Acha mengutak atik layar ponselnya. Menyusuri akun instagram miliknya karena bosan. Daren masih fokus menyetir di sebelahnya. Sesekali pria itu melirik ke arah gadis mungil di sebelahnya. Acha tampak biasa saja. Tidak ada yang berbeda dari Acha setelah perdebatan dengan Bram di parkiran sekolah beberapa waktu yang lalu.
"Cha..." Daren memanggil lirih. "Gue seneng ngeliat lo seneng."
Acha mengerutkan keningnya heran, "Maksud lo?"
"Tadinya, gue kira lo bakal sedih setelah bertengkar sama Om Bram." Daren mendesis pelan.
Acha diam sejenak, lalu menggeleng.
"Entah kenapa gue nggak ngerasa apa-apa. Gue nggak ngerasa sakit sama sekali. Kayak udah terlalu sering disakitin sampe gue nggak tau lagi gimana rasa sakit." Acha menunduk pelan. Tersenyum. Selanjutnya terkekeh geli. Miris melihat jalan hidupnya sendiri.
"Cha..." Daren bingung. Tidak tau harus berkata apa lagi.
"Gini banget ya, hidup gue? Nggak ada kejelasan, nggak ada titik terang, bener-bener hambar. Tapi gue harus tetap hidup meskipun ngelontang-ngelantung. Gue harus tetap hidup meskipun hidup itu ribet. Karena gue masih harus ngebalasin dendam gue ke Bram. Dan gue juga masih punya Mama yang harus gue bahagiain sebelum gue bener-bener mati."
"Cha, gue tau lo itu sosok yang sabar meskipun sedikit keras kepala. Lo bisa menipu semua orang di sekitar lo dengan senyuman yang setiap saat menghiasi bibir tipis lo itu. Lo bisa menutupi semuanya dengan tawa, dengan sikap konyol lo yang di luar naluri manusia. Padahal, di balik itu semua lo adalah salah-satu manusia yang rapuh. Hidup lo nggak seindah yang orang-orang bayangkan." jeda. "Gue bangga punya lo."
"Akhirnya gue denger kalimat itu keluar dari mulut lo, Ren." Acha terkekeh geli. "Paling enggak, ada yang bisa dibanggain dari gue."
Daren tersenyum. Mengelus pelan puncak kepala Acha.
"Gue harus tetap hidup. Gue belum mau mati kalo gue belum dinikahin sama lo." Acha menggumam pelan. Membuat mata Daren membulat sempurna.
"Nggak akan pernah gue nikahin lo, Cha." Daren menolak antusias.
"Tapi lo harus tetep nikahin gue." Acha berkata dengan congkaknya.
"Nggak bakal pernah, Acha!" Daren emosi.
"Harus."
"Enggak."
"Harus."
"Enggak."
"Gue bilang harus, Daren!"
"Gue bilang enggak, Acha!"
***
Dua jam sudah dihabiskan Acha dan Daren untuk menyusuri luasnya mall yang kini dikunjungi oleh mereka. Berbelanja berbagai macam keperluan. Baik yang benar-benar butuh, maupun hanya sekedar ingin.
Kedua insan tersebut kini berakhir di cafe mall. Beristirahat sejenak sembari menikmati menu yang disedikan oleh pihak cafe. Daren memesan stick dengan orange just. Sementara Acha memesan satu box pizza mini serta minuman coklat dingin.
"Jangan pernah bosen traktir gue, Ren." Acha angkat bicara. Dilanjutkan dengan dimasukkannya sepotong pizza ke dalam mulutnya.
"Hm." Daren menggumam pelan tanpa berniat menjawab lebih dari itu.
"Emang udah seharusnya kayak gitu. Seorang suami diwajibkan untuk menafkahi istrinya." Acha mengangkat dagunya ke arah Daren.
Daren memutar bola mata jengah, "Emangnya gue suami lo?"
"Bukan suami gue. Tapi masih calon suami gue. Ya kan?" Acha menaik turunkan alisnya beberapa kali.
"Ogah!" Daren menyentak keras.
KAMU SEDANG MEMBACA
FRIENDSHIT [TAMAT]√
RandomSepenggal kisah persahabatan antara Acha dan Daren. Hubungan persahabatan yang sudah terjalin selama sebelas tahun, tanpa melibatkan perasaan? Tidak mungkin. Di balik tawa dan canda, ada bisikan hati yang tak terucapkan. Ketidakpekaan Acha dan Daren...