Trust me, he's crazy!
•••
Sebuah tepukan lembut di bahu gadis bermarga Son itu lantas memaksanya untuk menghentikan aktivitasnya menghapus coretan-coretan tak berfaedah di papan tulis dan berbalik.
Wajah Wendy seketika tertekuk ke bawah. Ia paling tak suka jika di kala ia tengah serius mengerjakan sesuatu tiba-tiba kegiatannya diinterupsi tanpa sebab. Dia sempat mengira kalau pelaku penepuknya adalah Seulgi. Siapa lagi kalau bukan manusia bar-bar yang satu itu. Dialah satu-satunya manusia di permukaan bumi yang suka mengusik ketenangan hidupnya. Wendy mengepalkan tangannya dan menarik dalam oksigen yang bertebaran di udara, sebanyak mungkin. Sudah siap dengan jurus omelan dengan kecepatan suara maksimum 1000 kilometer miliknya.
"Seulgi! Kan sudah aku bilang jangan gang—" tapi gerakan bibirnya terhenti saat melihat siapa yang telah menepuknya. Wendy tersenyum tak enak, kelihatannya kali ini dia salah orang kali ini, "Ehehe! Mark Oppa?"
"Maaf, kalau aku mengejutkanmu tadi." ucap Mark, sedikit menyesal karena secara tak langsung membuat gadis itu terkejut akibat ulahnya, "Aku ... aku tak sengaja."
Kedua mata Wendy mengerjab dalam tempo yang cukup singkat. Tak biasanya Mark datang sepagi ini. Bukannya mau berpikiran yang aneh-aneh. Hanya saja, Mark yang Wendy kenal selama hampir 3 tahun terakhir ini adalah salah satu siswa yang paling tak taat dengan yang namanya aturan. Namanya sudah diabadikan di dalam daftar merah para guru. Untung saja ayahnya termasuk salah satu donatur tetap di sekolah dan juga sekaligus orang terpandang di negara ini.
Jadi, tak ada yang berani bertindak lebih terhadap Mark selain menegurnya dengan nada keras atau memberikan Mark hukuman berupa tugas membersihkan toilet sekolah ataupun berlari mengelilingi lapangan sebanyak 10 kali.
"Bolehkah aku bertanya sesuatu padamu?"
Salah satu alis Wendy terangkat ke atas. Bukannya mau menghakimi. Tapi, jujus saja. Kalimat sederhana itu entah mengapa terdengar aneh jika yang mengucapkannya adalah seorang Mark Tuan. Perlu diingat, Mark itu tipikal orang yang paling anti dengan yang namanya basa-basi. Bermulut tajam dan juga tak peduli jika apa yang keluar dari mulutnya menyakiti orang lain. Itulah Mark Tuan yang Wendy kenal.
"Ya, tentu saja boleh. Toh, tidak ada ruginya." jeda sejenak, "Memangnya Oppa mau bertanya tentang apa?"
Mark berdehem, kedua bola matanya tampak seperti sedang memikirkan sesuatu yang cukup berat, "Apa nanti sore kau sibuk?"
"Ha?"
"Maksudku, apa nanti sore kau ada kegiatan di luar sekolah?"
Wendy tersenyum kikuk, berbagai spekulasi aneh lantas berputar-putar mengitari otaknya. Bukannya lebay, tapi dia juga wanita. Mendengar seorang pria mengatakan hal ini dengan gestur tubuh seperti itu sempat membuat hatinya bimbang. Mirip seperti adegan picisan di drama romantis dimana seorang pria mengajak wanita yang disukainya untuk pergi berkencan. Siapa yang tak berpikir aneh-aneh?
Tapi, dengan secepat kilat Wendy langsung melibas habis semuanya dan menganggap pertanyaan aneh yang diajukan oleh Mark tak berarti apa-apa. "Maaf, Oppa. Kebetulan, hampir setiap sore, aku ada kegiatan lain di luar sana."
"Ah, begitu ya." Mark tersenyum tipis, "Kegiatan ekskul?"
Wendy menggeleng, "Bukan."
"Bukan?"
Wendy mengangguk mantap, "Iya, Oppa." ucapannya terhenti, sejenak memikirkan kata-kata yang pas untuk menjelaskan apa yang ada di kepalanya, "Kau tahukan, terkadang manusia kere seperti diriku ini membutuhkan uang tambahan untuk bertahan hidup." kekeh Wendy.
KAMU SEDANG MEMBACA
Three Faces ✔
FanficWENYEOL VERSION | Mungkin sekilas, dia tampak seperti kebanyakan orang pada umumnya. Tapi, percayalah. Dia tak seperti yang kalian kira. COMPLETED | Started at, 16-06-2020