Trust me, he's crazy!
•••
Kedua mata Wendy membulat saat mendengar penuturan singkat dari Mark. Wendy menahan diri untuk tidak tertawa lepas. Namun, usahanya gagal. Tawa sudah berhasil lepas dari tenggorokannya. Mengisi seluruh sudut ruang kelas. Beruntung karena sekarang hanya tersisa mereka berdua yang ada di kelas. Teman-teman mereka yang lain sudah pergi meninggalkan kelas sejak bel pulang berbunyi lantang beberapa menit yang lalu.
"Astaga, Oppa. Apa yang kau bicarakan sih?" salah satu tangan gadis itu memegang perutnya yang terasa keram akibat terlalu banyak tertawa, sementara tangannya yang bebas telah bergerak ke atas, mengusap sudut matanya yang mengeluarkan bulir air mata.
Wendy menghela nafas, memulihkan kembali pita suaranya yang sempat serak, "Oppa pasti bercanda. Dan lagi pula, jika itu benar, darimana Oppa mengetahuinya?"
Mark memasang wajah dinginnya, bersikap acuh atas ketidakseriusan yang ia dapatkan, "Kau tidak perlu tahu darimana. Itu tidak penting. Yang jelas, aku minta padamu. Apapun itu. Wendy, tolong jauhi dia. Jauhi namja itu sejauh mungkin."
Wendy terkejut. Bingung atas dasar apa Mark menyuruhnya untuk menjauh dari Chanyeol. Yang menurut Wendy sangatlah konyol. Dia berbahaya? Yang benar saja? Selama ia berada di dekat Chanyeol. Walau kadang Chanyeol bisa bersikap dingin dengan nada bicara serta perkataannya yang setajam mata samurai. Tetapi, dia tak pernah sekalipun menerima kekerasan fisik yang berarti. Wajah cantiknya berubah masam, mengangkat wajah, membalas tatapan dingin pria bertubuh besar di hadapannya dengan melemparkan tatapan tak suka.
"Kau tidak berhak mengatur dengan siapa aku mau berteman, Mark Tuan." Wendy tak peduli lagi dengan tata krama dalam berbicara. Dia juga tak peduli jika ucapannya ini bisa saja menyakiti hati lawan bicaranya saat ini.
"Kau tidak tahu apa-apa tentangnya."
"Aku tidak tahu apa-apa, huh? Apa maksudmu? Dan apa buktinya jika itu benar? Perlu kau ingat, aku ini bukan orang bodoh. Jadi, jangan coba-coba kau membual padaku, Mark." Mata Wendy menyempit tajam.
Mark meraih kedua bahu gadis itu, mencengkeramnya erat, "Ini demi kebaikanmu sendiri, Wendy! Kau tahu!? Temanku hampir saja mati konyol gara-gara namja sialan itu!" geram Mark.
Tubuh mungil Wendy tersentak, "Aku tak percaya." Wendy menggeleng kuat, tak menerima argumen konyol yang keluar dari bibir Mark, "You know? He's a good boy." cibirnya.
"Tapi, itulah yang ada, Wendy! Dia berbahaya! Aku ... Agh! Aku akui, memang aku bukanlah jenis orang yang bisa dibilang orang baik! Tapi, aku tak pernah sekalipun berniat untuk mencabut nyawa siapapun! Tapi, namja itu ... Dia gila! Dia hampir saja mencongkel keluar mata temanku dengan sebuah bolpoin, Wendy! Apa kau tahu itu!?" Mark menyela ucapan Wendy dengan nafas yang memburu. Nada bicaranya terdengar frustasi seperti orang yang tengah putus asa.
Gila? Mencongkel mata? Dengan bolpoin? Apa-apaan itu? Wendy masih bertekad mengorek bau kebohongan yang ada di dalam ucapan itu. Tetapi, nihil. Yang ada malah sebaliknya. Dia seolah mengucapkan sebuah pil kebenaran yang amat pahit. Dari cara pengucapan dan sorot mata Mark yang terlampau nyata. Wendy tak menemukan apa-apa selain kejujuran.
Wendy juga tak bisa menampik ada berbagai macam keanehan yang ia rasakan. Dari serpihan-serpihan kaca bernama ambiguitas yang ia dapatkan di balik mansion itu. Hubungan antara Chanyeol dan Ibu Joan. Bagaimana Ibu Joan menceritakan dengan nada sendu, bagaimana riangnya seorang Park Chanyeol. Bagaimana sikap Chanyeol yang bisa berubah dalam hitungan detik, menjadi orang yang tak ia kenal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Three Faces ✔
FanfictionWENYEOL VERSION | Mungkin sekilas, dia tampak seperti kebanyakan orang pada umumnya. Tapi, percayalah. Dia tak seperti yang kalian kira. COMPLETED | Started at, 16-06-2020