-8-

6.5K 410 27
                                    

"Yusuf lo dimana?" Teriak Auris, saat bangun, Auris tidak menemukan Yusuf dimana-mana. Memang setelah shalat subuh Auris kembali tidur.

"Apa lo panggil-panggil?" Tanya Yusuf setelah berada di dalam rumah. Yusuf menemukan Auris yang tidur telungkup di ruang tv sambil memanggil namanya.

"Dari mana?" Tanya Auris tanpa memperdulikan pertanyaan dari Yusuf.

"Beli nasi gurih sama lontong. Udah bangun lo, pakek baju sekolah terus. Lo lihat ni gue udah pakek baju sekolah." Ucap Yusuf sambil meletakkan makanan ke atas meja dapur. "Udah bangun." Yusuf benar-benar geram, bahkan selesai makan pun Auris masih saja telungkup di ruang tv tanpa memperdulikan apa yang ia ucap.

Pukkk

"Bangun nggak lo." Yusuf menampok pantat Auris dengan keras hingga Auris terkejut dan terduduk. Rasa panas menjalar kepantatnya, sungguh sangat sakit.

"Bangsat lo. Lo pikir nggak sakit?" Dengan mendegus kesal, Auris bangun menuju kamarnya. Bersiap-siap untuk sekolah.

"Ini sepeda motor siapa?" Tanya Auris pada Yusuf. Setelah selesai bersiap-siap. Auris langsung keluar dari rumah mendahului Yusuf.

"Ouh itu punya gue."

"Gimana bisa lo beli itu? Sedangkan lo nggak kerja sama sekali." Auris merasa pusing karena berpikir terlalu keras tentang Yusuf yang membuatnya tidak habis pikir. Jika di tanya pun jawaban nyeleneh selalu yang di keluarkan oleh Yusuf.

"Ada gue kerja, di restoran." Jawab Yusuf.

"Jadi apa?"

"Nyuci piring." Yusuf sengaja tidak memberi tahu pekerjaannya. Kalau di beri tau Auris pasti akan meminta ini itu kepadanya. Lagi pula Yusuf tidak bisa memberi tau panjang lebar tentang kehidupannya, karena sampai sekarang belum ada rasa nyaman dan percaya yang bisa Yusuf berikan pada Auris.

"Gila lo, kerja belum satu bulan udah bisa beli ini." Auris tidak habis pikir, apa Yusuf mengira ia sangat bodoh hingga kebohongannya tidak bisa Auris rasakan? Walaupun ia bukan orang yang sangat pandai, tapi melihat semua barang yang di beli Yusuf. Dari membeli baju, pelengkapan rumah, hingga motor mana mungkin bisa di dapatkan kurang dari sebulan, jika hanya mencuci piring orang. "Tapi, Suf lo bahkan sering di rumah jarang gue lihat lo pergi kerja."

"Ada, cuman sebentar tapi, gue kerja sama temen. Jadi gajinya banyak."

"Gak boleh gitu, walaupun temen." Auris menghela nafasnya, sekarang Auris memilih untuk mempercayai Yusuf. "Ouh atau jangan-jangan lo ngejudi?" Tetap saja walaupun Auris berusaha berpikir positif, tetap saja pikiran buruknya terus berkeliaran.

"Nggak usah nuduh-nuduh yang nggak-nggak lo." Jawab Yusuf dengan tidak selo.

Auris menatap wajah Yusuf lama, lalu mengalihkan pandangan matanya ke arah sepeda motor itu.

"Sekarang, gimana kita naik ini?" Tanya Auris.

"Kita? Gue aja kali."

"Tapi kan gue istri lo Suf." Auris menatap wajah Yusuf dengan mata yang memerah sambil mengembungkan pipinya berharap Yusuf mau berangkat bersamanya.

"Gue nggak anggep lo istri gue." Yusuf yang sedang melihat-lihat sepeda motornya mengalihkan pandangan matanya ke arah Auris yang sekarang matanya sudah berkaca-kaca. "Yaudah iya. Baper banget itu doang nangis." Auris yang mendengar ucapan Yusuf jadi tersenyum dengan ceria.

"Yaudah ayo naik." Ajak Yusuf yang melihat Auris hanya diam.

"Gimana ni cara naiknya? Harus ngakang kan tapi kan gue pakek rok ni." Tanya Auris tiba di samping Yusuf.

Aurista || S E L E S A ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang