Trust me, he's crazy!
•••
Puntung rokok yang sudah terhisap habis ia biarkan berserakan di atas tanah. Bersamaan dengan hembusan asap rokok yang sekilas membumbung ke atas, mengotori udara. Tampak seseorang berpakaian serba hitam yang dengan santai bersandar di antara himpitan tembok-tembok tinggi.
Menunggu dengan sabar waktu yang tepat untuk melakukan aksinya. Sampai dia menyadari, sudah lebih dari 1 jam pria gila itu meninggalkan rumahnya.
Memperhatikan jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya, dia menguatkan tekad yang sudah ia pupuk jauh-jauh hari, "Mungkin ini sudah waktunya." ujarnya pelan.
Dia menunduk, mengambil kapak besi yang sengaja dia bawa dari rumah. Melangkah tanpa meninggalkan banyak suara yang mungkin saja dapat menarik perhatian orang lain. Di waktu seperti ini memang terasa sepi. Jarang sekali orang berlalu lalang di area ini di waktu malam.
Tapi, siapa tahu jika ada orang yang melihatnya, bukan? Lebih baik dia berjaga-jaga daripada mati konyol tertangkap basah.
Cras!
Dengan 1 kali ayunan keras pada jendela, Mark berhasil menghancurkan kaca jendela hingga hancur berkeping-keping. Mark berdesis, semoga saja tidak ada yang mendengarkannya. Dia lalu menaiki jendela itu dan dengan mudah masuk ke dalam rumah.
Untuk percobaan pertama, ini cukup mudah.
Mark menelisik area sekitar. Mengamati seluruh sudut rumah yang agak remang-remang karena hanya disinari oleh 2 lampu yang berasal dari arah dapur dan ruang tengah. Cukup normal. Ia juga memperhatikan area langit-langit rumah. Memastikan tidak ada satupun CCTV yang terpasang di area ini.
Ia menghela nafas berat, "Tidak ada rupanya. Syukurlah."
Mengikuti kemana naluri menuntunnya. Mark melangkah melewati ruang tamu, membuka setiap pintu di hadapannya.
Brak!
"Tidak ada."
Brak!
"Ini juga sama."
Dia sudah menelusuri area dasar. Tidak ada satupun yang terlihat mencurigakan. Dia menghempaskan pintu dengan rasa kecewa. Sampai sudut matanya menangkap beberapa anak tangga yang ada di sudut.
Dia bergumam, "Ah, benar juga. Lantai atas belum aku periksa."
Mark melesat ke arah tangga, agak tergesa-gesa, dan benar saja, ada beberapa kamar yang masih tertutup rapat, belum ia jamah.
Satu kamar dapat ia buka dengan mudah namun tak ada hal menarik yang dapat ia selidiki selain beberapa tumpukan sepatu dan jaket yang tergantung rapi di gantungan.
Kamar kedua. Hanya ada rak buku disini. Berbeda dengan ruangan sebelumnya. Disini agak berantakan. Buku-buku berbagai genre, baik buku pelajaran ataupun buku novel berserakan di atas meja dan sofa tunggal di ujung sana. Ah, bahkan Mark tak sengaja menangkap beberapa buah majalah pria dewasa yang menampilkan wanita-wanita seksi juga berada disana.
"Huh, dia punya juga ternyata." Mark tersenyum remeh. Mengingat masa lalunya, dimana dia hanya mengingat Park Chanyeol hanyalah seorang anak cupu yang sering menjadi sasaran bully di sekolah. Penakut dan juga pengecut layaknya pria kemayu. Bahkan, tidak ada satupun gadis yang sudi mendekatinya pada saat itu.
Tak ada yang hal yang patut dibanggakan dari Chanyeol selain dia anak yang suka berkutat pada buku dan latar belakang keluarganya yang kaya raya. Dan hal itu membuat Mark tak habis pikir bagaimana Wendy bisa jatuh cinta pada pria lemah seperti Chanyeol. Untuk melindungi dirinya saja tidak mampu? Bagaimana pria lemah itu mau melindungi orang lain?
KAMU SEDANG MEMBACA
Three Faces ✔
FanfictionWENYEOL VERSION | Mungkin sekilas, dia tampak seperti kebanyakan orang pada umumnya. Tapi, percayalah. Dia tak seperti yang kalian kira. COMPLETED | Started at, 16-06-2020