Bryan Steven

833 90 13
                                    

Kesunyian teman dalam kesendirian
~Bryan Steven

Bryan memberhentikan mobilnya di depan sebuah danau yang cukup sepi tapi terlihat tenang dan damai. Kedua orang itu duduk di tepi danau, sesekali Bilqis tersenyum senang sambil memainkan air danau.

Ia mencipratkan air tersebut ke Bryan. "Biar seger, layu banget muka lo."

Lelaki itu ikut tersenyum namun masih bisa Bilqis lihat senyum itu penuh luka. Bilqis duduk di samping Bryan, ia menepuk pundaknya. "Sini sandaran sama gue."

Mata lelaki itu tampak berkaca-kaca, dadanya sesak karena menahannya sejak di sekolah tadi.

"Udah nangis aja biar lega."

Bryan menggeleng. "Gue gak lemah."

"Cowok juga manusia bukan batu yang gak punya perasaan, nangis aja sini di pundak gue." Bilqis membawa kepala Bryan untuk bersandar pada pundaknya tetapi lelaki itu malah memeluknya erat, Bilqis yang kaget hampir terlentang ke belakang karena serangan dadakan itu.

Bryan menangis di pelukan gadis itu, Bilqis mengusap kepala dan punggung lelaki itu untuk menenangkannya.

"Kenapa harus wanita itu, Qis? Dari sekian banyaknya wanita di dunia, kenapa harus dia?"

Entah sejak kapan Ravin suka bermain wanita, yang Bryan tau lelaki parubaya itu memang sering gonta-ganti pacar untuk tinggal bersamanya bahkan terakhir Ravin masih tinggal bersama wanita simpanannya. Tetapi sekarang sudah menikah dengan wanita lain lagi.

"Tenang, ya." Jujur saja Bilqis tidak tau siapa wanita itu dan kenapa Bryan sangat membencinya. Gadis itu hanya terus menenangkan Bryan tanpa banyak bertanya padahal isi kepalanya sudah sangat berisik saat ini.

Bryan menerima pesan dari seseorang kemudian ia bergegas untuk mengantar Bilqis pulang dan ia pergi menemui seseorang.

Map berisikan berkas-berkas penting disuguhkan dihadapan Bryan.

"Pilihan kamu cuma dua, kembali ke rumah ini dan tinggalkan wanita itu lalu sebagian besar harta warisan atas nama kamu atau hidup miskin bersama wanita sialan itu?" tegas Ravin.

Bryan mengepalkan tangannya kuat jika saja lelaki tua itu bukan ayahnya mungkin sudah ia buat babak belur wajahnya.

"Mamah harap kamu memilih opsi pertama, sayang," ucap Ariana.

Bryan berdecih, "Mamah? Jalang kayak lo gak pantes jadi mamah gue!"

Ravin menggebrak meja, "JAGA UCAPAN KAMU, BRYAN!"

"Itu faktanya," balas Bryan pada Ravin. "Asal lo tau lo wanita kesekian yang tinggal disini sama bokap gue, jadi jangan sok jadi prioritas kalo habis kontrak lo juga di buang," maki Bryan.

PLAKK

Satu tamparan Bryan terima, lelaki itu hanya tersenyum miring sambil menyeka darah segar yang keluar dari sudut bibirnya.

"SAYA TIDAK PERNAH MENGAJARKAN HAL TIDAK SOPAN SEPERTI ITU SAMA KAMU, BRYAN! SUKA ATAU TIDAK DIA IBU KAMU." Teriak Ravin.

"Tapi perilaku ayah yang menjadi contoh untuk Bryan, ayah pernah gak kasih contoh yang baik sama Bryan?"

Ravin hendak melayangkan tangannya kembali namun di cegah Ariana. "Udah, Mas. Bryan masih kecil belum tau apa-apa."

"Saya minta kamu kesini hanya untuk memastikan pilihan terakhir kamu, saya tidak ingin kamu menyesal nantinya!"

Bryan beranjak untuk pergi, bukankah sudah jelas opsi yang ia pilih? Tidak mungkin ia meninggalkan ibunya hanya demi harta. Harta bisa dicari tapi kasih sayang orang tua itu lebih berarti.

"Baiklah, jadi kamu lebih memilih hidup miskin bersama wanita sialan itu."

Bryan mengepalkan tangannya kuat, "Bryan bersyukur bunda dijauhkan dari para iblis seperti kalian! Bryan gak takut hidup miskin, Bryan lebih takut hidup bersama monster yang haus harta."

"Ayah juga tidak masalah kehilangan anak kurang ajar seperti kamu, lagian ayah juga masih punya dua anak lainnya." Ravin memanggil kedua anaknya yang tidak lain adalah anak dari Ariana.

"Membuang keluarga demi sampah jalanan," cibir Bryan.

Ravin menahan emosinya mendengar perkataan Bryan, ia mengeluarkan map lainnya lalu menandatangani berkas yang ada di dalam map tersebut.

"Kalian berdua resmi menjadi penerus ayah dan seluruh harta ayah atas nama kalian, Samuel Dirgantara dan Sabetha Dirgantara." Ravin sengaja menekankan marga keluarganya.

Bryan berbalik badan saat mendengar nama yang tidak asing di telinganya. Ternyata benar saudara Sabetha itu ternyata mantan dari Bilqis, lelaki yang pernah bertemu dengannya di halte dekat sekolah waktu itu.

"Hay, ternyata lo," sapa Samuel sambil menepuk pundak Bryan. "Gak nyangka ya kita jadi saudara," ucapnya seolah meledek Bryan.

Bryan melirik Sabetha, "Jadi lo bukan anak tunggal?" tanya Bryan.

Setaunya Sabetha itu anak tunggal memang sudah lama gadis itu menjadi anak broken home karena perpisahan orang tuanya itulah sebabnya Bryan sempat dekat dengannya namun hanya sekedar teman karena Bryan memiliki sifat empati yang begitu besar.

Terkadang terlalu baik juga dapat menjebak kita dalam masalah besar.

"Ayah jangan usir Bryan, ya, gimana pun dia juga anak ayah, saudara kita," bujuk Sabetha sambil bersikap manja pada Ravin.

Ravin mengusap kepala gadis itu. "Ayah tidak pernah mengusirnya, dia yang menentukan jalan hidupnya sendiri."

Bryan yang merasa muak dengan drama keluarga itu, segera beranjak pergi dan meninggalkan rumah itu. Ia melihat sekeliling rumahnya sebelum benar-benar pergi.

Mungkin ini yang terakhir gue menginjakkan kaki disini, batin Bryan.

Rumah masa kecilnya, tempat dimana ia sering bermain dengan gadis yang menjadi cinta pertamanya. Gadis kecil yang selalu memeluk Bryan dalam lukanya, menghiburnya untuk menutupi kesedihan itu. Gadis kecil yang merangkul dan memeluknya menggantikan sosok ibu bagi Bryan, semuanya hilang tanpa jejak.

Kita akan bertemu di tempat yang lebih baik lagi, Bulan. Batin Bryan lalu mengendarai mobilnya meninggalkan rumah mewah itu.

***

Dibalik Rasa Seamin tak Seiman (Proses Revisi) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang