Lagi mikirin Gerald yah?" canda Arland yang dibalas senyuman tipis dari Tea.
"Kalian kapan nikah sih? Udah tunangan setahun lebih, tapi belum lanjut ke pernikahan," celetuk Arland.
"Kan belum siap, Land. Lagian nikah itu nggak gampang, perlu persiapan juga," balas Tea malas. Sebenarnya ia sangat menghindari topik ini, karena jujur ia dilanda kebingungan yang ia sendiri tak tau harus seperti apa mengatasinya.
"Bukan itu alasannya, Tea. Kalau memang soal persiapan, setahun itu bukan waktu yang cepat untuk mempersiapkan sebuah pernikahan. Aku tau apa yang membuat kamu masih stuck pada pertunangan saja." Arland berbicara serius sambil menatap ke arah Tea.
"Kamu masih ragu dengan hatimu untuk melangkah lebih lanjut. Kamu masih menunggu Daffa, dan membiarkan Gerald terus menunggu hati kamu untukknya," lanjut Arland yang membuat Tea merasa tertampar oleh ucapannya.
Ia tak bisa menyanggah ucapan Arland, karena jujur ucapan pria itu memang benar. Ucapan Arland seolah menjawab semua kegundahannya selama setahun lebih ini.
"Tea," panggil Rumi pelan.
Tea hanya menatap ke arah Rumi, lalu menaikan alisnya bingung. Gadis itu juga mengulas senyum tipisnya, seolah-olah mengatakan dirinya baik-baik saja sekarang.
"Apa kamu masih mencintai, Daffa?" tanya Rumi pelan.
Tea terkejut, ia tak menyangka Rumi memberi pertanyaan yang membuatnya bungkam dan bingung akan menjawab apa. Ia tetap diam, sambil menunduk. Dirinya terlalu lemah, jika sudah membahas soal Daffa.
"Bisakah kita membahas yang lain?" Akhirnya Tea bersuara. Ia berusaha mengalihkan pembicaraan yang ia tahu pasti tak akan ada habisnya. Tea yakin dirinya akan menjadi pihak yang disalahkan saat ini, karena masih menggantung Gerald.
Rumi menghela nafas berat, sedangkan Arland hanya mengangguk. Keduanya memang tak bisa memaksa Tea untuk terbuka tentang perasaannya. Tetapi sebagai sosok yang sudah dekat dengan Tea, Keduanya percaya gadis yang saat ini sedang menikmati pesannya itu, masih mencintai Daffa pria dari masa lalunya yang membawanya pada luka yang teramat perih.
Sampai sini author makin bingung, harus buat endingnya seperti apa?
Author kok jadi kasihan sama Gerald🙄
KAMU SEDANG MEMBACA
Something(Sekuel you Are Mine)
ChickLitSTORY 2 Bisakah kamu membedakan mana yang harus jadi prioritas? Aku yang sebagai kekasihmu? Atau dia yang hanya merupakan sepupu angkatmu? Kenapa harus selalu aku yang mengalah Sedangkan dia selalu diutamakan Apakah ada sesuatu yang tak pernah kutah...