EMPAT PULUH SEMBILAN

80 3 0
                                    

Berita tentang Ria yang sempat diculik dan berakhir koma di rumah sakit sudah tersebar di sekolah. Pandu yang kebetulan melewati segerombolan murid hanya diam melintas tanpa melirik meskipun dia tahu Ria yang jadi bahan pembicaraan mereka. Apalagi Ria yang saat ini koma karena ingin melindungi dirinya. Dia hanya berpura-pura acuh padahal hatinya ikut sakit saat Ria harus dijadikan gossip disekolahan. Di kelas pun Pandu hanya diam. Kedua sahabatnya yang berusaha menghibur tak mampu membuang aura dingin dari Pandu. Dia bahkan terlihat seperti mayat hidup. Hanya diam dengan tatapan kosong didepan meskipun sahabatnya mencoba menghiburnya. Saat jam istirahat pun Pandu tak bergerak dari kursinya. Kedua sahabatnya yang membujuk untuk makan namun Pandu menjawabnya dengan gelengan kepala. Saat ini hanya Ria yang difikirannya.

Dirumah sakit pun Pandu senantiasa menjaga Ria. Dia bergantian dengan Om Danu. Ria yang sudah dipindahkan di ruang ICU membuat Pandu tak bisa selalu ada disamping Ria. Pandu hanya bisa duduk dengan pandangan selalu tertuju di jendela kaca yang mempermudahkannya melihat Ria dari luar. Saat Bi Siti datang untuk mengantar makanan, Pandu ijin untuk pergi ke mushola. Disana Pandu diam sambil terus berzikir dan tak lupa diakhiri dengan doa untuk kesembuhan Ria. Kenangan kebersamaan mereka terputar di otak Pandu yang membuat Pandu menundukkan kepalanya. Entah seberapa sayang Pandu kepada Ria, namun hal itu mampu membuat mata Pandu memerah. Tepukan pelan pada bahunya menyadarkan Pandu jika ada kehadiran seseorang. Saat Pandu mengangkat kepalanya, dia melihat senyum hangat dari papanya. Sang papa langsung duduk disamping Pandu dan memberinya pelukan. Papanya begitu sedih melihat putranya serapuh ini. Pandu yang terlihat seperti lelaki sejati namun hatinya bisa rapuh karena seseorang yang dia sayangi. Pandu membalas pelukan papanya dan diam tanpa berkata. Air matanya mengalir begitu saja.

"Anak papa kok nangis." Kata Om Rahmad setelah menyudahi pelukannya.

Pandu mengelap kasar air matanya.

"Dia akan baik-baik saja, percaya sama papa." Lanjutnya.

Pandu hanya bisa mengangguk meskipun air matanya kembali mengalir.

Terhitung sudah hari kelimat Ria koma dan belum sadar. Pandu setiap hari selalu disana untuk menjenguk Ria. Sementara kasus penyekapan dan penganiayaan Ria sudah diurus papanya. Rendi dan Bayu juga sudah ditangkap beserta para anak buah Rendi. Di depan ruang ICU, sudah ada Pandu, Om Danu dan Om Rahmad duduk bersama. Pandu juga baru mengetahui jika papanya berteman baik dengan papanya Ria. Saat kedua pria paruh baya itu bercerita tentang masa SMA mereka, Pandu hanya diam menyimak. Om Danu dan papanya juga terlihat sangat dekat, mungkin bisa dibilang mereka bersahabat. Tak lama cerita mereka berakhir karena kedatangan kakaknya Ria. Alfa menyapa papanya dan Om Rahmad dengan senyum kecil dan dibalas oleh Om Rahmad.

"Biar aku yang jaga untuk malam ini, papa bisa pulang." Kata Alfa to the point.

Om Danu mengangguk lalu berpamitan kepada Om Rahmad dan Pandu. Rupanya Om Rahmad juga ingin pulang, lalu tinggalah Pandu dan Alfa disana. Mereka diam cukup lama, hingga akhirnya Alfa mulai bersuara.

"Percaya sama gue, adik gue gak akan kenapa-kenapa."

Pandu hanya tersenyum kecil.

"Gue denger, elo selalu nginep disini ya setiap malamnya?"

Pandu mengangguk.

"Pulang aja, istirahat dirumah. Ria biar gue yang jaga. Dia gak akan kemana-mana."

Kali ini Pandu menatap kakak Ria sekilas lalu segera menatap kedepan lagi.

"Pasti Ria sabar banget ya ngadepin elo. Udah cuek, gak banyak omong lagi."

Entah untuk kesekian kalinya Alfa berbicara namun tak menjawab sepatah katapun dari Pandu. Alfa hanya bisa menarik nafas panjang.

"Elo pulang aja. Percaya sama gue, dia gak akan kenapa-napa." Kata Alfa sedikit tegas.

Pandu pun akhirnya mengalah. Dia tidak ingin berdebat dengan Alfa kali ini. Meskipun hatinya sulit untuk pergi dari sana tapi apa boleh buat.

Disalah satu tempat yang luas. Ilalang tumbuh subur dan menari karena tertiup angin. Sinar matahari pun tak tampak cerah dan membuat bingung menggambarkan waktu saat itu. Ria duduk di kursi panjang sambil mengenakan dressp putih yang sangat cocok dia kenakan. Pandu yang melihatnya duduk sendiri sambil menikmati sekitar langsung mendekat dan duduk disampingnya.

"Sendirian?" Tanyanya.

Ria mengangguk sambil tersenyum kecil. Mereka terdiam cukup lama, hingga akhirnya Ria bersuara.

"Gimana kalau aku pengen ketemu sama mama dan oma kamu?"

"Buat apa?"

"Bilang sama mereka kalau aku ini calon makmum kamu." Jawab Ria sambil tersenyum.

"Gak usah. Tempat mereka jauh, kamu disini aja."

"Tapi aku pengen kesana." Kekeh Ria.

"Gak, kamu tetap disini."

"Bertemu sama kamu itu anugrah untuk aku, dan pergi meninggalkanmu adalah salah satu dari keputusan aku." Kata Ria lalu berdiri dan mulai berjalan menjauh dari Pandu.

"Ria kembali." Teriak Pandu.

Ria tetap melanjutkan langkahnya tanpa menengok ke belakang sekalipun. Pandu tak henti-hentinya memanggil namanya dan memintanya untuk kembali.

"Ria..." Teriak Pandu hingga dia terduduk dari posisi tidurnya.

Ternyata hanya mimpi, namun semua seakan terasa nyata. Keringat pun menetes dari dahinya karena lelah memanggil nama Ria. Dilihatnya jam dan jarum menunjukkan setengah tiga. Dia beranjak dari kursinya dan sholat tahajud. Pandu yang sudah lengkap dengan sarungnya tampak khusuk menjalankan sholatnya. Bahkan hingga akhir salam, wajah Pandu tampak tenang meskipun terlihat guratan sedih disana. Dia berdoa kepada Rabnya dan tak lupa untuk kesembuhan Ria. Baru saja dia mengusap wajahnya dengan kedua jarinya, ponselnya yang berada di ranjang berdering. Segera dia angkat panggilan itu dan langsung membuatnya terdiam mendengar penuturan dari seseorang yang diseberang.

RIA LOVES PANDUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang