"Juara lagi?"
Perempuan bersuara heran duduk di dalam gedung auditorium sekolah. Menyaksikan kegiatan di depan sana dari kursi penonton bersama teman lainnya.
Melihat pria paruh baya yang menjabat sebagai kepala sekolah mengalungkan medali emas ke leher seorang perempuan berambut panjang dan berwajah kalem.
Di kursi bagian tengah. Duduk dengan badan agak membungkuk ke depan. Kedua tangan menopang pipi, di mana siku bersandar pada atas paha dan berlapis rok panjang berwarna abu-abu elegan. Ia terlihat begitu santai di banding murid lainnya yang bersikap netral.
Prok, prok, prok!
Suara tepuk tangan menggema di penjuru ruangan yang memiliki ukuran sangat luas dan besar. Bisa menampung siswa tiga angkatan sekaligus. Kepala sekolah dengan wajah cerianya baru saja meminta para murid memberikan apresiasi kepada sang juara dengan tepuk tangan.
Setelah ikut tepuk tangan, perempuan ber-tag nama Lea P. Aurora beralih menyandarkan tubuh pada sandaran kursi sambil merapikan jas almamater yang dikenakannya.
Ia satu-satunya perempuan yang malas mengancingkan jas almamater berwarna senada dengan rok hingga terlihat jelas dasi panjang polos abu-abu dan seragam putihnya.
"Padahal, baru kelas sepuluh. Masa cewek itu udah juara berkali-kali? Ambisius."
Suaranya mungkin tidak terdengar, karena riuh kagum di kursi penonton terhadap prestasi yang telah di torehkan para murid berprestasi di podium sana. Satu perempuan medali emas, dua laki-laki medali perak, dan satu laki-laki piala juara satu.
Perempuan yang kerap di sapa Lea menguap usai berkomentar. Segera dirinya menutup mulut dengan punggung tangan kanan. Ia sama sekali tidak tertarik.
"Cewek itu udah langganan juara dari kecil, gimana nggak ambisius?"
Suara perempuan duduk di sebelah kanan menarik perhatian. Lea menoleh ke samping dan mendapati perempuan berambut pendek, sedang melipat tangan. Perempuan dengan pandangan lurus ke depan dan mengenakan gelang warna hitam di tangan kirinya.
"Kok, lo tau? Satu sekolah dari kecil?" tebak Lea gagal melihat tag namanya.
"Gimana gue nggak tau. Nama dan wajahnya itu, sering nongkrong di majalah Prestasi Nasional Pelajar Jakarta," ucap perempuan itu menurunkan tangan.
"Nongkrong? Di kira lagi di kafe apa," gumam Lea malas berbicara kembali.
Penyerahan piala, piagam, dan nama baik kepada sang juara di tengah sana telah selesai. Keheningan kembali menyelimuti di gedung auditorium.
"Ingat moto sekolah kita, SMA Laskar Angkasa. Berjiwa kompetisi, mengharumkan nama, dan mewujudkan impian."
Ingin rasanya segera pergi dari tempat, tetapi berada di sini jauh lebih baik daripada harus mendengarkan guru menerangkan di kelas. Lea melihat kepala sekolah hendak menyampaikan informasi kepada para murid di depan mikrofon.
"Keuntungan menjadi murid berbakat dan berprestasi bukan hanya tentang mengharumkan nama baik sekolah, tetapi juga modal untuk kalian yang ingin melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi impian melalui jalur tanpa tes. Rapor kalian akan memiliki keunggulan jauh dibanding mereka yang tidak pernah mendapat juara, apalagi tidak mau berusaha menggali bakat."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ingenious
Teen FictionBukan yang pertama tetapi terakhir seakan tidak punya tujuan hidup. Lea peringkat terakhir paralel dituntut ambisius dan harus mencari partner belajar (sejarah, matematika, biologi) supaya nilai rapornya tidak merah lagi. Kelompok murid ambis terga...