"Akan ada pelangi setelah hujan.
Hanyalah serangkai kata yang
kenyataanya tidak pernah terjadi."***
Angkasa melihat seorang lelaki tua yang terbaring lemah ditempat tidurnya. Dari sisi kanan dan kirinya sudah banyak kabel-kabel yang terhubung dengan tubuhnya. Bukan hanya rasa sedih. Angkasa juga sangat sangat tidak akan merelakan orang tersebut pergi dengan membawa janjinya yang tidak akan ia tepati. Pilihannya tidak banyak. Hanya saja dia harus memilih antara memilih bersama dengan pilihannya. Atau dengan wasiat Kakeknya.
"Lihat itu sekarang. Tapi saya tidak yakin. Memangnya setelah melihat itu semua kamu akan nurut? Kamu kan anak pembangkang," ujar Amar.
Angkasa melirik lelaki paruhbaya di depannya. "Pilihan saya. Urusan saya, bukan urusan anda," ujar Angkasa.
Angkasa duduk dikursi besi yang ada didepan ruangan Kakeknya. Suasana nya sangat tidak bersahabat. Angkasa tidak suka jika ada satu keluarga yang sedang berkumpul. Menurutnya itu adalah acara yang harus ia hindari. Tapi kini? Semuanya telah berkumpul disana. Rasanya benar-benar asing. Yang Angkasa rasakan bukanlah berada di orang-orang terdekat. Tapi berada dikumpulan orang-orang asing yang sangat mengganggu pikirannya.
"Lihat saja anak itu. Bagaimana dengan jalan pikirannya." Amar tidak habis fikir.
Angkasa benar-benar memang tidak ingin ada diposisi ini. Angkasa sangat benci jika dirinya dijelek-jelekan atau dibicarakan oleh keluarganya yang lain. Rasanya, dia ingin pergi dari sini sekarang juga. Tapi rasanya tidak mungkin.
"Angkasa. Kalo lo ga nyaman ada disini. Kita kekantin aja," Debbi duduk disamping Angkasa. Perempuan itu terlihat sangat pendiam disini. Terlihat sopan, dan sangat baik.
Angkasa hanya diam. Dia melepaskan tangan Debbi yang memegangi pundaknya. Risih, seperti dulu yang ia rasakan pada Senja. Tapi ini beda. Bukan hanya risih, seperti orang yang tidak ingin dekat dengan perempuan berkelakuan jahat ini. Debbi terlihat baik dimata keluarganya. Karena sikapnya disetiap tempat berubah-ubah. Dasar cewek drama!
"Angkasaa..." ujar Debbi lembut. Dia memegang pundak Angkasa kembali.
Angkasa melepaskan tangan Debbi dari pundaknya. "Jangan lo sentuh gue lagi," ketus Angkasa.
Setelah beberapa lama menunggu. Dokter yang menangani Kakek keluar. Dan mempersilahkan siapa saja untuk masuk. Tapi hanya dua orang saja. Kini yang pertama masuk ke dalam adalah Angkasa dan Papahnya. Ralat, bukan Papahnya. Tapi seorang yang suka mengatur hidup oranglain tanpa mengerti perasaan oranglain tersebut.
Dengan menggunakan pakaian khusus. Angkasa melihat dengan jelas Kakeknya terbaring diranjang rumah sakit. Dia sudah seperti tidak ada tanda-tanda hidup lagi. Pasti nyawa nya hanya bergantung dengan alat-alat medis yang masih menempel ditubuhnya.
Angkasa mendekatkan tubuhnya ke Kakeknya. Dia membisikan sesuatu ke telinga Kakeknya. "Kek, Angkasa percaya. Kakek gamungkin ngelarang apa yang Angkasa suka. Angkasa yakin Kek, tolong jelasin ke Angkasa Kek. Bener semua yang terjadi kaya gini?" bisik pelan Angkasa dengan rasa sedih yang begitu sangat ia rasakan. Angkasa tahu bagaimana Kakeknya. Angkasa tahu bagaimana dia memperlakukannya. Kakeknya bukan Papahnya yang seenaknya mengatur kehidupan seseorang.
Angkasa tidak pernah lupa dengan sikap Kakeknya bagaimana. Dia tidak jahat. Dia sangat mengerti oranglain. Angkasa juga mengerti. Kakeknya itu tidak mungkin menyuruhnya untuk melakukan sesuatu hal yang sangat Angkasa benci. Kakeknya selalu mendukung apa yang Angkasa suka.
"Lihat kamu. Bagaimana Kakek kamu saat ini keadaannya?" ujar Amar remeh. Sepertinya dia benar-benar ingin memojokan Angkasa agar Angkasa bisa menerima apapun yang diberikan oleh Papahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Angkasa
Teen Fiction(FOLLOW SEBELUM MEMBACA) Angkasa Gerald Anugrah, sang ketua geng motor The Blaze. Laki-laki yang dianggap baik untuk jadi pemimpin teman-temannya. Seorang laki-laki yang kaku, bahkan dingin ke setiap orang yang mendekatinya. Cerita ini berawal dari...