"Yusuf." Auris terbangun dari tidurnya, tapi yang menjadi masalah adalah Yusuf tidak ada di kamar padahal sekarang masih pagi. Apa Yusuf pergi meninggalkannya? Sesuai apa yang Yusuf katakan kemarin. Auris yang sudah sangat gelisah langsung bangun dari tidurnya, dan mencari Yusuf ke seluruh ruangan rumah, tapi auris tidak menemukan Yusuf di mana-mana. Hal itu membuat Auris gelisah. Ia takut Yusuf benar-benar pergi meninggalkannya.
"Hiks." Auris mengusap air matanya. Sekarang ia tidak tau harus ke mana dan ngapain, Yusuf sudah meninggalkannya sendirian.
"Kenapa lagi lo?" Tanya seseorang yang Auris tunggu sejak tadi, Auris membalikkan badannya ke belakang melihat siapa yang barusan berbicara. Rupanya orang yang Auris kira benar-benar ada di belakangnya. Tanpa menundannya lagi, Auris berlari menuju Yusuf dan melompat ke dalam pelukan Yusuf.
"Kenapa sih?" Yusuf terhuyung ke belakang karena serangan tiba-tiba dari Auris, beruntung Yusuf segera mengimbangkan badannya kembali hingga mereka tidak jadi terjatuh.
"Sakit." Jawab Auris.
"Apanya yang sakit? Ke rumah sakit aja sekarang." Yusuf mengira sakit Auris sudah parah, sebab sampai sekarang Auris tidak berhenti menangis.
"Sakit hati." Jawaban Auris membuat Yusuf kesal. Yusuf langsung melepaskan kaki Auris yang berada di pinggangnya dan mendorong pelan badan Auris menjauhi badannya.
"Dari tadi kamana?" Tanya Auris yang sudah menghapus air matanya.
"Olahraga. Sana siap-siap ke sekolah."
"Nggak mau." Jawab Auris.
"Kenapa? Sekolah sana."
"Nggak mau sekolah hari ini. Bilang aja sakit." Ucap Auris sambil berjalan menuju meja makan. Kadang Auris merasa tidak enak, selalu saja Yusuf yang menyiapkan makanan.
"Sakit beneran baru tau rasa lo." Ketus Yusuf, dan mengikuti Auris menuju meja makan.
"Emang sakit kok." Jawab Auris yang kekeh dengan ucapannya barusan. Tapi Auris beneran tidak bohong. Ia benar-benar deman sejak tadi malam. Ia bahkan tidak bisa tidur dengan nyenyak akibat rasa dingin yang menghampiri.
"Sakit apa?" Tanya Yusuf yang sudah menatap Auris dengan penasaran.
"Demam." Jawab Auris.
Yusuf mendekat ke arah Auris memegang dahi Auris yang memang sedikit hangat.
"Jangan banyak pikiran, ya udah lo nggak usah sekolah hari ini. Nanti gue beli obat." Ucap Yusuf. Mereka pun makan dalam keheningan.
"Akhh." Yusuf meringis pelan saat nasi sudah ia kunyah. Yusuf tetap memakan nasi walaupun gusinya masih sakit.
"Apa masih sakit?" Tanya Auris menatap tidak enak pada Yusuf.
"Nggak, udah sembuh. Ya sakit lah." Ketus Yusuf.
"Maaf." Lirih Auris pelan.
"Em. Lo ya yang obatin luka gue, makasih." Auris mengangguk menerima ucapan terima kasih dari Yusuf.
"Yusuf." Yusuf yang merasa di panggil mengalihkan pandangannya pada Auris. Sekarang mereka sudah selesai menghabiskan makan pagi mereka.
"Kita tamat sekolah kapan?" Tanya Auris dengan pandangan ragu-ragu pada Yusuf."Mungkin sekitar dua atau tiga bulan lagi." Jawab Yusuf yang semakin membuat Auris tertekan.
"Gue nggak usah sekolah lagi ya." Yusuf menatap Auris tidak percaya.
"Gila lo, sekolah lah. Makin bodoh lo kalau nggak sekolah." jawab Yusuf kesal. Ntah kenapa Yusuf kesal mendengar ucapan Auris barusan.
"Hmm tapi perut gue bakalan gede Suf, orang bakalan tahu kalau gue hamil." Auris mengusap air matanya yang kembali mengalir. Auris pun binggung dengan dirinya akhir-akhir ini, ia selalu berpikir negatif dan cepat menangis.
"Nggak usah lo pikirin. Lo sekolah aja yang bener, biar gue yang mikirin." Ucap Yusuf mencoba menenangkan Auris.
Yusuf mengusap-usap rambutnya, Yusuf merasa bersalah, seharusnya ia tidak melakukan itu saat mereka masih sekolah.
"Perut lo juga belum besar kan?" Tanya Yusuf dengan tangan yang memegang perut Auris mencoba mengukur sebesar apa perut Auris. Yusuf menghela nafas lega saat merasakan perut Auris tidak terlalu besar, hanya sedikit yang menonjol itu pun masih sangat kecil.
"Em belum." Auris jadi gugup, ini pertama kalinya Yusuf memegang perutnya.
"Iya belum. Tenang nggak usah stress biar gue aja yang stress. Gue mandi dulu." Yusuf melepaskan tangannya dari perut Auris.
***
Tok Tok Tok.
Auris yang sedang menonton televisi buru-buru mematikan kembali televisinya. Apa itu Papanya? Auris buru-buru mencari teleponnya untuk menelepon Yusuf. Ia takut menghadapi Papanya sendirian.
"WOI BUKU PINTU."
"AURIS BUKA PINTUNYA."
"BANGSAT LAMA BANGET DIA BUKA PINTU."
Auris yang mengenal suara-suara itu langsung kembali meletakkan ponselnya di atas meja dan berjalan menuju pintu.
"Akhirnya capek kami nunggu lo di luar." Ucap Bella sambil mengipaskan badannya menggunakan tangan. Tanpa permisi sama yang punya rumah, Bella langsung masuk ke dalam rumah begitu saja, begitu pun dengan Mia, Anara, Adel.
"Kalian nggak sekolah?" Tanya Auris setelah mengunci kembali pintu depan.
"Nggak." Jawab mereka serempak.
"Kalian bolos ya?" Tanya Auris lagi. Sebab Auris melihat sahabatnya yang masih menggunakan seragam sekolah.
"Iya, kemaren kan lo bilang ada masalah jadi kami nggak boleh datang. Tadi pagi gue tanya sama Yusuf kenapa lo nggak sekolah. Kata Yusuf lo sakit, jadi ya kami langsung ke sini." Jelas Bella yang membuat Auris terharu. Ia menjatuhkan tubuhnya di atas karpet lalu mengeluarkan air matanya. Menangis histeris.
"Eh lo kenapa tumben nangis." Mia menatap aneh sekaligus kasian melihat Auris yang menangis seperti memiliki masalah yang sangat besar.
"Gue nggak nyangka kalian sebaik ini sama gue." Ucap Auris tersedak-sedak.
"Alay lo biasa lo juga kan yang selalu ada buat kami." Ucap Adel yang ikut mengeluarkan air matanya.
"Apaan sih nggak usah nangis." Anara yang sejak tadi diam menjadi muak melihat drama yang di pentaskan oleh sahabatnya. " Nggak usah nangis, katanya si Bella, lo mau bilang sesuatu. Mending sekarang kita bahas itu." Lanjut Anara.
Auris mendongakkan kepalanya dan langsung menghapus air matanya.
"Em."
"Em."
"Em."
"Em."
"Em."
"Anjir. Em lo lama banget, cepetan." Ucap Anara yang sudah sangat kesal.
"Gue hamil." Setelah mengucapkan itu, Auris menutup matanya dengan erat. Hingga terdengar suara pecahan gelas. Ponsel yang jatuh dan suara teriakkan.
"Astagfirullah. Anak siapa? Eh maaf lupa gue lo udah nikah. Eh Ya Allah lo begituan sama si Yusuf, kok bisa coba cerita. Ya ampun otak gue miring. Gimana prosesnya? Sakit nggak? Atau en-"
"DIAM LO MIA." Teriak Auris, telingannya panas mendengar mulut Mia yang tidak berhenti berbicara.
"Eh kenapa salah gue apa?" Tanya Mia dengan tampang sok polos. Anara yang berada di samping Mia, langsung mengeplak kepala Mia.
"Anjing sakit bangsat."
"Jangan ngomong kasar ada anak gue." Ucap Auris sambil menutup perutnya.
DUARRR.
Anara, Bella dan Mia tidak dapat menutup mulut mereka. Seorang Auris si mulut kasar dan si nggak punya akhlak bisa berbicara seperti itu, ini semua bagaikan mimpi.
Semua hening tidak ada yang berbicara. Sedangkan Auris manatap heran dengan sahabatnya yang menatapnya seperti menatap hantu. Auris melihat ke belakang mungkin ada orang di belakang tubuhnya, namun nihil tidak ia temukan.
***
300 komen boleh spam. Klu sesuai target bakalan langsung update
Ramein guys :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Aurista || S E L E S A I
Teen FictionPART MASING LENGKAP!!!! ⚠️ DON'T COPY MY STORY ⚠️JIKA ADA KESAMAAN NAMA TOKOH, KEJADIAN, LATAR, SUASANA SAYA MOHON MAAF SEBESAR-BESARNYA KARENA ITU DILUAR DUGAAN SAYA! ⚠️ JANGAN BACA DIWAKTU SHALAT, TETAP JADIKAN AL-QURAN PALING UTAMA UNTUK DIBACA ⚠...