47

10.3K 332 31
                                    


  Seminggu telah berlalu, tak ada kemajuan pada hubungan Gerald dan Tea. Gerald berusaha menghindar memberi waktu untuk Tea agar berpikir bagaimana hubungan keduanya, sedangkan Tea bersikap seolah-olah hubungi keduanya sedang baik-baik saja.

  Gerald membuka pintu mobil dan berjalan masuk ke rumah besar Rian. Ia disambut ramah oleh Ara dan Rian serta dua keponakan Tea yang langsung mencium punggung tangannya.

Maksud kedatangan kesini adalah membicarakan hubungan keduanya. Sudah cukup waktu yang ia berikan pada Tea, dan sudah saatnya keduanya harus melangsungkan pernikahan yang selama ini tertunda.

"Tea kemana, Mba?" tanya Gerald seraya mendudukkan dirinya di sofa.

"Tea belum datang, tadi katanya masih terjebak macet," jawab Ara sebelum dirinya berlalu ke dapur untuk membuatkan Gerald dan suaminya minuman.

"Gimana hubungan kalian, ada kemajuan?" tanya Rian serius.

Gerald menoleh, dan tersenyum getir. " Susah buat gue raih Tea."

Rian memijat pelipisnya pelan, ia memang sudah mengetahui hubungan antara Tea dan Gerald memang tidak ada kemajuan sama sekali. Dirinya tahu, iparnya itu masih mencintai pria brengsek seperti Daffa.

"Kita akan mempercepat pernikahan kalian, meski Tea tak setuju sekalipun."

Ara yang mendengar ucapan sang suami, langsung duduk di sebelah Rian setelah meletakkan dua cangkir berisikan teh dan setoples nastar buatannya.

"Apa, Tea belum mau melangsungkan pernikahan kalian?" tanya Ara pelan yang diangguki Gerald.

"Gimana, apa kamu setuju sama keputusan, aku?" Rian menatap ke arah Ara.

Ara menghela napas berat, bingung harus menjawab seperti apa. Di satu sisi ia tak ingin mengecewakan Tea, tetapi di sisi lain, ia juga tak bisa memihak Tea yang terus menggantungkan hubungannya dengan Gerald. Gerald pria baik dan Ara sendiri memang harus mengakui bagaimana cara Gerald berusaha untuk meraih hati Tea dan menjadi miliknya.

"Aku setuju mengingat ini sudah setahun, dan Tea tak bisa lagi menghindar terus seperti ini," lirih Ara walau berat rasanya harus mengambil keputusan sepihak seperti ini.

"Pernikahan kalian diadakan Minggu depan dan gue akan membicarakan sama om kamu," kata Rian tegas.

Gerald dan Ara sambil melirik. Sebenarnya Gerald berniat membantah, tetapi melihat Ara yang memberi isyarat dengan gelengan, membuat Gerald kembali menelan ucapannya.

Tanpa ketiganya tahu, Tea mendengar semuanya. Setelah dirinya terjebak macet dan berniat masuk, ia malah mendengar pembicaraan yang membuat dirinya sesak.

Tea tak berniat masuk, dengan wajah yang sudah berurai air mata, Tea berlari ke luar gerbang. Gadis itu berjalan sambil terisak membelah jalanan malam yang begitu ramai.

Matanya menangkap sebuah bangku di tengah taman kota, dan memilih berlabuh di situ. Dirinya terus terisak sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya.

Tea tidak mengerti dengan semuanya, hanya dirinya terlalu kecewa dengan keputusan sepihak dari Rian dan Ara. Ia memang salah karena sudah membuat hubungannya dengan Gerald terombang-ambing tanpa kejelasan. Akan tetapi ada satu hal yang paling ia takuti, jika nanti setelah penikahan ia masih belum bisa memantapkan hatinya untuk Gerald.

Tea tak ingin seperti itu, ia benci menyakiti hati pria lembut seperti Gerald. Tea sayang Gerald, tetapi bukan sebagai seorang perempuan kepada wanita. Tea sayang Gerald sebagai saudara, yang sudah menjaga dan melindunginya selama setahun ini.

"Jangan menangis seperti itu!" Suara bernada perintah itu membuat Tea mendongak. Matanya membulat sempurna saat mendapati sosok Daffa sudah berdiri di sampingnya.

Daffa berdiri tegap dengan pandangan yang menjurus ke depan. Tea bahkan tak menyadari sejak kapan, mantan kekasihnya itu berada di sampingnya.

Untuk sesaat keduanya tak mengeluarkan sepatah kata pun. Tea sibuk berkelana dengan pemikirannya sedangkan Daffa memikirkan penyebab Tea bisa menangis seperti ini.

"Kak Daffa ngapain di sini?" tanya Tea pelan.

Daffa melirik sekilas ke arah Tea lalu tersenyum tipis dan Tea tak menyadari itu.

"Kamu yang ngapain di sini? Dalam keadaan menangis seperti ini."

Tea terdiam, memikirkan kembali kejadian tadi membuatnya kembali terisak pelan.
Daffa yang melihat itu, akhirnya memilih duduk di samping gadis yang pernah mengisi hatinya bahkan hingga saat ini.

Bahu Tea bergetar dan kepala gadis itu menunduk. Entah keberanian darimana, sehingga Daffa membawa Tea ke dalam pelukannya.

Tak ada penolakan yang gadis itu berikan, membuat Daffa mengusap punggung Tea dengan pelan.

Tea terus terisak bahkan dirinya tak berniat melepaskan pelukan Daffa yang sangat ia rindukan.

Haruskah Tea mengakui jika hatinya masih menjadi milik Daffa?

Haruskah Tea memilih Gerald dan melanjutkan penikahan, sedangkan tak ada sedikitpun cinta untuk sosok Gerald?

"Kenapa, hm?" tanya Daffa lagi.

Tea tak menjawab, ia semakin terisak dan itu terasa sangat memilukan di telinga Daffa.

Tea melepas pelukannya,  lalu mengusap wajahnya. Ia menatap  wajah Daffa, membuat Daffa merasa gugup karena Tea memandangnya begitu lekat.

"Kak Daffa, kemana aja selama ini?"

"Aku pergi, karena aku tak mau mengganggu kehidupan kamu lagi," jawab Daffa yang sudah menggunakan kata aku, bukan kata kakak seperti biasanya.

Tea menggeleng, ucapan Daffa kenapa begitu menyakiti hatinya. Daffa memang bersalah, akan tetapi Tea tak bisa menipu perasaannya. Tea merindukan Daffa, pria pembuat luka serta penawar rindu yang terasa menggebu ketika ia kembali berjauhan dengan sosok Daffa.

"Kak Daffa, aku rindu," ucapnya pelan, membuat Daffa tersentak di tempatnya.
Pria itu menatap tak percaya, yang disambut senyum manis dari Tea.

Daffa berusaha mengubah raut wajahnya menjadi datar. Ia tak ingin merasa jika Tea masih mencintainya, mengingat gadis yang dihadapannya sudah menjadi tunangan orang lain atau mungkin telah menikah.

Tea yang melihat itu hanya bisa menghela napas lelah. Harusnya ia sadar, Daffa bukan miliknya lagi dan tak seharusnya ia mengatakan perihal rindu pada Daffa.

"Mau pulang?" tanya Daffa memecahkan keheningan yang kembali menerpa.

Tea mengangguk ragu dan memilih mengikuti Daffa yang sudah berjalan terlebih dahulu ke arah mobilnya.

Dalam perjalanan, Tea lebih banyak diam. Daffa sesekali melirik Tea, lalu kembali fokus menyetir. Mobil Daffa berhenti tepat di rumah Tea. Gadis itu lebih banyak diam dan kurang fokus, sehingga belum menyadari jika dirinya telah sampai di rumahnya.

"Kamu belum turun?" Daffa mengangetkan Tea yang masih melamun.

"Ah, maaf, Kak."

"Kamu melamun?"

Tea menggeleng, ia merapikan pakaiannya sebentar dan hendak turun. Akan tetapi tangannya terlebih dahulu ditahan oleh Daffa.

Tea menoleh dan menemukan Daffa dengan tatapan lembutnya.

"Jika masa depan menentukan kamu milikku, apa kamu akan kembali?" Lirih Daffa, pandangan pria itu benar-benar menghanyutkan Tea.

Gadis itu tertegun dengan jantung yang berdetak kencang seperti biasanya, jika bersama Daffa.

Melihat Tea yang seperti itu, Daffa buru-buru mengucapkan permintaan maaf yang ditanggpi senyuman tipis dari gadis itu.

Tea memilih turun dengan degup jantung yang menggila. Sebelum dirinya masuk ke dalam rumah, ia kembali membalikkan badannya dan masih menemukan mobil Daffa yang terparkir.

"Jika kita memang ditakdirkan untuk masa depan, aku yakin kita bisa melewati semuanya, kak," gumam Tea lalu beranjak masuk ke rumah.

Something(Sekuel you Are Mine)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang