23

232 54 1
                                    

Adik Donghyun sudah pulang, bersamaan dengan area makam semakin sepi. Satu per satu pengunjung pergi, menyisakan Bomin seorang diri.


Dia melangkahkan kakinya, mata tajamnya mencari makam dengan batu nisan bertuliskan Choi Seungyoon. Tangan kanannya masih menggenggam bunga pemberian gadis kecil itu.

"Ayah..."

Bomin menjatuhkan bunga di tangannya ketika matanya menangkap nama Choi Seungyoon yang terukir indah di sebuah batu nisan yang dipasang di gundukan tanah.


Cukup. Bomin sudah benar benar menangis sekarang. Dia berlutut di depan makam orang yang paling berjasa dalam hidupnya itu.

Di sebelahnya, ada beberapa makam lagi. Bomin mengenal mereka semua. Youngtaek, Jangjun, Dayeol, dan Joochan.


Bomin memang tidak terlalu dekat dengan teman teman ayahnya, mungkin hanya Dayeol karena mereka sering bertemu. Kalau Jangjun dan Youngtaek, Bomin hanya pernah bertemu sekali.

Joochan? Bomin merasa dia adalah kakak terbaiknya. Kedua, setelah Jaehyun.


Ah, Bomin hampir lupa. Dimana makam Jaehyun?


Bomin ingin beranjak, namun dia duduk kembali. Merasa urusannya dengan sang ayah belum selesai.


"Ayah... Bomin minta maaf, Bomin tidak bisa menjaga ayah. Harusnya Bomin menjaga ayah seperti pesan terakhir bunda..."

"Ayah, sekarang Bomin diangkat menjadi raja. Padahal Bomin belum siap, dulu ayah bilang Bomin adalah penerus ayah, kan? Tapi Paman Seungmin memaksa Bomin,"

Air mata Bomin menetes, jatuh mengenai makan yang tanahnya masih merah itu.


"Bomin,"

Bomin buru buru menyeka air matanya. Siapa yang tadi memanggilnya? Bukannya sudah tidak ada orang selain Bomin di sini.

Pikiran Bomin melayang kemana mana. Ini suara siapa? Bomin tahu sekali, ini bukan suara ayahnya. Atau mungkin Paman Jangjun? Atau Paman Youngtaek? Entahlah, Bomin tidak terlalu akrab dengan mereka, jadi Bomin tidak tahu.

Paman Dayeol? Bukan, Bomin tahu persis suara Paman Dayeol, walau hanya pernah bertemu beberapa kali.


Atau Kak Joochan? Bisa jadi.


Tiba tiba ada sesuatu yang menepuk pundak Bomin. Bomin ingin berteriak, namun dia menahannya.

Bomin menoleh, ternyata Seungmin yang menanggilnya tadi.

"Iya, Paman?"

"Para penyihir sudah berkumpul, menunggu anda,"

***


Bomin menatap satu per satu penyihir yang ada di depannya. Hanya ada enam, seharusnya tujuh.

"Kemana Paman Hyojin?"

Para Penyihir saling berpandangan. Terakhir kali mereka bertemu saat malam penyerangan zombie. Yang lain sudah mengajak Hyojin untuk berlindung, namun pria tua itu tak mau pergi, tetap di tempatnya.

"Hyojin telah tiada," kata Seungmin, mengundang atensi dari penyihir lainnya.

"Bagaimana bisa?" desak Laun. Dia penyihir paling muda di antara mereka, jadi wajar dia belum bisa mengontrol emosinya. Bahkan usianya sepantaran dengan Bomin, sepertinya.

Seungmin menarik nafas panjang sebelum memulai bercerita "Pada malam itu, aku mencari kalian, namun hanya bertemu mendiang Hyojin. Aku meminta bantuan padanya, namun dia malah mengorbankan dirinya,"

Para Penyihir tertegun. Jadi Hyojin yang membuat pelindung itu?


"Maaf menyela, paman paman," kata Bomin sopan, "Saya akan membahas mengenai sesuatu, tentang peristiwa yang cukup menggemparkan semalam,"

"Jadi, saya meminta tolong kepada para petinggi istana yang tersisa untuk mengembangkan kota ini secepatnya. Setidaknya sepertiga dari prajurit kita masih ada,"


Wyatt mengacungkan tangannya "Mengapa harus secepatnya?"

"Aku menemukan pesan dari mereka. Mereka akan datang sebulan lagi, tepat pada malam purnama. Dengan kekuatan penuh, pastinya,"


"Mengenai ini, saya telah berdiskusi dengan Paman Seungmin selaku penasihat tertinggi, saya akan melibatkan kalian dalam hal ini. Jadi, mohon kerjasamanya,"

"Maksudnya?"


Kali ini Seungmin angkat bicara "Saat aku bertemu mendiang Hyojin, dia mengatakan bahwa perisai pelindung itu akan lebih kuat jika dibantu kalian. Bisakah kalian membuat perisai seperti itu?"

Para Penyihir mengangguk, namun ada salah satu yang menggeleng. Wyatt.

"Tidak. Kita tidak akan membuat perisai pelindung,"


Bomin dan Seungmin menggigit bibirnya, menanti kelanjutan ucapan yang digantung itu.

"Kalau Hyojin mengorbankan nyawanya, kita juga harus mengikutinya,"


Ucapan Wyatt seketika membungkam Bomin, terlebih setelah melihat penyihir lainnya ikut mengangguk mantap.


***

Setelah pertemuan itu, Bomin meminta bicara empat mata dengan Seungmin. Jangan heran, mereka memang dekat sejak Bomin kecil.

"Paman, sampai kapan aku memerintah? Kita tidak bisa menggantungkan putra mahkota begitu saja,"

Seungmin menggeleng "Sampai putra mahkota dewasa. Aku tahu, kau cukup pantas dalam hal pemerintahan,"

"Aku tidak bisa seperti itu, Paman. Paman lihat sendiri, tadi Para Penyihir malah sepakat untuk mengorbankan nyawanya demi hal ini. Aku tidak mau dipandang sebagai orang yang egois,"


"Kalau kau melepas jabatan ini, kerajaan akan hancur. Dalam saat seperti ini, kau masih menghiraukan pandangan orang? Lagipula mereka tidak mengetahui apa yang terjadi, jadi mereka tidak bisa mengatakan itu seenaknya,"

"Sekarang ikuti aku. Masih banyak urusan yang belum kau selesaikan. Aku akan membantumu selama yang aku bisa, Paduka,"


Bomin tersenyum "Terima kasih, Paman,"

***

Sekarang, kita lihat apa yang dilakukan Para Peyihir seusai pertemuan tadi. Mereka tidak kembali ke rumah masing masing, mereka membelokkan arahnya ke perpustakaan istana.

"MK! Sudah kau temukan bukunya?" tanya ETion sedikit berteriak. Yang ditanya hanya menggeleng, lalu kembali menelusuri rak.

"Apapun yang terjadi, kita harus melakukan cara itu. Hanya itu yang terbaik untuk melindungi kerajaan pada saat seperti ini,"


***

Hola!

Road To KingdomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang