Chapter 18

360 53 8
                                    

Trust me, he's crazy!

•••

Flashback on

Hari pertama di bulan Desember. Jalanan dipenuhi oleh jutaan atau bahkan milyaran keping salju yang mulai membumbung tinggi, memenuhi jalanan, berjatuhan dari langit layaknya butiran air di musim hujan. Nuansa dingin terasa begitu kental, menusuk pori-pori kulit. Tak banyak kendaraan yang berlalu lalang ataupun para pejalan kaki yang biasanya memenuhi trotoar. Rata-rata, mereka semua lebih memilih untuk menghabiskan waktunya di rumah, menikmati segelas susu hangat di dekat tungku perapian.

Namun, Mark Tuan adalah pengecualian.

Nafas yang keluar dari mulutnya dalam sekejap berubah menjadi embun. Pria itu semakin gusar. Merogoh satu kotak rokok yang ia selipkan di jaket hitamnya, menarik satu puntung rokok dari sana dan menyampirkan benda itu di sudut bibirnya. Tetapi, baru saja ia hendak menekan korek gasnya. Sebuah suara keras menggema dari ujung lorong.

Bragh!

"Agh!"

Gerakannya terhenti. Ia menoleh ke sumber suara. Menajamkan pendengarannya. Pekikan rasa sakit semakin jelas terdengar. Dia memutuskan untuk menarik kembali rokok yang tersampir di bibirnya dan juga korek api gas yang hendak ia gunakan. Membuang puntung rokok itu ke bawah dan memasukkan korek api gas itu ke saku jaketnya. Hal yang paling membuat batinnya semakin gusar adalah tempat dimana ia berada sekarang.

Dia memilih menghabiskan waktunya bersantai di salah satu lorong sepi di sebuah gedung apartemen berlantai 14 yang sudah usang, termakan usia. Tampilan luarnya saja sudah cukup jauh dari kata layak huni. Dengan warna cat yang memudar, dinding yang retak, sampah berserakan dan berbagai kerusakan dimana-mana. Disini sangat sepi dan juga cukup mengerikan. Sangat jarang bila ada orang yang mau menginjakkan kakinya disini. Apalagi di saat-saat badai salju seperti ini. Walau juga tak menutup kemungkinan ada orang lain yang memiliki hobi yang sama. Menyendiri. Tapi, tetap saja, rasa penasaran tetap saja tumbuh subur di dalam diri Mark.

Suara teriakan itu terdengar semakin kencang. Mark mulai kalut. Perdebatan sengit muncil di dalam otaknya. Bohong kalau ia sama sekali tak peduli dengan suara teriakan itu. Suara itu sangatlah mengganggu. Tapi, Mark juga tak ingin dirinya kembali terseret dalam masalah dan kembali menghabiskan waktu akhir pekannya di ruang interogasi polisi.

Tapi, kelihatannya, logika Mark mengalah kali ini. Ia memutuskan untuk beranjak dari tempat ia berdiri. Menyusuri lorong-lorong itu seraya mempertajam indra pendengarannya. Langkahnya semakin cepat. Belok dari 1 jalur dan kemudian menuruni beberapa anak tangga ke lantai bawah. Nafas Mark memburu, suara itu terdengar semakin jelas. Hingga ia sampai pada akhir dari lorong di lantai ini, sebuah jalan buntu.

Mark masih berusaha menarik oksigen yang ada disekitarnya. Dadanya naik turun, sedikit terkejut saat mendapati beberapa bercak darah yang telah mengering di beberapa tempat. Di dinding maupun di lantai. Bukan cuma itu, Mark semakin panik saat melihat 2 orang pria yang tengah bergumul. Di depan sana. Tengah tergeletak tak berdaya, menahan rasa sakit, salah satu tangannya tampak terluka parah. Sementara tangan yang satunya tampak sekuat tenaga memegang pergelangan tangan lawannya, menghentikan pergerakan lawannya yang tengah mengarahkan sesuatu pada bola matanya.

Sial, apa yang hendak ia lakukan dengan benda itu? Tunggu dulu, bukannya itu sebuah pen? Apa jangan-jangan dia akan ...

Buagh!

Dengan langkah tangkas, Mark berlari kencang dan menghadiahkan tendakan keras pada salah satu sisi wajah pria itu. Hingga ia terhempas ke belakang dan menabrak dinding. Cukup memberikan waktu baginya untuk melihat kondisi orang itu.

Dan itu semakin membuat Mark terguncang. Orang yang tengah terkapar tak berdaya itu. Dia mengenalnya.

"Jackson!?" Mark lantas menurunkan salah satu lututnya di atas lantai, menegakkan punggung temannya itu. Seingat Mark, kemampuan Jackson dalam hal berkelahi tak seburuk itu. Mark tak pernah melihat Jackson mengalami cedera separah ini sebelumnya.

"Hah ... Hah ... Bung ... Ugh!"

"Tidak ada waktu untuk bicara. Sekarang kita ke rumah sakit." saat Mark hendak memapah Jackson, gerakannya berhenti saat menyadari pergerakan kecil yang di buat oleh pria yang dia tendang tadi.

Dia sudah bangun.

Dengan atensi tinggi, Mark menatap waspada ke arahnya. Dia memakai hoddie tebal berwarna hitam. Kesadarannya kembali terkumpul, ia mulai menyandarkan punggungnya seraya meringis pelan. Menurunkan masker yang menutupi sebagian wajahnya. Mark kembali dibuat terkejut dengan apa yang ia lihat.

"Ka-kau ..."

"Kenapa? Terkejut, hah?" dia tertawa remeh, mengelap sudut bibirnya yang tampak memerah akibat serangan telak yang diberikan oleh Mark. Mencoba bangkit.

Sedangkan Mark, dia masih tak percaya dengan apa yang ia lihat dengan mata kepalanya sendiri. Bocah menyedihkan yang selama ini mereka tindas berubah drastis. Tak ada lagi tubuh yang bergetar dan bola mata yang memancarkan ketakutan. Semuanya telah lenyap termakan ombak. Park Chanyeol yang terkenal lemah telah berubah menjadi orang yang tak pernah ia kenal sebelumnya.

"Uaagh!"

Buagh!

Mark mengerang kesakitan, ia jatuh terhempas ke atas lantai, nafasnya tercekat. Berputar dan dengan sekuat tenaga kembali bangkit. Ia menggeram. Memegang rahangnya yang terasa sakit akibat pukulan keras tadi. Andaikan saja ia kurang tangkas dalam menghindar. Bisa saja kaki pria bajingan itu sudah menginjak perutnya tadi.

Serangan kembali dilancarkan. Kini Mark yang mengambil alih. Satu tinju kiri masih mampu ia hindari. Mark melesatkan tendangan keras yang masih mampu ditahan oleh kedua tangan Chanyeol yang saling bertumpu layaknya perisai. Mark melihat kesempatan emas. Pertahanannya terbuka. Mark mengeratkan kepalan tangannya. Selang beberapa detik, Mark kembali melemparkan tinjuan dengan kekuatan penuh, kali ini tepat mengarah ke pipi kanannya dan bam! Serangannya kali ini berhasil. Dia kembali tumbang.

Nafasnya terengah-engah. Tenaganya mulai terkuras. Ditambah cuaca ekstrim dan lokasi yang juga sama sekali tak mendukung. Namun, Mark masih memasang alarm waspada. Tak ada yang tahu apa yang ada di kepala pria gila itu. Mark masih setia menanti pergerakan darinya. Namun, tampaknya pukulan tadi membawa dampak yang lumayan besar bagi Chanyeol. Pria itu masih terkapar lemah, menggeram menahan rasa sakit seraya memegang rahangnya. Mungkin agak tergesar dan Mark tak peduli.

Mark tak ingin mengulur waktu, ia langsung saja melenggangkan kakinya ke arah Jackson dan kembali memapah tubuh bongsor temannya itu. Pergi meninggalkan Chanyeol seorang diri. Sejenak, Mark memutar kepalanya ke belakang, memastikan kalau dia masih ada disana. Dan untungnya, dia masih belum beranjak dari tempatnya semula.

"Dasar gila." gumam Mark, terdengar seperti bisikan halus.

Keesokan harinya, berita tentang Jackson tersebar luas di seluruh penjuru sekolah. Jackson harus absen hampir 2 minggu demi menjalani pengobatan di rumah sakit. Dan sejak saat itu, nama seorang Park Chanyeol diam-diam menghilang dari daftar nama pelajar di sekolah itu. Sedikit yang menyadari namun kebanyakan dari mereka tak peduli. Namun, Mark akan selalu ingat. Siapa sebenarnya Park Chanyeol.

.
.
.
.
.

To Be Continues

Three Faces ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang