21. Bittersweet Blue Night

5.6K 498 14
                                    

-Song Da In-

Dari sini aku mampu mendengar detak jantung Taehyung. Ku rasa bukan detak normal. Temponya sedikit cepat. Untuk pertama kali, aku berada dalam dekapan pria ini. Hangat. Dengan kulit saling bersentuhan. Membuatku sedikit tidak nyaman sebab begitu asing. Aku memang kerap bercinta dengan Taehyung. Pertemuan antar kulit sudah menjadi hal biasa. Tapi ini berbeda. Dia memeluk tubuhku posesif menyebabkan pikiranku semakin tidak karuan. Ingin tahu bagaimana perasaannya ketika memelukku seperti ini.

Maka aku mendongak, menemukan wajah damai pria yang terlelap setelah pergumulan hebat beberapa saat lalu. Masih setia mengapit tubuhku rapat. Tidak memberikan akses untuk bergerak sama sekali. Perlahan tanganku mencari jalan keluar, tidak ingin membuatnya terbangun.

"Apa kau tidak lelah? Kenapa belum tidur?" Tanya Taehyung ketika satu tanganku berhasil lolos. Apa selama ini dia hanya berpura-pura tidur? Mudah sekali terbangun karena pergerakan kecil.

"Bagaimana aku bisa tidur jika kau mendekapku begini? Aku kesulitan bernapas." Sahutku pada akhirnya. Mata Taehyung berhasil terbuka. Sedikit menunduk berusaha mencari wajahku. Kemudian meregangkan pelukan dan kembali menatapku penuh arti. Dia mudah sekali membuatku luluh.

"Da In, bolehkah aku bertanya?" Ujarnya lagi setelah sedikit menjauhkan tubuh dariku. Membuat mataku lebih leluasa memandangi wajahnya.

"Tidak," jawabku seketika, "sudah selesai bermain truth or dare-nya. Aku tidak akan memilih lagi."

"Bukan." Seketika tatapannya berubah. Meraih tanganku dalam selimut dan menarik keluar. Menunjukkan pergelangan tanganku dengan bekas luka samar. "Ini. Ada apa dengan ini?"

Aku tidak menyangka selama ini Taehyung memperhatikan hal itu. Buru-buru aku menariknya kembali dan berusaha menyembunyikan—meskipun aku tahu hanya sia-sia. Hanya saja, aku belum siap menceritakan tentang hal itu. Tidak pernah siap. Memang tidak berniat menceritakan pada siapapun.

Taehyung menatapku teduh. Entah mengapa aku sering kali melihatnya seperti ini, menatapku tulus. Seolah aku orang paling dicintai. Tentu saja itu hanya sekedar ekspektasi belaka. Nyatanya, Taehyung memiliki Lee Ara, milik Lee Ara.

"Kau tahu, ku rasa aku sudah melewati fase terburuk dalam kehidupan. Kehilangan orang tuaku dan hampir kehilangan diriku sendiri." Pada akhirnya aku membuka mulut. Mengumpulkan seluruh keberanian untuk menceritakan masa-masa sulit.

Taehyung tampak menyimak. Membenahi posisi menghadapku penuh. Satu tangannya mengusak perlahan bekas sayatan di pergelangan tanganku. Salah satu hal yang aku suka darinya, Taehyung mungkin bukan pembicara yang baik—selalu dingin saat berkata-kata, tapi dia seorang pendengar yang baik. Selalu mendengarkan orang lain bercerita tanpa menyela.

"Saat itu orang tuaku pergi ke salah satu pesta kolega perusahaan. Mereka mengajakku namun aku menolak. Lebih memilih berdiam diri di rumah. Sepulang dari acara, aku mendapat kabar mereka terlibat kecelakaan tunggal. Mobil mereka jatuh ke jurang, meledak seketika, meninggal di tempat." Aku menghela napas, hampir terisak. Namun Taehyung berusaha menenangkan. Mengusap pipiku perlahan dan sesekali menyibak beberapa helai rambut ke belakang telinga. Masih terdiam menungguku melanjutkan.

"Setelah kejadian itu, aku kembali ke sekolah. Tidak seorangpun yang bisa diajak bicara. Aku tidak memiliki teman sama sekali sebelumnya. Kim Mingyu, satu-satunya temanku sudah berpindah ke Valley Hills saat itu. Aku benar-benar sendirian.

Bagian terburuknya, aku bertindak bodoh. Depresi. Ingin bertemu orang tuaku secepatnya. Kali pertama, aku menyayat pergelangan tanganku. Penyebab luka yang kau tanyakan ini. Namun sekertaris Lee menemukanku terkapar di kamar mandi, kemudian aku terbangun di rumah sakit. Kali kedua, aku mengonsumsi obat-obatan sekaligus. Lagi-lagi sekertaris Lee menemukanku terbaring tidak sadarkan diri karena overdosis.

Ku rasa saat itu sekertaris Lee prihatin dengan kondisiku. Dia membawaku ke psikiater. Kau tahu, ternyata aku hanya membutuhkan orang untuk diajak bicara. Aku merasa banyak perubahan setelah bertemu dengan psikiaterku. Dan kala itu, sekertaris Lee menyuruhku untuk tinggal bersama keluargamu. Bermaksud untuk tidak membiarkanku tinggal sendirian. Aku sempat kecewa dengannya dan bertengkar hebat. Merasa dia tidak ingin menjagaku dan meninggalkanku sendirian lagi. Tapi pada akhirnya aku mengerti, dia terlalu sibuk mengurus perusahaan sehingga tidak bisa memberikan banyak waktu luang untukku. Takut untuk meninggalkanku sendirian di rumah karena bisa melakukan hal yang membahayakan diri lagi. Itulah yang membuatku berada disini sekarang."

Kim Taehyung bungkam mendengar penjelasanku. Menatapku dalam dengan mata sehitam jelaganya. Kemudian dia meraih dahiku untuk memberikan kecupan. Entah untuk apa, namun aku merasa begitu—dicintai sepenuhnya.

"Maafkan aku." Ujar Taehyung sambil menarikku dalam rengkuhannya. Aku mampu menghirup aroma tubuh Taehyung. Didadanya aku bernapas lega. Tanpa sadar air mata berhasil lolos.

Hal ini selalu ku dambakan. Berdua dengan seseorang yang ku cintai, menceritakan hal-hal kelam di masa lalu, menumpahkan seluruh air mata padanya, mendapat pelukan hangat untuk menenangkan. Sangat sempurna. Jika saja Taehyung bisa menjadi milikku sepenuhnya, tanpa ada Ara sejak awal. Mungkin akan lebih sempurna. Maka aku hanya mampu terisak lebih keras. Merasakan sakit yang ku ciptakan sendiri. Berkali-kali di tampar kenyataan pahit namun masih angkuh dalam menjadi bebal.

Beberapa menit aku mulai tenang dan kehilangan isakan sepenuhnya. Taehyung masih setia memelukku tanpa ingin melepas sedikitpun. Ini akan menjadi malam paling bahagia untukku. Mengantarkan perasaanku semakin jauh padanya. Hingga satu hal menginterupsi, dering ponsel Taehyung dari saku celananya. Taehyung melepaskan pelukan bersamaan dengan tubuhku yang kehilangan kehangatan. Meraih ponsel di saku celana di bawah ranjang. Mengangkatnya lalu meletakkan di telinga.

"Ada apa? Baiklah. Tunggu sebentar." Begitulah kata yang terucap dari bibir Taehyung selagi berbicara dengan orang diseberang telepon.

"Aku harus pergi." Ujarnya sambil mengenakan kembali seluruh pakaian. Aku mengangkat tubuh bersandar pada headboard ranjang. Menarik selimut untuk menutup hingga dada. Kemudian menatapnya bingung.

"Ini jam satu malam, Tae. Dan kau mabuk. Kemana kau akan pergi?"

"Ke apartemen Ara. Dia membutuhkanku." Seketika hatiku hancur mendengar nama yang Taehyung sebutkan. Seolah ada duri menghujam dada hingga menembus jantung. Sakit sekali. "Tenang saja, aku sudah kehilangan pengarku." Imbuhnya.

Tenang katanya. Aku sama sekali tidak bisa merasa tenang. Baru saja bercinta denganku dan bermesraan layaknya kekasih, dia malah akan segera bertemu kekasih sebenarnya. Aku ingin sekali menjadi egois untuk diriku sendiri. Maka aku mengatakan, "tidak bisakah kau tetap disini? Aku juga membutuhkanmu." Biarlah aku kehilangan muka dan menjatuhkan harga diriku di depan pria ini. Memohon seperti jalang yang minta dipuaskan. Bahkan aku merasa jijik dengan diriku sendiri. Tapi, aku benar-benar membutuhkannya. Menginginkannya.

"Maafkan aku, Da In. Aku harus menemui Ara. Jangan menungguku. Tidurlah lebih dulu." Sahut Taehyung kemudian mengecup pucuk kepalaku. Berlalu menghilang dari balik pintu kamar. Meninggalkanku dan perasaanku yang sudah luluh lantak. Kembali terisak menyadari kenyataan lagi-lagi menghantamku nyalang. Tidak membiarkanku sedikit saja merasakan bahagia bersama orang yang aku cintai.

Sweet ScarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang