42

226 41 12
                                    


Setelah kejadian yang menggemparkan itu, suasana istana menjadi lebih suram. Kosongnya tahta tidak bisa dibiarkan berlama lama. Bisa berpengaruh besar terhadap kelangsungan kerajaan.

Namun, masalahnya siapa yang pantas untuk mengisi singgasana terbesar di aula istana. Ada dua kandidat, dan keduanya sama sama belum bisa memantaskan diri.

Pangeran Lee Hyunjae lebih tua, tapi Pangeran Lee Juyeon terlihat lebih terlatih daripada Hyunjae. Pengalaman Hyunjae lebih banyak, namun Juyeon lebih menguasai politik.

Tak semudah itu untuk memilih salah satu dari mereka. Para Petinggi istana memilih untuk tidak ikut campur, merasa tidak pantas.

Namun, Penasihat Tertinggi tadi pagi memanggil Hyunjoon untuk menenangkan suasana istana. Sebagai putra tunggal Bomin, setidaknya dia punya hak untuk menduduki singgasana, walau semua orang yakin Hyunjoon tidak menginginkannya.

Dan sore ini, Hyunjoon datang di istana. Bukan sebagai putra Bomin, hanya sekedar berkunjung saja. Terutama ke makam Sungkyu, yang secara tidak langsung adalah kakak angkatnya, atau tiri mungkin? Intinya, Hyunjoon datang tidak ingin mengurusi pemerintahan.

Baru saja Hyunjoon tiba di halaman, ada seseorang menyambutnya. Dari pakaiannya, terlihat jelas bahwa dia bukan orang biasa.

"Maaf, dengan Paman Hyunjoon?"

Hyunjoon sedikit terkejut mendengarnya. Dia belum setua itu untuk dipanggil paman.

"Saya Pangeran Juyeon,"

Hyunjoon jadi sungkan " Tak perlu memanggil Paman, sepertinya kita seumuran. Mungkin aku sedikit lebih tua? Jangan karena mertuamu adalah kakakku, kau jadi memanggilku paman,"

Hyunjoon ini, dibalik wajah datar dan tak bersahabatnya, ternyata dia termasuk orang yang mudah akrab dengan lawan bicaranya.

"Jadi, saya panggil kakak, boleh?" tanya Juyeon hati hati. Hyunjoon mengangguk pelan.

" Ada keperluan apa sehingga Kak Hyunjoon kemari?"

Hyunjoon menarik nafas sebelum bercerita panjang "Ibuku yang menyuruh. Sebenarnya aku tidak mau kemari, namun yang barusan meninggal itu masih anak Ayah juga,"

"Aku tidak tertarik pada urusan kerajaan. Sejak kecil Ayah mendidikku dengan keras, hingga aku lebih memilih bertempur daripada hanya diam di dalam istana,"

"Apakah karena itu Kak Hyunjoon menolak posisi Perdana Menteri?"

Hyunjoon mengangguk singkat "Kalau ada tawaran sebagai panglima, aku lebih memilih itu," katanya setengah tertawa, yang mau tak mau mengundang tawa Juyeon juga.

"Katanya Kak Sungkyu dibunuh, ya?" kata Hyunjoon hati hati, setengah berbisik. Dia mendekatkan mulutnya ke telinga Juyeon.

Juyeon mengangguk lemah "Kita semua tidak tahu pembunuhnya, dia sangat lincah. Bahkan dia keluar masuk lewat jendela yang tinggi itu. Kejadiannya tepat tengah malam, jadi tidak ada yang sadar,"

" Lalu sekarang singgasana kosong? Siapa yang akan menggantikan? Kau atau satunya?"

Juyeon butuh waktu untuk mencerna kalimat Hyunjoon.

"Maksud satunya itu, Kak Hyunjae?"

"Entah, aku tidak tahu. Yang pasti, antara kalian berdua,"

Juyeon berpikir sejenak sebelum berbicara lagi "Menurut Kak Hyunjoon, siapa yang lebih pantas?"

Hyunjoon menggeleng tegas "Sudah kubilang, aku tidak mau terlibat. Lagipula sekarang aku bukan siapa siapa lagi,"

"Pihak istana sudah menyelidiki pelakunya?" Hyunjoon mengalihkan pembicaraan.

Juyeon menggeleng "Belum, tapi aku mencurigai seseorang,"

"Seseorang? Ah, tadi siapa namanya, Hyun-, Hyunjin?"

"Hyunjae, Kakak," koreksi Juyeon "Memang posisi raja sangat diincar, hingga menghalalkan cara apapun. Karena kami bukan anak sulung, maka kami tidak bisa mewarisi tahta. Hanya ada satu cara, yaitu menikah dengan putri pewaris,"

Hyunjoon mengangguk paham. Masalahnya memang rumit, karena kedua putri Sungkyu kembar dan tidak ada yang tahu siapa yang lebih tua kecuali Dahee, ibu mereka.

" Jadi, Hyunjae membunuh Kak Sungkyu untuk merebut tahta, begitu? Masuk akal, namun bagaimana kalau kau sendiri yang membunuh Kak Sungkyu? Melihat kalian dalam posisi yang sama sekarang?"

Juyeon terbungkam. Tak bisa berkata kata lagi.

"Aku pergi dulu. Aku tanyakan Hyunjae, apakah dia sama seperti ucapannya itu,"

Hyunjoon bangkit dari kursi taman, meninggalkan Juyeon yang masih terdiam.

***

Nyatanya, Hyunjoon tidak menemui Hyunjae, dia malah pergi ke kamar ayahnya dulu.

Keadaannya masih sama seperti terakhir kali dia mengunjungi istana. Bersih, tak ada debu sedikitpun. Entah karena selalu dibersihkan atau karena jarang dipakai.

Niatnya dia ingin menemui kedua putri Sungkyu, karena saat pernikahan mereka Hyunjoon tidak datang. Namun Hyunjoon terlalu rindu dengan ruangan ini, jadi dia mampir sebentar.

Hubungan mereka cukup unik. Karena sebenarnya usia Bomin dan Sungkyu tidak terpaut jauh -mungkin hanya sepuluh tahun-, namun Sungkyu tetap memanggil Bomin dengan sebutan ayah. Jadi, secara tidak langsung, Hyunjoon adalah adik tiri Sungkyu. Namun karena kedua putri Sungkyu hanya berjarak dua tahun dibawah Hyunjoon, maka dia meminta mereka memanggilnya Kakak. Di usia sekitar dua puluh lima tahun ini, Hyunjoon merasa terlalu muda untuk dipanggil paman.

Suara ketukan pintu menyadarkannya dari kegiatan menjelajah pikirannya.

Pintu terbuka, menampilkan sosok pelayan yang membawa makanan kepadanya.

"Tuan, ini dari Tuan Hyunjae. Beliau mengucapkan selamat datang,"

Setelah makanan diletakkan di atas meja, pelayan itu pergi.

Hyunjoon tidak lapar, namun dia mengambil nampan itu. Mengamatinya.

Dan akhirnya menemukan kejanggalan di sana.

Hyunjoon merasa nyawanya terancam. Mungkinkah Hyunjae dan Juyeon menganggap Hyunjoon sebagai penghalang? Karena Hyunjoon adalah putra Bomin, dan Bomin merupakan raja sebelum Sungkyu?

Hyunjoon memilih meletakkan nampan itu kembali, lalu membaringkan tubuhnya di atas ranjang.

***

Road To KingdomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang