63

161 37 2
                                    


"Maaf, anda siapa?"

Younghoon terkejut saat dia mengamati mayat Kevin yang tergeletak begitu saja. Haknyeon bilang, Kevin terpanah di mata kirinya. Namun sekarang mata Kevin baik baik saja. Tidak ada panah yang menancap, kedua matanya terpejam.

Younghoon menatap sosok yang sepertinya lebih tua darinya. Dia segera berdiri, lalu membungkuk "Saya Younghoon," dengan tangan kanan di dada.

"Ah, Panglima Younghoon," sosok itu menganggukkan kepalanya "Pangeran Hyunjoon pernah menceritakannya kepada kami. Namaku Jaeseok, kau bisa memanggilku paman,"

"Anda ingin menjemput mayat itu?"

Younghoon menoleh ke arah mayat Kevin. Sebenarnya dia ingin membawa pulang mayat Hyunjoon, namun mayat Hyunjoon sudah dikuburkan. Hanya menyisakan jejak darah yang sudah mengering di lantai.

Younghoon terpaksa mengangguk.

"Syukurlah kalau begitu. Aku yakin, pasti ada yang mencarinya. Sepertinya dia termasuk orang penting di istana,"

"Dia Panglima tertinggi," kata Younghoon singkat.

"Oh,"


Keduanya terdiam untuk beberapa saat, hingga yang lebih tua angkat bicara.

"Kau pasti bertanya tanya, mengapa mayat Pangeran Hyunjoon kami makamkan terlebih dahulu," Jaeseok menuntun Younghoon untuk duduk di salah satu kursi.

"Kemarin, saat Pangeran Hyunjoon kesini, rumah ini sedang kosong. Jadi tidak ada yang tahu bagaimana kejadiannya. Saat kami pulang, di sini sudah ada dua mayat, dan salah satunya adalah Pangeran Hyunjoon. Kondisinya mengenaskan, perutnya robek. Karena di sebelahnya ada pedang yang tergeletak, saya menyimpulkan bahwa pedang itu yang membunuhnya,"

Younghoon yakin, itu pedang kutukan yang sekarang dibawa Eric untuk dimusnahkan.

"Karena kondisinya benar benar tidak bisa dibiarkan, kami memutuskan untuk menguburkannya secepat mungkin," pandangan Jaeseok beralih ke mayat Kevin "Kalau yang satunya, hanya matanya yang terkena panah, jadi kami hanya melepas panahnya. Dugaan kami benar, akan ada yang menjemputnya,"

"Ah, terima kasih karena telah menguburkan mayat Pangeran Hyunjoon," kata Yoounghoon sambil tersenyum.

"Ah, tidak apa apa. Justru kami merasa bersalah karena tidak bisa melindungi Pangeran Hyunjoon. Ngomong ngomong, panglima itu saudara Pangeran Hyunjoon? Muka mereka mirip,"

Tunggu. Younghoon juga baru menyadarinya.

"Saya tidak tahu, Paman,"

Jaeseok mengangguk "Ah, mungkin dari pihak ibunya. Almarhum Paduka Bomin menikah dengan rakyat biasa, jadi tidak banyak yang tahu silsilahnya,"


Younghoon berdiri "Maaf Paman, namun waktu saya tidak banyak. Saya undur diri,"

***

Younghoon menurunkan mayat Kevin dari kudanya, lalu memanggil Chanhee yang kebetulan lewat.

"Chanhee!"

Chanhee berjalan terburu buru, menghampiri Younghoon.

"Bagaimana bisa?" Chanhee tercekat melihat apa yang dibawa Younghoon. Tatapannya mengarah ke mata Younghoon, meminta penjelasan.

"Maaf," hanya itu yang bisa Younghoon katakan.

Chanhee tidak berkata apa apa lagi dia segera mengangkat mayat Kevin dan membawanya ke ruangannya.

***


"Bagaimana ini? Apakah kita benar benar akan meyerang istana?"

Yeo One mengangguk, membuat Shinwon tidak paham "Kenapa?"

"Banyak," Hui angkat bicara setelah sedari tadi hanya menyimak percakapan keduanya "Pertama, Pangeran Hyunjoon sudah meninggal. Artinya kewajiban kita untuk melindunginya telah tuntas, sekaligus gagal,"

"Kedua, sekarang istana dikuasai oleh orang orang yang tidak berhak. Singgasana kosong,"

"Ketiga, aku tahu, mereka yang merencanakan pembunuhan Pangeran Hyunjoon,"

Semua yang mendengarnya tercekat, kaget. Bisa bisanya orang orang itu membunuh Pangeran Hyunjoon?

"Jadi, sekarang istana dibagi menjadi dua pihak. Pihak Pangeran Juyeon dan Pangeran Hyunjae. Dan keduanya tidak ada yang memiliki darah kerajaan, sama sama tidak berhak untuk singgasana,"


"Lalu, apa yang harus kita lakukan?"

"Seperti apa yang Yeo One bilang, menyerang istana," jawab Hui.

"Jadi, kita harus menyusun rencana?"

Semua mengangguk setuju.


"Apakah kita harus memata matai istana dulu? Kalau kita tahu dimana saja titik lemah mereka, kita akan lebih mudah menyusun rencana," usul Hongseok.

Hyojong mengangguk "Betul, nanti kita serang pertahanan terlemahnya,"


"Baiklah, siapa yang akan kesana? Yuto, Kino, atau Yeo One?" tanya Jinho, pandangannya mengarah kepada tiga orang yang barusan disebutnya.

Ketiganya saling berpandangan.

"Maaf, namun gorong gorong belakang istana sudah ditutup. Tidak ada akses masuk sama sekali, kecuali langsung dari gerbangnya," Kino berkata pelan "Terakhir aku kesana, aku memanjat gerbang, karena gerbang dijaga benar benar ketat,"

"Kami tidak bisa kalau begitu," tambah Yuto.

"Lalu bagaimana? Kita harus menyusup, agar rencana kita berjalan sempurna," tanya Hyojong.


Wooseok yang sedari tadi diam saja, akhirnya mengangkat tangan.

"Biar aku saja,"


Otomatis, semua atensi mengarah ke arahnya.

"Aku bisa menjaga diri. Mungkin kemampuan mata mataku belum sebanding dengan Kino, tapi aku bisa menyingkirkan penghalang,"

Semua tahu kalau dalam hal pertarungan jarak dekat memang Wooseok tidak bisa dikalahkan. Namun, kalau dia ketahuan, bagaimana?

Yanan angkat bicara "Sebaiknya kita tetap mengirim Wooseok, namun dia tidak akan sendiri. Mungkin Kino atau Yeo One harus mendampinginya. Jadi, kalau mereka terhadang, Wooseok bisa menanganinya, dan rencana tetap berjalan lancar,"


Hongseok mengangguk setuju "Mungkin keputusan Yanan memang yang terbaik. Semuanya setuju?"

Shinwon mengangkat tangan "Bukannya itu akan lebih menarik perhatian? Apalagi jika mereka benar benar menghabisi semua penjaga gerbang,"

"Bukan begitu maksudku. Mereka tetap tidak masuk melalui gerbang, namun jika mereka dihadang, Wooseok yang menanganinya," jelas Yanan.

"Baiklah, siapa yang akan berangkat bersama Wooseok?"

Yuto kali ini mengangkat tangannya "Aku saja. Kapan berangkatnya?"


"Secepatnya,"

***

Road To KingdomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang