Daffa terlihat pasrah saat dirinya ditarik Stella untuk masuk ke apartemen wanita itu. Setelah ia menjemput Stella dari rumah Darman keduanya menghabiskan lunch bareng di salah satu restoran yang direkomendasikan Stella."Stella, aku balik, ya! Sudah mau sore juga." Itu ucapan Daffa yang hampir kesepuluh kalinya.
Stella menggeleng. "Nggak pokoknya, aku mau habisisin waktu sama kamu di sini dan saat ini juga," kata Stella dengan penekanan.
"Tetapi aku harus pulang dan istirahat."
"Apa bedanya kamu istirahat di sini sama di apartemen kamu? Sama saja 'kan?" omel Stella.
Daffa hanya menghela napas pasrah, memijit pelipisnya merasa pusing dengan kemauan Stella.
"Kamu tunggu di sini, aku bakalan ganti baju dulu," ujar Stella sambil berjalan ke kamarnya.
Selepas kepergian Stella Daffa mengambil ponsel dan menghubungi gadis yang sedari tadi dipikirkannya, siapa lagi kalau bukan Tea.
Dering pertama dan kedua hanya suara operator yang terdengar. Pikiran Daffa mulai tak tenang, apalagi sedari tadi Tea tak mengiriminya pesan satu pun.
Daffa kembali menghubungi Tea berharap kali ini gadisnya itu mengangkat teleponnya, dan benar saja suara halus itu mengalun merdu dari seberang sana.
"Hallo, kak, ada apa?"
"Kamu di mana? Kenapa nggak ngangkat telepon kakak?" tanya Daffa pelan matanya melirik terus ke arah pintu kamar Stella yang masih tertutup. Kemungkinan wanita itu masih berganti pakaian.
"Aku di rumah sakit, kak."
Daffa hampir saja menjatuhkan vas bunga di sampingnya saat mendengar ucapan Tea yang mengatakan dirinya sedang di rumah sakit.
"Rumah sakit? Kamu sakit apa? Kenapa nggak telpon kakak, Tea?" suara Daffa terdengar panik.
"Bukan aku yang sakit, kak, tetapi April yang demam."
Daffa menghela napas lega, dapat ia dengar suara Ara yang sedang memanggil Tea.
"Kamu tunggu di situ, Kakak bakalan samparin kamu sekalian nengok April," kata Daffa.
"Baiklah, kak, aku tutup teleponnya."
Sambungan telepon terputus, Daffa langsung beranjak keluar dari apartemen Stella tanpa berpamitan lagi. Urusan Stella ngambek akan menjadi urusannya nanti, yang jelas sekarang ia harus bertemu Tea sekarang.
**********
Tea terduduk lemas di bangku depan ruang perawatan April sambil menunggu Daffa, sedangkan di dalam ada Ara dan Rian sedang menjaga April yang harus opname untuk beberapa hari kedepan.
Suara langkah kaki membuat Tea mendongak menemukan Daffa yang sedang berlari ke arahnya.
"Sayang!" panggil Daffa yang hanya dibalas senyuman tipis oleh Tea.
"April bagaimana? Sudah mendingan?" tanya Daffa sambil duduk di sebelah Tea.
"Sudah mendingan, Kak, sekarang lagi tidur ditemani orang tuanya," jawab Tea pelan.
"Kamu tunggu di sini, kakak lihat April dulu. Setelah itu kakak antar kamu pulang."
Tea tak menjawab hanya diam dan memandang punggung Daffa yang hilang di balik pintu rawat April. Tangan kecilnya perlahan mengusap setetes air mata yang mengalir dari kelopak matanya.
Ia bingung harus apa sekarang, mengingat ucapan Ara tentang Daffa yang bermesraan dengan Stella membuat hatinya merasa tak nyaman.
Ia menyandarkan kepalanya pada sandaran bangku. Tubuhnya terasa lemas saat ini dan entah kenapa ia pun tak tahu alasannya, hanya saja ia ingin pulang dan tidur di kasurnya saat ini.
"Sayang ayo kita pulang!" kata Daffa yang baru saja keluar dari kamar rawat April.
"Aku pamit dulu sama Kak Ara dan Kak Rian," balas Tea sambil beranjak bangun.
"Nggak usah, Sayang. Kakak sudah pamit dan sekarang saatnya kita pulang. Wajah kamu kayaknya lelah banget."
Tea hanya pasrah saat tangannya digandeng oleh tangan besar Daffa untuk menuju ke mobil pria itu. Selama perjalanan keduanya terdiam bisu, hanya suara radio yang mengiringi perjalanan keduanya.
Sesekali Daffa melirik Tea yang lebih banyak diam sambil memandang ke arah jendela. Pria itu merasa aneh dengan sikap Tea saat ini.
Tea terkejut saat tangan kanannya digenggam Daffa dan dikecup pria itu. Ia hanya diam sambil terus menatap Daffa yang tak ada niat untuk melepaskan tangannya.
"Kenapa? Apa ada masalah?" tanya Daffa lembut.
"Nggak ada apa-apa." Tea berusaha melepaskan genggaman Daffa yang rasanya semakin erat.
"Terus kenapa diam seperti ini? Kakak nggak suka, loh lihat kamu seperti ini."
"Tadi siang kakak ke mana?" tanya Tea pelan.
Ia dapat merasakan tubuh Daffa yang menegang dan genggaman tangan Daffa terlepas begitu saja.
"Kakak tadi ke mana?" tanya Tea lagi.
"Mmmm tadi kakak habis ketemu sama Aron dan Mira," jawab Daffa berusaha sesantai mungkin.
Mendengar itu Tea langsung memalingkan wajahnya ke jendela. Dalam hatinya ia tertawa miris saat membohonginya. Apa salahnya Daffa mengatakan sejujurnya kalau ia bertemu Stella, setidaknya Tea tidak akan merasa dibohongi seperti ini.
Selanjutnya keduanya kembali hening sampai mobil Daffa berhenti di depan pekarangan rumah Tea.
Tea melepas seat beltnya hendak beranjak turun tetapi tangannya ditahan oleh Daffa.
"Besok siang kakak tunggu di halte, kita makan siang bareng," kata Daffa lembut.
Tea hanya bergumam melepaskan tangannya dan turun dari mobil Daffa tanpa mengucapkan apa-apa lagi.
Daffa hanya mengusap rambutnya kasar, ia tahu dirinya pria pengecut yang tak bisa jujur dengan kekasihnya. Hanya saja dalam hal perasaan, ia tak ingin kehilangan keduanya. Ia mencintai Tea bahkan sangat mencintai gadis yang baru saja dibohonginya itu.
Sedangkan Stella? Ia hanya merasa bingung. Ia tak bisa melihat Stella yang menangis dan sampai sekarang setiap permintaan Stella adalah hal yang tak mungkin ia tolak.
Itu yang hingga sekarang membuat ia dilema
Tentang cintanya pada Stella? Jujur ia sudah tak merasakan apa-apa lagi pada wanita itu.Daffa menghela napas lelahnya dan menghidupkan mobilnya untuk pulang ke apartemen.
**********Tea merebahkan tubuhnya di kasur dengan pandangan kosong, tanpa mengganti pakaian kerjanya. Ia mengambil selimut menutupi seluruh tubuhny dan dalam diam ia menangis, mengeluarkan air matanya yang sedari tadi ia tahan karena kebohongan Daffa.
Sebagai seorang gadis dengan pengalaman pertama mencintai seseorang Tea masih bisa paham dengan situasi sekarang.
Ia hanya merasa ada sesuatu yang disembunyikan Daffa dan kata hatinya selalu mengatakan ada kaitannya dengan Stella.
Ia ingin menyangkal hanya saja ia takut hal yang membayanginya itu kenyataan. Dapat dirinya pastikan ia akan menjadi gadis yang paling menyedihkan setelahnya.
Tea mengambil ponseln membaca sebuah pesan yang baru saja masuk ke ponselnya.
Kak Daffa ♥️
Have nice dream my princess
Love youTak ada niatan Tea untuk membalas pesan dari Daffa. Tea malah melempar ponselnya ke samping dan memilih memejamkan matanya sekedar menghalau air matanya yang kembali jatuh.
Dapat ia rasakan ponselnya kembali berdering dan sepertinya itu sebuah panggilan masuk yang ia yakini berasal dari Daffa. Pria itu pasti akan menerornya dengan puluhan panggilan, apalagi pesannya hanya sekedar dibacanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Something(Sekuel you Are Mine)
ChickLitSTORY 2 Bisakah kamu membedakan mana yang harus jadi prioritas? Aku yang sebagai kekasihmu? Atau dia yang hanya merupakan sepupu angkatmu? Kenapa harus selalu aku yang mengalah Sedangkan dia selalu diutamakan Apakah ada sesuatu yang tak pernah kutah...