44. Maaf

7.6K 389 13
                                    

“Ketika rasa sakit itu datang, aku selalu kalah dengan semua rasanya.Sampai-sampai aku harus  mengingatmu, agar bisa sembuh... Walaupun aku tahu, akan terluka lagi.”
—Angkasa

****

"Papa enggak tngerti lagi sama kamu, Angkasa." Amar menggelengkan kepalanya.

"Cuma nurutin kemauan Papa untuk selalu jaga Debbi, temani dia, apa kamu gak bisa? Itu hal kecil Angkasa. Gak susah pasti buat kamu yang katanya seorang ketua geng motor terbesar di kota ini," sarkas Amar, nada bicaranya sedikit merendahkan dibagian akhir kalimatnya.

Angkasa masih diam, cowok itu berusaha tidak menanggapi ucapan Amar sama sekali. Tapi lagi-lagi papanya berbicara. "Apa karna alasan kamu punya perempuan? Iya, perempuan itu? Dia tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Debbi."

Amar salah bicara, apalagi dengan Angkasa yang malah tertawa remeh. Dia sangat berfikir ucapan ayahnya lelucon hari ini. Siapa dia bisa menilai Senja yang tidak dia kenali sama sekali.

Angkasa menghela nafasnya, cowok itu lalu menanggapi. "Apa yang mau diharapkan dari anak yang tidak pernah diinginkan ini? Katanya, enggak berguna. Bahkan, enggak pernah dilakukan layaknya anak. Tapi sekarang, kenapa harus terus-terusan dipaksa menuruti keinginan seorang orang tua, yang sama sekali enggak berperilaku layaknya orang tua."

"Bicaramu sudah sampai situ, Angkasa?!" Suara Amar meninggi.

"Karena memang kenyataannya seperti itukan? Maaf, tuan Amar Gerald. Sepertinya malam ini bukan malam yang cocok untuk berdebat dengan anda. Saya capek, ujungnya pasti selalu saya yang salah." Angkasa ingin melangkah pergi, tapi dengan cepat Amar mencekal tangannya untuk menahan. Dan...

Bugh!

Pukulan mendarat diperut Angkasa membuat empunya itu meringis, tapi bukan Angkasa namanya jika dia merasakan sakit. Angkasa berdecih pelan, tersenyum miring.

Bugh!

Bugh!

Bugh!

Beberapa pukulan lagi mendarat, hingga darah segar keluar dari sudut bibir Angkasa. Tapi cowok itu tetap dengan prilakunya, tetap diam dan menatap santai pria yang statusnya seorang Ayahnya itu.

"Kurang ajar! Kenapa kamu selalu buat Papa ingin marah?!" ucap Amar. "Papa gak bakal kaya gini kalo kamu mau ikutin semua perintah Papa Angkasa!" tambahnya lagi.

"Angkasa. Papa cuma mau kamu ikutin perintah Papa, atau kamu pergi dari sini! Papa juga gak akan kasih kamu apartement buat kamu tinggal!" ancam Amar.

Tapi Amar lupa, anaknya itu keras dan tidak mungkin kalah dengan satu ancamannya itu. "Silahkan, malah lebih suka keluar dari sini. Enggak banyak pikiran yang masuk lagi ke kepala."

****

Senja keluar dari rumahnya. Ada harapan dari cewek itu Angkasa ada didepan rumahnya. Tetapi nihil, tapi Senja tidak lupa. Jika Angkasa tidak ada diteras rumahnya, mungkin Angkasa ada didepan rumahnya. Senja membuka pintu gerbang rumahnya, tapi mana hasilnya? Tetap tidak ada.

Senja hanya bisa menatap kosong. Lalu dia berjalan menjauh dari rumahnya. Masih ada rasa harapan cowok itu datang menemuinya. Bertemu dipinggir jalan dengan alasan dia telatpun Senja berharap itu! Tapi mana? Tidak ada!

"Kenapa, ya, Angkasa gak jemput aku." Senja menerawang, perempuan itu berjalan sambil menendangi kerikil di setiap jalan.

"Senja," panggilan suara itu membuat Senja langsung menoleh kebelakang dengan perasaan senang.

AngkasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang