Don't be silent reader
Kalau ada typo kasih tau
Happy reading :)
***
Rasanya aku sanggup menerima orang baru yang sebenarnya tak ku inginkan hadirnya. Tapi aku tetap tak mampu melepaskan maaf, meski aku menginginkannya.
****
Narasi jangan di skip
Part 25Rafka baru saja tiba di apartmentnya di Amerika. Ia tidak tinggal dengan ayahnya, tentu saja. Hubungan keduanya sangat tidak baik.
Rafka memang sejak lama membeli apartment ini. Karena ayahnya beberapa kali memaksanya untuk hadir dalam pertemuan bisnis.
Rafka masuk ke kamarnya. Segera mandi dan beristirahat sejenak.
Sekitar 1 jam berlalu. Rafka meraih ponselnya lalu menghubungi Kanaya, vidio call.
Di Bandung, pasti sekarang sudah pagi.
Vidio call itu terhubung. Rafka menampilkan senyumnya saat melihat wajah Kanaya di layar ponsel. Belum mengatakan apapun, tiba-tiba vidio call nya terputus.
Ah mungkin kepencet, pikir Rafka.
Kemudian ia mencoba menghubungi Kanaya lagi. Lalu diangkat.
Namun Rafka sedikit bingung melihat layar yang nampak bukan wajah Kanaya. Sebelum suara seseorang menyapa disana. Itu bang Gibran.
Rupanya Kanaya baru selesai olahraga.
Setelah berbincang sedikit dengan Gibran, Rafka menutup telponnya. Ia akan menghubungi Kanaya lagi nanti.
Rafka pergi ke balkon kamarnya. Menghirup udara New York. Terlalu banyak hal pahit disini. Terlalu banyak luka. Terlalu banyak bayang bayang kepedihan yang Rafka paksa sembuh padahal belum ia terima sepenuhnya.
Di tangan Rafka ada segelas kopi. Dia menyeruput kopi tersebut. Setidaknya ia harus relax. 7 hari kedepan mungkin akan terasa berat.
Setelah dirasa cukup, Rafka kembali ke kamar dan duduk di kursi piano.
Lengannya menyentuh tuts tuts piano tersebut perlahan. Merasakan tiap-tiap nada dari tiap tutsnya.
Rasanya berbeda ketika memainkan piano di Bandung. Ia masih tak menerima apa-apa yang pernah terjadi disini.
Rafka menghela nafas panjang lalu memejamkan matanya.
Perlahan ia memainkan nada yang benar-benar menguras emosi. Dimankannya piano tersebut sepenuh hati. Seolah-olah menumpahkan segala kegelisahannya.
Air matanya jatuh. Ia tak tahan. Bayangan bayangan itu muncul lagi. Hal-hal kelam terbayang lagi. Sepertinya ia terlalu larut dalam bayangannya.
Tubuhnya bergetar hebat. Nafasnya memburu. Mulai tak terkendali. Rafka tau ia harus menghentikan permainannya sekarang juga. Namun rasanya sangat sulit. Hingga dering ponselnya berbunyi nyaring membuat permainan pianonya terhenti dan Rafka jatuh tersungkur ke lantai.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAFKANAYA
Teen FictionSaat sesuatu yang kau inginkan mulai mendekat dan hampir tergapai. Namun hatimu malah menarik dirimu kearah lain -Kanaya Shaqilla Ini kisah Kanaya Shaqilla, seorang ketua Osis dengan hidup monotonnya sampai kemudian seseorang yang dia sukai sejak a...