24(Revisi)

7.5K 362 11
                                    

Tea menatap tak semangat ke arah ruang kerja Daffa yang tak berpenghuni selama dua hari ini. Daffa memang hilang kabar, sekaligus hilang rupa usai perdebatan yang berakhir dengan hubungan keduanya yang harus break.

Tea menelungkupkan wajah, tak bisa menepis rasa rindu yang menginginkannya untuk bertemu Daffa. Ini memang akibat dari keputusannya dan mau tak mau ia harus bisa menerima resikonya.

Tea merasa bingung dengan ketiadaan Daffa dua hari ini. Kalau memang break, kenapa pria itu juga harus menghilang dari kantor tanpa alasan sama sekali.

Apa Daffa sakit hati dan berusaha menghindarinya?

Kalau sudah seperti itu, kenapa dirinya merasa tak nyaman?

Tea menggeleng, melirik ke jam di tangannya yang sudah menunjukan jam kantor telah usai.
Rencananya malam ini, ia ingin mengajak Rumi ke pasar malam yang baru dibuka kemarin.

Sampai di lobi Tea tersenyum saat melihat Rumi sedang berjalan sambil bercerita dengan teman  divisinya. Kalau tidak salah, Dina namanya.

Tea berlari kecil menghampiri Rumi yang sepertinya tidak sadar dengan kedatangan dirinya.

"Rumi," panggil Tea membuat Rumi menoleh lalu melambaikan tangannya.

"Kita pulang bareng, ya" ucap Tea yang diangguki Rumi.

Setelahnya Dina pun berpamitan pulang duluan, karena tunangannya sudah datang menjemputnya.

"Tumben mau pulang bareng,"  kata Rumi sambil berjalan di samping Tea menuju mobilnya.

"Nggak ikhlas banget kasih tumpangan," cibir Tea pelan.

Rumi memakai seat beltnya. "Habisnya kalau bareng pak Daffa saja, aku ditinggal mulu," kata Rumi mengemudikan mobilnya keluar dari parkiran.

"Kan bukan tiap hari juga, Rum. Please, deh nggak usah bahas Kak Daffa dulu."  Tea fokus memandang jalanan.

"Why? Berantem?"

Tea menggeleng. " Kita break."

"What? Yang benar saja?" tanya Rumi dramatis, membuat Tea terlonjak kaget

"Biasa saja dong, Rum!" Tea memutar bola matanya malas.

Rumi terkekeh. "Aku 'kan kaget dengarnya. Habisnya kayak nggak ada masalah apa-apa, eh tahu-tahunya kalian break begini."

Tea meluruhkan bahunya. "Aku yang minta break sih," sahut Tea tak bersemangat.

Rumi memandang Tea penuh tanya. "Kenapa bisa?

Tea bungkam terlalu malas membahas masalahnya dengan Daffa saat ini.

"Belum mau berbagi sama aku?" tanya Rumi membelokan mobilnya ke rumah lantai dua miliknya. Lokasinya yang berada di kompleks perumahan sekaligus beberapa apartemen mewah.

"Nanti dulu, soalnya aku mau istirahat," tolak Tea.

Rumi mengangguk paham, sahabatnya itu pasti membutuhkan waktu untuk bercerita. Memang masalah cinta itu begitu rumit dan ia sendiri juga pernah merasakannya.

"Tea lihatin apa, sih? Ayo cepat masuk!" ajak Rumi saat melihat Tea tak bergeming di tempatnya.

Rumi menghampiri Tea dan mengikuti arah pandang sahabatnya. Matanya membulat tak percaya saat melihat sosok Daffa sedang berpelukan bersama wanita yang tak lain adalah Stella.

Rumi menoleh ke samping menemukan Tea yang sudah berurai air mata. "Tea," lirih Rumi.

Tea menoleh mengulas senyuman tipis yang membuat Rumi meringis.

"Ayo masuk!"  ajak Tea dengan suara parau.

Rumi mengangguk memegang pundak sahabatnya dan mengajaknya masuk ke rumah. Rumi membawa Tea ke kamarnya, tak lupa meminta sang bibi mengambilkan segelas air putih untuk sahabatnya itu.

"Kamu minum dulu, ya." Rumi menyodorkan gelas yang langsung diteguk habis oleh Tea.

"Mau cerita sama aku?" tanya Rumi ikut duduk di samping Tea.

"Alasan kami break adalah Mbak Stella," Lirih Tea. Pandangannya fokus ke depan, memandang tembok putih polos kamar Rumi.

"Mbak Stella? Maksud kamu?" tanya Rumi tak mengerti.

"Aku cemburu melihat kedekatan kak Daffa sama Mbak Stella."

"Tetapi mereka sepupuan 'kan?"

"Aku tahu soal itu, hanya saja kedekatan mereka itu beda. Aku rasa mereka itu punya hubungan khusus."

Rumi memutar posisi Tea agar menghadapnya.

"Aku nggak ngerti maksud kamu. Hanya yanga  aku tahu dan sering lihat kelakuan mereka seperti saudara pada umumnya, Tea."

Tea menggeleng tegas menolak argumen yang diberikan oleh Rumi. "Kamu nggak tahu, Rum. Bagaimana posisi kamu yang harus selalu mengalah dengan sepupu kekasih kamu sendiri."

"Kak Daffa selalu memprioritaskan Mbak Stella apa pun keadaannya dan aku yang selalu menjadi pihak kedua. Aku selalu mengalah dan harus selalu bisa mengerti," lanjutnya dengan air mata yang kembali mengalir.

"Kak Daffa bahkan selalu ada buat Mbak Stella, sedangkan sama aku? Hampir nggak pernah, bahkan kalau pun pernah itu hanya hitungan jam."

Rumi mengelus pundak Tea memberi semangat.

" Maaf Tea aku baru tahu. Jadi, menurut kamu keduanya ada hubungan lain selain sebagai sepupuan?"

"Kayaknya seperti itu, Rum. Bahkan saat kami dalam keadaan break, kak Daffa masih saja sama Mbak Stella. Padahal ia sudah janji bakal mengurangi kedekatannya dengan Mbak Stella."

"Tetapi nyatanya? Ia malah berpelukan dengan Mbak Stela di depan apartemen."

" Tea selama ini aku nggak pernah tahu kalau apartemen itu ada yang tempatin. Soalnya apartemen itu baru dibangun dan kemungkinan itu apartemen pak Daffa atau Mbak Stella."

"Aku nggak perduli soal itu, Rum. Dalam pikiranku sekarang aku bingung harus ngapain. Susah banget buat percaya sama kak Daffa setelah ini."

Rumi mendesah berdiri ke arah jendela dan melihat ke arah halaman apartemen di samping rumahnya. Daffa dan Stella sudah tak ada di sana hanya mobilnya Daffa yang terparkir.

"Mereka sudah nggak ada," kata Rumi.

"Kak Daffa tega banget, nggak ngabarin aku. Nggak masuk kantor selama dua hari dan malah berpelukan bersama Mbak Stella," ucap Tea sambil menggelengkan kepala merasa lucu dengan tingkah Daffa yang menurutnya begitu menyakitinya.

Apa Daffa tahu kalau selama dua hari ini, Tea bahkan susah untuk menutup matanya saat tidur karena terlalu memikirkan pria itu?

Apa Daffa tahu Tea selalu melirik ponselnya setiap saat, menunggu kabar dari Daffa yang tak kunjung masuk?

Apa Daffa tahu kalau melihat Daffa berpelukan bersama wanita yang dianggap saingannya itu terasa menyakitkan?
Di saat Tea sedang menghawatirkan dirinya Daffa malah asyik berpelukan bersama Tea.

"Terus apa yang akan kamu lakukan?" tanya Rumi.

"Aku juga bingung, mungkin sebaiknya aku tak ambil pusing. Aku juga nggak terlalu mau memikirkannya," jawab Tea santai sambil mengusap air matanya.

"Aku setuju sama kamu, Tea. Sebaiknya kamu lihat saja sampai beberapa hari ke depan. Apa kak Daffa berubah atau nggak?  Setelahnya semua keputusan ada di tangan kamu, asalkan  kamu harus berpikir sebelum mengambil keputusan,'' saran Rumi bijak.

"Makasih banyak, Rum. Aku memang nggak salah punya sahabat sekaligus teman curhat seperti kamu," ucap Tea tulus.

Tea memikirkan apa yang diucapkan Rumi mungkin ia akan menunggu beberapa hari. Apa pun yang terjadi ia harus sudah siap menerima dengan lapang dada bahkan harus mempersiapkan hal buruk atau hal sebaliknya yang akan terjadi.

Something(Sekuel you Are Mine)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang