Chapter 7

411 71 3
                                    

Trust me, he's crazy!

•••

Matahari belum menunjukkan wujudnya dari ufuk timur. Langit masih didominasi oleh warna biru gelap. Hanya ada beberapa lampu taman dan nyanyian burung-burung kecil yang mengisi atmosfer hening diantara mereka berdua.

Greett!

"Sialan." Park Chanyeol, dia meremas kuat kertas foto itu hingga tak berbentuk lalu mencampakkannya ke tanah.

Alur nafasnya seketika memberat. Dadanya naik turun. Rahang mengeras. Pria berumur yang merangkap sebagai bawahannya—yang berdiri tepat di hadapan Chanyeol—sampai mendengar suara gemeretak gigi yang cukup membuat batinnya ngeri sendiri. Pria tua itu cukup hapal. Beberapa gestur yang Tuan Mudanya buat saat ini sudah cukup untuk menggambarkan bagaimana suasana hatinya saat ini.

Sesuai dengan dugaannya tadi malam. Dia pasti marah. Sekali lagi, sangat marah.

Berkali-kali menelan air liurnya sendiri. Meremas telapak tangannya yang ia sembunyikan di balik punggungnya. Dan memantrai dirinya sendiri. Berkali-kali meyakinkan hatinya kalau dia akan baik-baik saja, dia sudah bekerja dengan baik dan tak ada yang perlu ia takutkan. Tapi, tetap saja, rasa takut masih belum juga puas menggerogoti hatinya.

Walau secara fisik, dia bisa dibilang jauh lebih dewasa dari dia. Namun, semua itu tak berarti apa-apa. Semua fakta itu tak menyurutkan rasa was-was yang menyandera otaknya saat menangkap percikan amarah dari sudut mata sang Tuan Muda.

"Kau!" tubuh pria itu menegang saat menerima sorot kebencian yang dia lemparkan padanya, telunjuknya mengetuk dadanya, sekali lagi, seakan menegaskan siapa dia sebenarnya.

"Cari tahu siapa bajingan yang bersama dengan gadis ini! Aku mau jam 9 nanti semua datanya sudah ada di atas meja kamarku! Paham?" tekannya dengan nada rendah namun penuh dengan ancaman.

"Ba-baik, saya paham, Tuan Muda."

"Hm, bagus. Sekarang pergilah." dia melambaikan tangannya, mengisyaratkan pria berumur itu untuk segera pergi meninggalkannya seorang diri. Bertarung dengan dirinya sendiri.

"Semoga Tuhan selalu menyertaimu, Tuan Muda." lirih pria tua itu sembari menyeret kedua kakinya menjauh, hilang terbawa oleh angin.

•••

Chanyeol berang bukan main. Sepuluh menit waktu berlalu, ia masih kekeuh menatap tajam pantulan dirinya di balik kaca berukuran besar yang ada di sudut kamarnya. Hanya ditemani lampu temaram, seorang diri, menghadapi dirinya sendiri.

Mungkin lebih tepatnya, dirinya yang lain.

"Sekarang dengarkan aku." Chanyeol menghempaskan nafasnya, "Ini semua sudah keterlaluan. Keterlaluan! Astaga, demi Tuhan! Kau sudah bertindak terlalu jauh, Charis!"

Charis, nama yang bersembunyi di dalam tubuhnya. Dia yang seenak jidat mengambil alih kinerja otaknya. Menggunakan tubuhnya sebagai wadah. Bertingkah sesuka hati pada semua orang tanpa pandang buluh siapa orang itu. Seberapa penting orang itu bagi Chanyeol. Yang terpenting adalah kesenangannya terwujud saat itu juga.

Mungkin banyak orang tak menyangka. Di balik wajah tampan nan rupawan yang dianugerahkan Tuhan pada diri seorang Park Chanyeol. Bersemayam kepribadian lain yang sialnya membuat hidup inangnya semakin bertambah runyam.

Well, tentu saja. Hanya segelintir orang yang tahu penyakit apa yang di derita oleh Chanyeol. Kedudukan keluarga besar Park yang terpandang membuat Ibu Joan harus berhati-hati dalam memilih orang kepercayaannya dalam mengasuh dan mengawasi gerak-gerik darah dagingnya sendiri.

Selain psikiater pribadi yang seminggu sekali datang melakukan pemeriksaan. Hanya Bibi Alice dan Joo Man—tangan kanannya Ibu Joan—yang tahu pasti, bagaimana kondisi Tuan Muda yang sebenarnya.

Ibu Joan pasti merasa sangat terpukul jika ia tahu salah satu dari tangan kanannya ini malah berbalik mengkhianati amanah yang ia berikan padanya. Sayang sekali.

'Benarkah itu, Park Chanyeol?'

"Kau bajingan! Bagaimana kalau Wendy mengetahui semua, hah!?"

'Aahh! Dasar bodoh!'

Dia, Charis tertawa keras. Meremehkan dirinya. Tanpa sadar, Chanyeol mengeratkan buku-buku jarinya hingga memutih. Tawa yang paling ia benci di muka bumi ini.

Rahang Chanyeol mengeras, "Charis, kau pikir aku sedang bercanda?"

'Hah, lalu kau pikir aku juga sedang bercanda? Hahahah! Kau menyukai gadis itu, bukan?'

"Aku ..." Chanyeol tak bisa mengelak, ia tak bisa membohongi dirinya sendiri. Rasa suka mulai tumbuh di dalam lubuk hatinya.

'Kau, aku dan si pendiam itu. Kita bertiga menyukai gadis yang sama.'

Tok! Tok! Tok!

"Tuan Muda, ini aku. Aku sudah mendapatkan apa yang Tuan Muda pinta."

"Suara itu ... Ugh!" Chanyeol mengerang kesakitan, ia meremas helaian rambutnya, kepalanya terasa berdenyut. Tubuhnya terhuyung ke arah dinding, dengan sisa tenaga yang ada dia menopang tubuhnya pada punggung tegapnya dengan bersandar pada dinding.

'Kalau kau terlalu pengecut untuk mendapatkan gadis itu.'

"Jangan ..."

'Biarkan aku yang melakukannya, Tuan Muda yang terhormat.'

"Aku mohon ... Jangan keluar ... Agh!" Chanyeol berusaha melawannya, dirinya yang lain. Tapi, sekali lagi. Chanyeol harus kembali menelan pil pahit.

Park Charis. Dia terlalu kuat.

•••

"Dia seumuran denganku rupanya." Chanyeol tersenyum miring, membolak-balikkan foto Mark dan kemudian meletakkannya di atas meja belajarnya.

"Jadi, namanya Mark Tuan?"

"Iya, itu benar, Tuan Muda."

Chanyeol tertawa cukup keras. Namun, ada yang salah dengan tawa yang meluncur dari bibirnya saat ini. Tawa itu bukanlah tawa keceriaan yang biasa Chanyeol tunjukkan pada siapapun. Pada ibunya atau pada Bibi Alice. Tawa yang meluncur dari bibirnya sekarang tak lebih dari sekedar tawa keputusasaan. Putus asa pada obsesi yang semakin mengakar dalam hatinya.

"Kalau saya boleh tahu, apa rencana Tuan Muda sekarang?"

Chanyeol mengangkat wajahnya, menatap langsung wajah bawahannya yang tak lagi muda. Ia bangkit dari kursinya dan memamerkan seutas senyuman yang kental dengan nada meremehkan, "Apa yang akan kulakukan padanya? Hah~ aku rasa itu bukan urusanmu, Joo Man."

Pria yang memiliki nama lengkap Joo Man itu langsung menurunkan tengkuk lehernya, meminta maaf atas kelancangan dirinya pada majikannya.

"Tugasmu sekarang sudah selesai. Kalau begitu, kau bisa kembali bekerja seperti biasa."

Baru saja Joo Man berbalik, langkahnya lantas diinterupsi oleh Chanyeol.

"Ah, ya! Seperti biasa, Joo Man-ssi. Jangan bilang apapun pada Nyonya Tua itu, ya?" Chanyeol merubah nada bicaranya. Menjadi lebih ceria. Namun, tetap saja terdengar begitu mengerikan di telinga Joo Man.

Siapa yang tahu, apa hal keji yang ada di dalam kepala anak muda itu?

Joo Man menegup dalam salivanya, mengangguk singkat lalu menghilang di balik pintu. Secepat mungkin pergi dari kamar Chanyeol.

Ceklek!

Seringai jahat di bibir Chanyeol—tidak—Charis seketika mengembang bersamaan dengan menghilangnya tubuh Joo Man di balik pintu. Mengalihkan atensinya pada foto rival barunya sembari berujar.

"Baiklah, kita lihat siapa yang mampu bertahan sampai akhir, Mark Tuan."

.
.
.
.
.

To Be Continues

Three Faces ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang