Chapter 37

345 50 2
                                    

Trust me, he's crazy!

•••

Pria berseragam polisi itu menatap dalam remaja yang duduk di seberang mejanya. Bergantian dengan papan mika yang menjadi alas bagi secarik kertas yang berisi beberapa buah pertanyaan yang umumnya digunakan untuk mengorek informasi dari siapapun yang terlibat dalam suatu kasus rumit.

"Aku tanya sekali lagi, Park Chanyeol. Kapan terakhir kali kau menghubungi Son Wendy?" pria itu kembali melontarkan pertanyaan.

Remaja dihadapannya tak dapat menahan rasa jengahnya karena terus-menerus menjadi bulan-bulanan, dilempar pertanyaan yang sama berulang kali. Tapi, untung saja dia mampu mengontrol emosinya dengan baik dibalik aktingnya yang kelewat sempurna.

'Ayolah, tunjukkan wajah pesakitanmu, Chanyeol. Aku sudah tidak tahan. Hell, rasanya aku mau muntah.' Charis menyela dengan nada tak suka. Dia paling benci jika terus dilempar pertanyaan aneh seperti ini.

"Aku terakhir melakukan kontak dengan Wendy 3 hari yang lalu, Pak Polisi. Hanya itu yang bisa aku katakan padamu." nadanya melemah, "Setelah hari itu, dia tidak pernah menghubungiku lagi. Aku sudah berusaha menghubunginya. Tetapi, ponselnya tidak pernah aktif."

Lebih tepatnya, dia sudah mengancurkan ponsel Wendy hingga hancur berkeping-keping. Mencabut sim card, memory card dan membuang rongsokan itu di tempat sampah. Jauh dari tempat tinggalnya. Dan sudah dapat dipastikan, tidak ada seorangpun yang mampu menghubungi nomor itu.

Wanita berseragam yang berdiri tegap di sebelah pria itu—sekaligus asisten—masih belum buka suara, hanya menatap lekat pria muda dihadapannya. Wanita itu lalu menunduk dan membisikkan sesuatu pada telinga rekannya.

Pria itu mendengarkan dengan seksama. Wajahnya kelewat serius. Chanyeol berasumsi. Apa yang wanita itu bisikkan padanya pastilah adalah hal yang cukup penting. Mungkin tentang dirinya.

'Kita tidak boleh lengah.' Chandra yang awalnya biasa saja kini mulai menaikkan tensinya.

"Hari ini cukup sampai disini." pria berumur itu bangkit dari kursinya. Membuka lebar pintu dan mempersilahkan Chanyeol untuk keluar dari ruang interogasi.

"Terimakasih untuk waktunya, Chanyeol-ssi. Lain waktu, kami akan menghubungimu lagi." ucapnya.

Chanyeol bangkit dari kursi pesakitannya, membungkuk hormat. Walau sebenarnya dia enggan untuk melakukannya.

"Baiklah. Terimakasih." balasnya singkat. Akhirnya, dia bisa bernafas lega setelah rela mendekam selama beberapa jam bersama polisi-polisi sialan ini.

Pria itu memperhatikan punggung Chanyeol yang kian menjauh dan menghilang di balik pintu.

"Bukti yang mengarah padanya sangat minim. Sepertinya, kita perlu melakukan penyelidikan lebih dalam lagi, Siwon."

"Aku tidak yakin, Jessica." Siwon berlipat lengan panjang seragamnya hingga mencapai siku tangannya, "Firasatku tidak pernah salah dalam hal ini. Tapi, kenapa rasanya ada yang aneh dengannya?"

Jessica melipat kedua tangannya di dada, menghela nafas berat, "Polisi tidak bekerja berdasarkan firasat, Siwon. Polisi bekerja berdasarkan bukti. Sudahlah, lebih baik kita melaporkan apa yang kita dapat. Ayo!"

•••

Chanyeol memutuskan untuk singgah sebentar di sebuah minimarket yang letaknya tidak jauh dari tempat ia tinggal. Membeli beberapa keperluan rumah dan bahan makanan untuk beberapa hari kedepan. Tergelitik ingin mengetahui apa yang sedang gadisnya kerjakan, dia mengambil ponselnya, membuka aplikasi yang terhubung dengan CCTV yang terpasang hampir di setiap sudut rumahnya. Terutama di area kamarnya.

Bibirnya terangkat ke atas saat melihat gadis yang sangat dia cintai tengah terlelap di atas ranjang. Begitu damai di dalam tidurnya. Mirip seperti bayi. Namun, senyumnya memudar seketika saat melihat Wendy tiba-tiba terbangun dari tidurnya dan bersembunyi di balik selimut. Seperti tengah ketakutan terhadap sesuatu.

"Hell! What's happening?"

Chanyeol mengalihkan pada CCTV lain yang terpasang di lantai atas. Terpasang apik di balik ornamen hias yang menghiasi dinding.

Emosi Chanyeol pecah seketika saat melihat seseorang berpakaian serba hitam tengah berusaha menghancurkan pintu kamarnya dengan sebuah kapak hingga rusak parah.

'Bagaimana ini!? Wendy! Wendy! Dia dalam bahaya!'

Kesadarannya memudar, kini Charis lah yang mengambil alih tubuhnya.

Charis memakai helm dengan tergesa-gesa, menghidupkan mesin motor dan melesat meninggalkan parkiran minimarket, "Lihat saja! Akan aku patahkan tanganmu!" geramnya.

Demi makam mendiang ibunya yang sangat dia benci. Cecenguk itu akan merasakan apa yang namanya rasa sakit. Tangannya sudah gatal untuk memberikan pelajaran pada cecenguk sialan itu.

Sebuah pelajaran yang teramat berharga.

•••

Charis tak mampu lagi mengontrol emosinya saat melihat kaca jendela kamar rumahnya kini telah hancur. Dia menggeram. Mengambil beberapa buah batu di tepian rumahnya. Charis memutuskan untuk mengendap-ngendap, masuk ke dalam rumahnya.

Jalan memutar, melewati jalan sempit di samping rumahnya dan masuk lewat pintu belakang yang terhubung dengan dapur. Tak lupa dia juga mengambil sebilah pisau untuk melancarkan aksinya.

Charis menyisipkan pisau itu di saku celananya. Ia menghela nafas dalam, dia tidak boleh gegabah. Orang itu membawa kapak. Salah perhitungan, bisa-bisa dia yang akan mati konyol di tangan cecenguk sialan itu.

Charis mengeluarkan keahliannya, mengendap-ngendap layaknya singa padang gurun yang tengah mengincar mangsanya. Tanpa mengeluarkan banyak suara, dia berhasil menaiki tangga dan berjalan ke arah kamarnya yang sudah terbuka lebar.

Dia menempelkan punggungnya pada dinding, merengsek ke arah pintu lalu mengintip. Dan pemandangan yang tak pernah Charis bayangkan kini terjadi tepat di depan mata kepalanya sendiri.

Cecenguk sialan itu ...

Dia memeluknya. Memeluk kekasihnya!

'Siapa dia!? Apa yang dia inginkan?' Charis berteriak.

'Aku juga tidak tahu.' Chandra diam sejenak, 'Tunggu. Sepertinya dia tidak asing. Tapi, siapa ya?'

'Aku rasa juga begitu.' Chanyeol menimpali perkataan Chandra. Disini cahaya lampunya sangat redup. Cukup sulit untuk melihat dengan jelas wajahnya.

Charis berusaha menahan tangannya yang sudah bergetar hebat ingin melempar sebongkah batu. Samar-samar dia mendengar percakapan yang terjadi diantara mereka. Dan dari sana, Charis kini tahu siapa yang sedang dia hadapi saat ini.

"Mark, kau rupanya."

Tenang, tenang, dia harus tenang. Tuhan, dia harus lebih banyak bersabar.

Charis berbalik dan menahan nafas saat orang itu berbalik ke arah pintu. Dan terdengar suara keras seperti suara 2 buah besi yang saling bertabrakan.

Tang!

Tang!

Tang!

Charis mengeratkan tangan kanannya, bersiap-siap untuk melempar bongkahan batu yang sudah ia persiapkan. Charis menyeringai, si bodoh itu tidak menyadari kehadirannya.

Dia sedang membelakangi pintu. Inilah saat yang tepat untuknya!

Buak!

Dengan satu lemparan telak, Charis berhasil memberikan luka yang cukup serius padanya. Dan hatinya bersorak kegirangan saat melihat Mark mengerang kesakitan akibat ulahnya.

Charis tertawa, tawa yang terdengar seperti tawa seorang iblis, "Bagaimana rasanya? Sakit, huh?"

.
.
.
.
.

To Be Continues

Three Faces ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang