"we all have our reasons."
--------------------------------------
"Kenapa? Kau takut?"Pertanyaan itu sungguh terdengar mengejek di telinga Haera. Pria jangkung didepannya seakan puas tertawa melihat dirinya yang kini hanya bisa meringkuk tanpa suara.
Selepas ia masuk tadi, rumahnya benar-benar berada dalam keadaan yang berantakan, semua barang teracak ke seluruh sudut ruang, bahkan buku–buku yang harusnya berjajar di rak kini tergeletak di lantai tak beraturan. Dan ketika Haera belum sempat melihat siapa pelaku yang merusak seisi rumahnya, suara itu begitu saja muncul; suara yang paling Haera benci, suara yang begitu memekakan indera pendengarannya, membuatnya reflek berjongkok dengan kepala yang tertunduk dan tangan gemetar yang berusaha menutup telinga. Haera panik.
"Lee Haera, trauma dengan suara pecahan kaca." gumam pria itu.
Ia ikut berjongkok didepan Haera, memperhatikannya dengan seringaian puas, ketika dirinya berhasil membuat Haera ketakutan hingga tak berani mengangkat kepala. Perempuan itu tengah berusaha kuat melawan reaksi atas traumanya. "Bukankah hebat aku bisa mengetahui dirimu sampai sejauh itu?"
Haera masih tidak merespon, mengatur deru napasnya saja ia kesulitan. Apa yang dikatakan pria itu memang benar, entah cermin, vas bunga, atau bahkan gelas, apabila benda itu jatuh, tubuh Haera akan reflek memberi respon yang paling ia benci. Ketakutannya tidak bisa hilang.
Dan sialnya beberapa menit yang lalu, pria itu baru saja melemparkan benda keras kearah kaca jendelanya hingga kaca itu pecah berkeping-keping.
"Kau mau aku melepas seluruh peluru ini pada satu persatu kaca dirumahmu?"
Haera sontak menggeleng. "J-jangan..." lirihnya. Getaran suaranya jelas menandakan bahwa Haera mulai menangis. Ia benar-benar tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika suara–suara itu tercipta setelah ini.
"Kalau begitu katakan dimana kau menyimpan ponselnya." pintanya seraya mengarahkan jari telunjuknya untuk mengangkat dagu Haera.
Hanya sekilas dan Haera langsung mengalihkan sorot matanya, ia tak berani menatap wajah lawan bicaranya terlalu lama; perempuan itu takut saat melihat terdapat banyak luka lebam menghiasi wajah orang itu. Tidak salah memang, itu Lucas.
"K-kau siapa?"
"Dimana ponselnya?" tekannya.
Diam Haera, tak ingin menjawab pertanyaan yang satu itu –atau lebih tepatnya tidak bisa. Ponsel itu satu–satunya benda yang bisa mengungkap alasan kebakaran pabrik tempat ayah bekerja terjadi, ia tidak mungkin melepaskannya begitu saja.
"Ponsel apa?"
"Jangan pura-pura bodoh!"
PRANG!!
Haera reflek menjerit. Suara itu lagi. Pria itu serius dengan ancamannya, salah satu cermin yang menggantung di dinding pecah karena pelurunya.
"Katakan dimana kau menaruhnya, jalang sialan!"
DUAKH!!
"Brengsek!"
Teriakan itu muncul bersamaan dengan satu tendangan yang tepat mengenai tubuh Lucas, pria yang sejak tadi berjongkok di depan Haera itu tersungkur begitu saja. Bukan, umpatan itu bukan keluar dari mulutnya, melainkan Yuta. "Bicara apa kau barusan?!"
Yuta tiba - tiba muncul, masuk melalui jendela yang pecah. Ia tak kehabisan akal untuk mencari jalan masuk ke dalam rumah ketika mendengar jeritan Haera yang terlalu nyaring ditelinganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ILLEGAL✔
Fanfiction❝If karma doesn't hit you, I fuckin' will.❞ highest rank: #1 in yuta (18/2/21) #1 in nakamotoyuta (4/1/21) #1 in yutanct (9/1/21) #6 in nakamoto (23/1/21) #3 in johnnysuh (07/2/21) #8 in ten (20/1/21) #8 in crime (24/2/21) #9 in lee (24/2/21) #9 in...