72

139 33 7
                                    

"Ah, aku ingat! Namaku Yoo Kangmin, salam kenal," serunya sambil menyodorkan tangan, mengisyaratkan Kino untuk menjabat tangannya.

Yoo Kangmin? Tunggu, Kino tidak pernah mendengar namanya. Sebagai mata mata yang relasinya sangat luas, dia mengenal hampir semua penduduk, setidaknya yang sekitar sini, dan orang orang dalam istana. Dan dia tidak pernah mendengar nama ini. Kangmin.

Kino meraih tangan mungil (?) itu. Iya, tangannya kecil, bahkan untuk anak seumurannya. Jari jarinya kurus, tapi panjang. Tapi juga tidak terlalu panjang.

Makhluk macam apa dia?

"Kau bukan orang sini, kan?" Kino mengulang pertanyaannya.

Kangmin terdiam sebentar, lalu mengangguk "Bisa dibilang begitu, tapi juga bukan,"

"Hah? Bagaimana maksudnya?"

Kangmin menggeleng "Entahlah, aku tidak tahu. Hehe,"

Senyum Kangmin terlihat mengerikan di bawah sorotan cahaya rembulan yang temaram. Seperti ada aura aura orang jahad yang menguar.

"Lalu, kenapa kau ada di sini?" tanya Kino sekali lagi, berusaha meyakinkan dirinya kalau bocah di depannya ini bukan orang jahad.

"Nggak tau, tadi aku disuruh orang... Siapa ya? Aku lupa lagi, hehe," Kangmin menggaruk tengkuknya. Bagaimana dia tidak tahu?

Pengen tak hiih -Kino, lagi sebel.

Kino lupa kalau dia juga lupa bagaimana dia bisa ada di sini. Tapi kan, setidaknya Kino sadar tentang kejadian sebelumnya. Tidak dengan Kangmin.

Padahal, kalau dilihat lihat, usia Kangmin sekitar tujuh belas tahun. Namun cara bicaranya, seperti anak kecil. Mungkin tadi kepalanya terbentur sesuatu, hingga dia menjadi seperti ini dan ingatannya hilang? Mungkin, Kino tidak tahu. Tapi tidak ada bekas luka di kepalanya.

"Nama Kakak siapa? Dari tadi aku tanya, Kakak nggak jawab,"

Kino tersadar "Ah, panggil saja Kak Kino,"

"Ah, Kak Kino! Aku pernah membaca tentang Kakak! Kak Kino hebat, aku suka!"

Kening Kino mengerut, tidak paham dengan apa yang dikatakan Kangmin "Maksudnya?"

Kino mata mata. Seharusnya tidak banyak yang mengenalnya, walau sebaliknya dia mengenal banyak orang.

Siapa sebenarnya Kangmin ini?

Bisa jadi, dia berbahaya.

Tidak ada yang tahu, kan? Dibalik mukanya yang tidak ada rasa bersalah, mungkin dia adalah penjahat kelas atas. Siapa tahu.

"Ah, Kak Kino mau keluar nggak? Ayo, mumpung orang orang belum bangun. Markas Kakak di tengah hutan, kan?" Kangmin berdiri, menepuk pantatnya. Membersihkan debu yang menempel.

Kino ikut berdiri. Setidaknya dia keluar dari sini sebelum diapa apakan oleh prajurit istana.

Keadaan di luar masih gelap, matahari belum terbit. Bahkan belum ada tanda tanda fajar menyingsing. Bulan masih setia di tempatnya.

"Apa yang Kak Kino lakukan? Aku sudah membawa ini," kata Kangmin sambil mengacungkan tongkat besi yang dibawanya.

Kino menggeleng "Tidak. Kita tetap membutuhkan ini, luar masih gelap,"

Kino mengambil obor yang terpasang di luar. Namun Kangmin merebutnya, meletakkannya kembali.

"Aku sudah bawa ini! Tidak usah bawa obor!"

Tongkat besi yang dibawa Kangmin menyala di ujungnya. Ternyata dari situlah cahaya yang menyilaukan mata kini tadi.

"Kau penyihir? Tapi tongkatmu besi, seharusnya kan-"

"Ini senter, kak. Bukan tongkat sihir," potong Kangmin. Dia mengedarkan pandangannya, berjaga jaga kalau ada yang lewat.

Hah? Apa? Serius, Kino tidak tahu apa yang Kangmin katakan. Bahasa mana itu? Yang pasti bukan sandi mata mata, Kino hafal semuanya.

Ah, nanti Kino tambahkan di kamus sandi mata mata. Apa tadi namanya? Seren?

"Ah, lupakan saja. Sekarang ayo kita ke markas Kakak. Aku yakin, yang lain sudah menunggu Kak Kino," Kangmin menarik tangan Kino.

Kino pasrah.

"Memangnya kau tahu jalannya?"

Kangmin mengangguk mantap "Tahu. Kan tadi aku dari sana,"

Kino hanya menggelengkan kepalanya "Bagaimana kau bisa masuk istana?"

Kangmin berpikir sejenak "Entah. Aku juga lupa,"

"Lalu, bagaimana kita akan keluar?"

"Aku tahu sesuatu,"

Kino pasrah saja, tangannya ditarik, dipaksa berjalan cepat oleh anak itu. Yang sekarang masih menjadi misteri di pikiran Kino, siapa itu Kangmin.

***

Haknyeon mengamati Younghoon yang sedang membereskan barang barangnya. Entah apa yang akan dilakukan Younghoon, Haknyeon tidak berhak ikut campur.

"Kau ikut tidak? Cepat bereskan barangmu," kata Younghoon.

"Hah? Aku akan ikut? Kenapa tidak bilang,"

Haknyeon kepikiran dengan puluhan sangkar yang masih menggantung di ruangannya. Mana mungkin Haknyeon bisa membereskannya dengan cepat? Kecuali ada yang mau membantunya.

Masalahnya, tidak ada yang mau membantu memindahkan ular ular itu. Kalau dia meminta pelayan untuk membantunya pun, tidak bisa.

Misi ini rahasia. Tidak ada yang boleh tahu, bahkan Pangeran Hyunjae itu sendiri.

Bukan berarti Younghoon akan memberi kejutan untuk Hyunjae.


Entah, Younghoon belum berpikir jauh. Yang ada di pikirannya sekarang hanya satu. Menyuruh Haknyeon segera berkemas, dan itu sangat sulit.

Road To KingdomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang