27(Revisi)

7.8K 328 24
                                    


Ara membuka pintu kamar Tea menemukan sang adik yang terbaring lemah dengan kompresan di dahinya. Dengan tangan yang membawa nampan berisi makanan Ara menghampiri Tea dan duduk di kasur Tea.

"Makan dulu dari semalam kamu belum makan," bujuk Ara sambil mengangkat kompresan dari dahi Tea.

"Nggak, ah, Kak, pahit rasanya pas masuk mulut." tolak Tea menutup mulut saat Ara berusaha menyuapi sesendok bubur ayam.

"Ya sudah kita ke rumah sakit saja biar dirawat daripada bandel seperti ini," omel Ara.

Tea menggeleng. "Nggak, ah!"

"Kamu, sih sudah tahu masih punya kakak, punya kak Rian dan punya bibi sama pak Wayang, nggak mau nelpon minta jemput. Jadi begini 'kan hasilnya."

"Tea 'kan nggak kepikiran sampai situ 'kak jadi, berhenti ngomelnya," elak Tea berusaha menghindari omelan Ara yang akan membuat telinganya sakit.

Ara meletakan nampan di atas nakas. "Kamu dibilangin juga ngelawan mulu."

Tea memutar bola matanya malas. "Habisnya adiknya sakit malah diomelin," balas Tea tak mau kalah.

"Ya sudah sekarang kamu harus makan terus minum obat."

"Tea nggak mau 'kak. Ntar dulu baru aku minum, Kak," tawar Tea.

Ara menghela napasnya. "Mau kakak telponin Daffa?"

"Nggak, ah, nggak usah! Kak Daffa mungkin lagi di kantor sekarang."

"Berantem hmm?" tanya Ara penasaran.

"Nggak," balas Tea tak mau kalah.

"Kamu sakit Daffa harus tau 'kan?"

Tea memandang kakaknya. "Kak Daffa pasti udah tahu, kak. Soalnya aku sudah minta Rumi buatin aku surat ijin hari ini," kata Tea sambil mengubah posisinya menjadi duduk dan bersandar pada kepala ranjang.

"Ya sudah kalau begitu, kakak ke bawah dulu, mau sarapan sama kak Rian dan anak-anak."

Tea memandang pintu yang baru saja ditutup oleh Ara. Ara dan Rian serta kedua keponakannya memang memutuskan untuk menginap disini saat mendengar dirinya deman tinggi dari bi Iyem.

Tea mengambil ponsel, membaca kembali pesan dari Daffa yang semalam tak dibalasnya. Tea terlalu malas untuk membalas pesan Daffa, ditambah semalam badannya sudah begitu lemas sehingga ia memutuskan untuk tidur.

Tea memutuskan untuk bangun dari tempat tidur, melirik sekilas mangkuk bubur ayamnya yang terlihat masih hangat tanpa berniat menyentuhnya.

Tea membuka gorden kamarnya, menampilkan kompleks perumahan yang begitu padat di kota besar seperti ini. Tea memilih duduk di bersandar pada sofa yang terletak di balkon sambil mendengarkan musik sepertinya ia nyaman dengan posisinya saat ini.

**********

Daffa heran ketika tak menemukan sosok Tea di ruang kerja gadis itu. Biasanya jam seperti ini gadis kecilnya itu sudah nangkring sambil memain-mainkan ponselnya atau menikmati roti yang biasa dimakan Tea.

Ia membuka pintu ruang kerjanya sambil telinganya mengutak-atik nomor Tea untuk menghubungi Tea. Sejujurnya perasaannya tak tenang sejak semalam apalagi ditambah Tea yang tak kunjung membalas pesannya.

Matanya menangkap sebuah amplop yang terletak di meja, merobeknya lalu membaca setiap tulisan yang membuat perasaanya semakin tak tenang.
Surat sakit dari gadisnya dan Ia tak tahu sama sekali soal ini.

Tanpa menunggu lagi Daffa segera berlari keluar ruangannya. Tujuannya saat ini adalah menemui sang kekasih yang sedang sakit.

Daffa bahkan terlihat mengabaikan keselamatannya saat berkendara. Dengan kecepatan tinggi ia beberapa kali menyalip kendaraan lainnya, sehingga dirinya mendapat cacian dari beberapa pengendara.

Something(Sekuel you Are Mine)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang