Trust me, he's crazy!
•••
Flashback on
Chanyeol meringis saat sensasi pedih menjalar di sudut bibirnya. Mengaduhkan kesakitan hingga membuat Bibi Alice yang tengah fokus menempelkan sebuah kain kasa yang telah ia bubuhi dengan cairan pembersih luka, menggumamkan kata 'Tahan, Tuan Muda. Sebentar lagi Bibi selesai' untuk yang kesekian kalinya.
Chanyeol mendengus kesal, "Apa masih lama, Bi?"
Bibi Alice menggeleng pelan, ia tersenyum, "Nah, sudah selesai, Tuan." serunya lalu meletakkan kain basah itu asal di atas mangkuk yang berisi cairan pembersih luka, meletakkannya di atas nakas dan kembali menaruh perhatiannya pada satu-satunya pewaris keluarga Park itu.
"Tuan, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Tuan Muda bisa terluka seperti ini?" tanya Bibi Alice, jangan lupakan raut wajah dan nada bicaranya yang kelewat khawatir.
Dan seperti biasa, Chanyeol hanya memamerkan senyuman dan menggelengkan kepalanya, "Aku tadi hanya terjatuh, Bi."
Bibi Alice menghempaskan nafas berat, "Tuan Muda, ini sudah yang ketiga kalinya Bibi melihat kondisi Tuan seperti ini."
Salah satu alis Chanyeol terangkat, "Bibi tidak percaya padaku?"
"Bukannya Bibi tidak percaya. Hanya saja Bibi ..." Bibi Alice menggantungkan kalimatnya. Memandang Tuan Muda dengan tatapan menilai. Yang langsung dipotong begitu saja oleh Chanyeol.
"Sudahlah, Bibi Alice. Bibi tak perlu khawatir. Ini hanya kecelakaan kecil." kilah Chanyeol, menarik tangan kasar milik Bibi Alice, tangan yang telah berjasa membesarkan ia selagi kecil dan mengusapnya dengan penuh kelembutan, "Tenanglah, aku baik-baik saja."
Bibi Alice mendengus lemah, berdebat dengan Chanyeol sama saja seperti berbicara dengan tembok batu. Selalu menutupi lukanya sendiri dengan senyuman dan bersikap keras kepala. Seolah semuanya baik-baik saja. Benar-benar mirip seperti ayahnya.
"Baiklah, Bibi percaya." kedua sudut bibir wanita paruh baya itu tertarik ke atas, "Sekarang, Tuan istirahat yang banyak ya. Bibi mau keluar sebentar."
Chanyeol mengangguk, "Baiklah."
Bibi Alice bangkit dari tepian kasur berukuran king size milik Chanyeol. Melenggang pergi dari kamar itu lalu menarik gagang pintu. Namun, sebelum ia benar-benar menghilang di balik pintu, Bibi Alice menghentikan langkahnya, memalingkan wajahnya ke arah ranjang, tempat Chanyeol berada dan mendapati Chanyeol tengah membetulkan posisi bantalnya lalu bersandar di kepala ranjang dengan buku komik di tangannya.
•••
Kedua mata pria bermarga Park itu mengerjab pelan. Terperanjat bangun dari tidurnya yang lelap. Sempat beberapa kali berupaya untuk kembali terjun ke alam mimpi. Dengan menarik selimut tebal yang melapisi tubuhnya hingga batas kepala dan kembali mengeratkan matanya. Namun, usahanya sia-sia. Kedua matanya masih saja betah untuk berjaga.
Ia menggulirkan badannya ke tepian ranjang. Rengutan malas keluar dari belahan bibirnya saat kedua matanya melihat jam yang tertera di jam waker yang ia letakkan di atas lemari berukuran kecil, tepat di samping ranjangnya. Angka di atas sana menunjukkan pukul 1 dini hari. Chanyeol bangkit, menyandarkan punggungnya yang terasa kaku di kepala ranjang. Mengucek-ucek kedua matanya sembari menguap. Sungguh, masih terlalu dini untuk bangun pagi.
Setelah beberapa menit berlalu, mengumpulkan kesadarannya yang sempat mengambang di udara—melalang buana entah kemana—dan memfokuskan pandangannya yang sempat kabur. Chanyeol beranjak dari tempat tidurnya dan melangkah gontai, keluar dari kamar. Tak peduli dengan sensasi dingin yang menyerang kakinya saat bersentuhan dengan lantai berlapis marmer yang ia pijak, Chanyeol terus melewati lorong hingga tepat di depan tangga, dengan perlahan menapaki setiap anak tangga, selangkah demi selangkah hingga ke lantai dasar. Bergerak tanpa menimbulkan banyak suara.
Chanyeol menyempitkan pandangannya. Disini lumayan remang. Tak banyak lampu penerangan yang menyala terang. Hanya 1 lampu ruang utama berukuran cukup besar di ruang tengah dan 1 lagi di arah belakang, tepatnya dari arah dapur. Cukup wajar mengingat ini sudah larut malam dan pastinya tak ada aktivitas penting apapun yang perlu di kerjakan dalam waktu seperti ini.
Awalnya, Chanyeol hendak pergi ke dapur, ingin mengisi perutnya dengan segelas jus mangga dingin favoritnya. Namun, langkahnya terhenti begitu saja saat melihat sorot cahaya lampu dari arah salah satu kamar. Pintu kamar itu tak tertutup sepenuhnya. Masih menyisakan celah walau tak seberapa. Dan tanpa perlu banyak memutar otaknya untuk mengingat, Chanyeol tahu itu adalah kamar Sang Ibu.
"Apa aku sejahat itu?"
Deg!
Chanyeol terperanjat di tempat ia berdiri, terkejut bukan main saat mendengarkan suara Ibunya. Seperti tengah berbicara dengan seseorang. Dan dari suaranya saja Chanyeol tahu kalau dia sedang kesal.
Dengan gerakan ala penyusup handal yang mengendap-ngendap ke area musuh, Chanyeol berusaha semaksimal mungkin mengikis jarak diantara dirinya dan kamar ibunya. Menempelkan punggungnya di dinding dan menyiapkan seluruh indra tubuhnya. Sekedar memastikan sekaligus penasaran, apa yang tengah ibunya bicarakan.
Dari celah pintu yang sedikit terbuka, Chanyeol bisa melihat beberapa furniture mahal dan ranjang berukuran king size yang mengisi kamar ini. Tampak sang ibu tengah bersandar di kepala ranjang dengan ponsel yang ia letakkan di telinganya.
"Oh, God! Please, kau terdengar seperti seorang penceramah." dia tertawa, "Kau saja yang tak tahu betapa bahagianya aku saat ini." ujarnya santai sembari memperhatikan kuku-kuku panjangnya yang indah.
Raut wajah dan kata-kata yang keluar dari bibir ibunya membuat Chanyeol sempat berpikir. Bagaimana bisa ibunya tertawa dan berkata seperti itu. Ah, I mean, suaminya baru saja meninggal 1 bulan yang lalu. Orang yang telah mendampinginya selama bertahun-tahun itu meninggal di dalam sebuah insiden kecelakaan yang sangat mengerikan. Dan dia masih bisa berceloteh dengan nada gembira seperti itu?
Chanyeol masih berusaha untuk menyingkirkan setiap asumsi negatif yang mulai tumbuh di otaknya. Memang larut dalam kesedihan itu bukanlah kebiasaan yang sehat. Chanyeol berusaha memaklumi sampai 1 kalimat menohok nan menjijikkan itu keluar dari mulut ibunya.
"Aku senang karena mereka melakukan tugasnya dengan baik dan aku tak perlu mengotori tanganku untuk menyingkirkan pria menjijikkan itu. Mendengar namanya saja sudah membuat aku muntah. Apalagi mengingat sudah berapa lama aku menyia-nyiakan hidupku bersamanya. Ugh, that's disgusting!"
Kedua mata Chanyeol membola dan tak lama muncul kilatan amarah, terkejut sekaligus geram dengannya. Rahangnya kini mengeras. Chanyeol bukan main menahan luapan amarah yang sudah membakar habis otak dan hatinya.
Chanyeol berang, ia sudah tahu dari dulu kalau dia sangat membenci ayahnya. Entah apa sebabnya. Tapi, Chanyeol masih berusaha memaklumi dan berpikir mungkin saja ada sesuatu yang terjadi di masa lalu, sesuatu yang tak ingin ayah dan ibunya ungkapkan padanya. Entah ayahnya bermain api dengan wanita lain, melakukan kekerasan rumah tangga atau hal-hal lain yang membuat ibunya sakit hati. Who knows?
Tapi, semakin lama, Chanyeol sadar kalau apa yang dulu ia pikirkan itu salah. Ayahnya bukan orang seperti itu. Dia pria baik dan penuh tanggung jawab, dia selalu mengutamakan kebahagiaan keluarga, terutama dirinya.
Dan Chanyeol tahu, siapa yang tengah ibunya bicarakan. Siapa pria menjijikkan yang dia maksud. Pria menjijikkan itu adalah ayahnya. Tetapi bagi seorang remaja bau kencur seperti dirinya, dia lebih paham, siapa yang pantas menyandang gelar menjijikkan itu.
Seiring sorot mata Chanyeol yang kian menggelap. Dia pergi meninggalkan Sang Ibu. Sosok baru perlahan muncul, mengambil alih pikirannya. Buah dari kebencian yang berhasil ibunya tanam. Dirinya yang lain telah lahir ke dunia.
Di sisi lain, Joan yang tengah meluapkan kebahagiaan yang tak seharusnya pada seseorang di ujung panggilan tak menyadari jika perkataan ini kelak akan menjadi bencana terbesar dalam hidupnya.
.
.
.
.
.To Be Continues
KAMU SEDANG MEMBACA
Three Faces ✔
FanfictionWENYEOL VERSION | Mungkin sekilas, dia tampak seperti kebanyakan orang pada umumnya. Tapi, percayalah. Dia tak seperti yang kalian kira. COMPLETED | Started at, 16-06-2020