✓KERTAS ANCAMAN

1.9K 158 28
                                    

Terkadang rasa takut seseorang memang tak beralasan. Entah mungkin hanya aku yang terlalu terbawa suasana.

***
🍂-Happy Reading-🍂

Rafa menuruni anak tangga menuju ruang tamu, tadi ia sempat memasuki kamar adiknya hanya untuk merusuh, namun kamar adiknya kosong. Di ruang tamu Bunda dan Ayahnya tengah berbincang-bincang dengan televisi yang tetap menyala.

Perasaan Rafa menjadi tenang, karena hari ini Bunda tidak mengeluarkan sisi gelapnya, yaitu mengomel tidak henti-henti. Padahal Rafa tidak mengerti akar permasalahannya, semua yang berada dalam penglihatan Bundanya selalu salah. Dan tentunya Ia, Rasta, dan Ayahnya akan menjadi sasaran.

"Bunda, lihat Rasta nggak?" tanya Rafa. Pasalnya di ruang tamu juga tidak ada adiknya. Rafa mendudukan bokongnya di samping Bundanya.

Rachel yang tengah mengusap rambut hitam suaminya—Rey yang terduduk di karpet bawah menghentikan kegiatannya. Ia menolehkan kepalanya sekilas, lalu menggeleng singkat.

"Nggak tau Bunda. Tadi sempat liat, terus nggak tau sekarang kemana." jawab Rachel, lalu kembali mengusap rambut suaminya.

Rafa menggeram kesal, padahal niat sebenernya mencari Rasta untuk meluapkan kekesalannya karena adiknya itu mengacak-acak lemari pakaiannya, entah apa tujuan Rasta sebenarnya. Sudah tau Rafa paling malas melipat baju dan merapihkannya kembali.

Orangtuanya masih sibuk berbincang, Rafa mengarahkan satu tangannya untuk mengelus perut Bundanya yang sedikit mencondong. Ia benar-benar sangat menantikan kehadiran calon adiknya ini, semoga seperti yang di harapkannya bayi perempuan.

"Kapan lahirannya sih Bun? Lama banget!" Rafa berseru menyandarkan kepalanya pada bahu Bundanya. Tangannya masih bergerak untuk mengelus perut Bunda.

"Masih lama kali, kenapa emangnya? Buru-buru banget," sahut Ayahnya—Rey tanpa mengalihkan pandangannya.

"Yang di tanya Bunda, kenapa Ayah yang jawab?!" balas Rafa.

"Suka-suka Ayah! Yang punya mulut kan Ayah, kenapa nggak suka?"

Awal perdebatan kecil di mulai. Rachel menghela nafasnya panjang, ia menutup mulut anaknya yang berniat untuk menimpali perkataan Ayahnya. Jika Rey dan Rafa di satukan keadaan rumah tidak akan pernah tenang dan damai, selalu saja ada pertengkaran-pertengkaran kecil di antara mereka.

Dari arah belakang Rasta melangkah mendekati ruang tamu, memeluk leher Bundanya dari belakang.

"Mau susu Bun," ucapnya.

Sontak Rey yang tengah menonton televisi memutar tubuhnya dan menatap tajam ke arah anak keduanya yang membalas tatapannya dengan sorot bingung dan tidak mengerti.

"Ya ampun Rasta! Udah gede masih mau nyusu dari Bunda? Malu dong sama rambut kamu yang di cat cokelat kemerahan itu!" cibir Rey tidak menyangka.

"Hah? Maksudnya?" Rasta mendelik tidak mengerti.

Rey memang tidak melarang Rasta untuk merubah warna rambutnya, padahal tempo lalu ia sempat mendapat panggilan dari sekolah karena warna rambut Rasta yang menyalahi aturan. Namun, Rey tetaplah Rey yang tidak akan membuat anak-anaknya kevewa. Dan ia selalu berusaha meyakini guru-guru di sekolah bahwa Rasta tidak akan membuat ulah lain dan akan tetap berprestasi.

"Beneran Rafa nggak ngerti kenapa otak Ayah isinya ambigu semua," ucap Rafa menggeleng-gelengkan kepalanya, kemudian menopang dagunya dengan sebelah tangan.

"Kenapa Ayah? Lagian Rasta datang-datang langsung minta susu Bunda," bela Rey.

Rasta menjauhkan kedua tangannya yang melingkar di leher Bunda, ia beranjak melangkahkan kakinya untuk ikut duduk di karpet bulu berdampingan dengan Ayahnya.

[GS1] Opposite Characters Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang