Gerald tersenyum, menatap punggung mungil Tea yang sedang memasak di dapurnya. Selepas dirinya bekerja, ia memang sengaja menjemput Tea di Ara cakes dan pulang bersamanya.
Ini adalah kebiasaan yang sudah sering keduanya lakukan, yaitu makan siang di apartemen Gerald dengan masakan yang dimasak Tea.
"Kamu masak apa?" tanya Gerald sambil memeluk Tea dari belakang, membuat gadis itu tersentak.
"Aku buat sup ayam aja, lagian bahan di kulkas cuman itu saja," jawabnya sambil menuangkan sup yang sudah jadi ke dalam sebuah mangkuk kaca.
Gerald melepaskan pelukannya, lalu beralih pada wastafel untuk mencuci makan. Setelahnya ia menghampiri Tea yang sudah duduk di meja makan.
"Kamu mau pakai apa?" tanya Tea.
Gerald memperlihatkan makanan yang di atas meja. Ada ayam goreng dan sup ayam dengan asap yang masih mengepul.
"Dua-duanya aja, lagian masakan kamu selalu enak dan cocok sama perutku." Gerald mengedipkan matanya, menggoda Tea.
"Gombal banget, sih," cibir Tea ikut menyendukkan nasi dan lauk ke piringnya.
"Bukan gombal sayang, aku bicara fakta loh. Lagian kamu udah cocok banget jadi Istri aku," kata Gerald santai.
Mendengar itu, Tea hanya diam tak menanggapi. Pikirannya berkecamuk, dan hatinya seolah tak tenang.
Melihat keterdiaman Tea, Gerald hanya bisa tersenyum getir. Sampai kapan keduanya hanya berstatus tunangan, sedangkan sudah saatnya mereka berdua harus menggelar pernikahan. Mengingat sudah setahun keduanya bertunangan, tanpa mengalami kemajuan sedikit pun.
Gerald tidak bodoh, untuk tidak mengetahui kalau tunangannya itu belum mampu membalas perasaannya. Tea masih menjadi gadis yang sulit ia takluki, bahkan selama keduanya sudah bersama.
Tea memang tunangannya, tapi Gerald merasa Tea memasang tembok tak kasat mata yang sulit dihancurkannya. Dimana tembok yang dimaksud Gerald adalah hati Tea yang masih menjadi milik Daffa.
"Kamu nggak makan?" tanya Tea pelan. Ia heran saat melihat Gerald hanya mengaduk-aduk makanannya. Padahal tadi katanya, pria itu lapar dan minta dibuatkan makanan olehnya.
Gerald menggeleng, lalu beranjak bangun ke ruang kerjanya. Pria bahkan menulikan telinganya, saat Tea berusaha memanggil namanya. Ia tahu, ada yang salah dengan dirinya sekarang. Membiarkan gadis itu bingung dengan sifatnya yang berubah-l secara tiba-tiba. Tetapi menurut Gerald, ia hanya ingin mengantisipasi agar dirinya tak terluka suatu saat nanti.
Tea mengembuskan nafas pasrah, ia menatap makanan di meja lalu memilih membereskannya. Ada yang aneh dengan Gerald, dan itu membuatnya tak nyaman.
Ia harus mengajak pria itu berbicara, ia tak ingin hubungan keduanya menjadi renggang atau apa pun itu.
Tea membuka pintu ruang kerja Gerald secara perlahan. Ada sosok Gerald yang sedang sibuk dengan berkas di tangannya, tetapi Ia tahu pria itu sedang tak fokus.
"Gerald," panggilnya pelan sambil menghampiri dan duduk di depan pria itu. Keduanya terhalang meja kerja Gerald yang dipenuhi berkas-berkas yang berceceran.
Gerald melirik sekilas, lalu sibuk kembali dengan kegiatannya. Tak ada niat untuk berbicara, karena dirinya takut terbawa emosi. Gerald bingung dengan dirinya sendiri. Ia merasa Tea berubah beberapa hari belakangan ini. Tea bahkan lebih banyak diam, dan selalu banyak melamun saat keduanya menghabiskan waktu bersama. Ia tidak tau apa yang mengusik pikiran sang tunangan itu sekarang.
"Kamu kenapa?" tanya Tea pelan.
Tak ada jawaban, Gerald tak ingin membuka mulutnya hanya sekedar untuk menjawab.
Tea mengigit bibir dalamnya, ia tak suka Gerald yang seperti ini. Gerald yang ia tahu, adalah pria yang tak pernah bersikap dingin seperti sekarang. Terus ada apa dengan pria itu sebenarnya? Apa dirinya baru selesai melakukan kesalahan?
"Kamu kenapa, sih?" tanya Tea sedikit menaikan suaranya.
Gerald melepaskan berkas yang ia pegang. Matanya menatap lekat ke arah Tea dengan tatapan yang baru Tea lihat untuk pertama kalinya.
"Aku mau kita menikah secepatnya," ujar Gerald dingin.
Tea tersentak di tempatnya, ia membulatkan matanya tak percaya dengan ucapan Gerald. Ia tahu itu bukan kesalahan, hanya saja apa pria itu harus berbicara sekarang.
"Kenapa diam? Jangan bilang, kamu masih belum siap?" Gerald tertawa sinis, ia berdiri dengan bersandar di tembok sambil menatap tajam Tea.
Gadis itu menunduk, menahan tangis. Tangannya meremas jarinya, bingung harus berekspresi seperti apa pada Gerald.
"Kasih satu alasan yang buat aku bisa memahami keinginan kamu!" desis Gerald.
Tea mendongak, dengan mata yang sudah berair. "Aku belum siap, Gerald."
Mendengar ucapan Tea, Gerald tertawa hambar. Ia bahkan meninju tembok di belakangnya, membuat tangannya berlumuran darah.
"Sudah cukup! Apa yang kamu lakukan?" Tea berteriak histeris. Tangannya berusaha menghentikan Gerald, yang masih membabi buta memukul tembok tanpa memperdulikan tangannya.
"Berhenti sok perduli sama aku!" teriak Gerald marah.
Tea menutup matanya, lalu berjalan mundur menjauhi Gerald. Kondisi Gerald saat ini tak baik untuk mengajak keduanya berbicara, terlebih tatapan Gerald yang enggan melihatnya.
Tea memutuskan untuk pulang, ia keluar dari ruangan Gerald tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Jujur hatinya sakit saat melihat sosok Gerald seperti tadi, dan itu adalah pertama kalinya selama setahun keduanya bersama.
Tea keluar dari apartemen Gerald dengan lunglai. Tak ada niatan dirinya mencari taksi, atau memesan grab untuk mengantarnya pulang. Gadis itu berjalan seolah tak punya semangat, dan beberapa kali dirinya mengusap air matanya secara kasar.Sedangkan Gerald, pria itu terduduk lesu di lantai. Kepalanya ia telungkupkan di atas lututnya, dengan pikiran kacau. Sebuah penyesalan mengganggunya, setelah untuk pertama kali keduanya berdebat seperti tadi. Bahkan setan apa yang merasukinya, sehingga ia mampu mengeluarkan emosinya kepada Tea.
Gerald berteriak frustasi, matanya menatap nanar pada tangannya yang masih berlumuran darah. Sesekali dirinya meringis menahan sakit yang berasal dari tangannya. Ia berusaha bangun, dan menuju kamarnya untuk mengobati lukanya.
Gerald tersenyum miris, entah sampai kapan ia harus menunggu hati gadis itu. Sebagai seorang pria, ia ingin sekali segera membawa Tea ke pelaminan. Menjadikan gadis itu seorang wanita yang selalu bahagia, dan menjadikan Tea sebagai ratu di kehidupannya.
Selama setahun lebih pria itu berusaha menjadi yang terbaik buat Tea. Selalu menjadi sosok yang ada saat Tea membutuhkan sandaran dan tempat cerita. Gerald selalu meluangkan waktunya untuk bisa menghabiskan waktunya bersama Tea, karena dengan begitu ia bisa membuat benih cinta bisa tumbuh dari Tea untuknya. Terlebih Tea sudah berusaha menerima dirinya, keduanya sama-sama saling terbuka dan berbagi pikiran. Tea gadis baik dan lembut, sehingga Gerald sangat mencintai gadis bermata hitam itu.
Akan tetapi, hingga sekarang Tea belum memberinya kepastian soal hubungan keduanya. Tea selalu menghindar jika Gerald sudah membahas soal pernikahan keduanya. Ada saja alasan dari bibir mungilnya, yang berusaha mengubah arah pembicaraan.
Gerald menutup matanya, dan memilih berbaring untuk beristirahat. Untuk saat ini, biarkan saja ia berusaha tak perduli dengan Tea. Setelah membentaknya dan membiarkan gadis itu pulang sendirian, tanpa mau mengantarkan Tea pulang.
Something akan di revisi secara perlahan guys!
KAMU SEDANG MEMBACA
Something(Sekuel you Are Mine)
Chick-LitSTORY 2 Bisakah kamu membedakan mana yang harus jadi prioritas? Aku yang sebagai kekasihmu? Atau dia yang hanya merupakan sepupu angkatmu? Kenapa harus selalu aku yang mengalah Sedangkan dia selalu diutamakan Apakah ada sesuatu yang tak pernah kutah...