|| takkan kubiarkan kau pergi, di sini tempatmu berlabuh.
-Daren Charty Lorians
***
Daren membukakan pintu mobil untuk Acha. Tanpa diminta, Acha lantas bergegas keluar dari mobil. Acha melemparkan senyum manisnya ke arah Daren. Daren membalas. Daren senang karena melihat Acha kembali tersenyum.
"Makasih, Daren." Acha tersenyum lebar disusul anggukan dari Daren.
"Langsung ke kelas?" tanya Daren yang lantas dianggukkan oleh Acha.
Daren tersenyum lalu melilitkan tangannya pada leher Acha, tepatnya merangkul. Selanjutnya, mereka berjalan beriringan menuju kearah kelas.
Acha mengernyitkan keningnya saat mendapati para siswa-siswi di sekitar yang menatapnya aneh. Acha mencoba memperhatikan penampilannya. Takut jika penampilannya yang mengundang perhatian siswa-siswi di sekitar untuk melihatnya dengan pandangan aneh.
"Mereka kenapa, Ren?" Acha menoleh ke arah Daren dengan sedikit mendongakkan wajahnya ke atas, karena Daren yang jauh lebih tinggi darinya.
"Nggak usah dipeduliin." Daren menyangkal sembari menyentil pelan hidung Acha menggunakan telunjuknya.
Daren sebenarnya tau, Daren juga sebenarnya sadar jika saat ini ia dan Acha menjadi pusat perhatian teman sekolah yang ada di sekitar. Bisik-bisik tetangga dapat didengar olehnya dengan jelas. Daren memakluminya karena ia sudah dapat menebak bahwa itu semua terjadi pasti karena kejadian di sekolah pagi kemarin. Saat dimana Acha bertengkar hebat dengan Bram.
"Cha..."
Lagi, Acha mendongak ke arah Daren saat ia mendengar namanya disebut pelan.
"Kenapa?" tanya Acha pelan.
"Gue seneng lo ceria lagi." Daren menatap teduh wajah Acha. "Jangan sedih lagi ya, Cha? Gue paling nggak suka ngeliat lo sedih, apalagi nangis."
Acha tersenyum lebar. Terharu mendengar penuturan Daren. Selanjutnya Acha melilitkan kedua tangannya pada pinggang Daren. Memeluk erat pria yang saat ini berada di sampingnya dan masih terus merangkulnya. Acha merasa sangat beruntung karena Tuhan telah mengirimkan sahabat seperti Daren untuknya. Menurut Acha, Daren adalah segalanya.
***
"Cha, Ren. Kemarin kenapa nggak masuk?"
Baru saja Acha dan Daren menempatkan kursi mereka, Flo datang dan langsung menyerang mereka dengan sebuah pertanyaan. Acha menoleh ke arah Flo sejenak, lalu melemparkan pandangannya ke arah Daren.
"Gue ngantuk." Acha berujar pelan sembari menguap lebar. Selanjutnya gadis itu melipat tangannya diatas meja dan kemudian tidur. Tidak berniat menjawab pertanyaan Flo barusan.
Daren menggeleng-gelengkan kepalanya. Menatap datar wajah Acha yang kini tidur di sebelahnya.
"Ren." Rian datang sembari menepuk pelan bahu Daren.
Daren menoleh spontan ke arah pelaku. Ternyata pemilik suara adalah Rian.
"Kemarin gue liat Acha marah-marah di deket parkiran sama Bapak-bapak." Rian berujar antusias sembari menempatkan bokongnya diatas kursi sebelah Flo. "Dia siapa?"
Daren menoleh ke arah Acha. Gadis itu tampak tidak peduli. Benar. Acha memang tidak peduli. Sangat tidak peduli. Acha tidak peduli apapun itu yang menyangkut tentang Bram. Sama sekali tidak penting untuknya.
"Bokapnya Acha." Daren menjawab pelan.
"Dia bukan Bokap gue." Acha menyahut masih dengan matanya yang tertutup. "Gue nggak punya Bokap yang brengsek kayak dia. Bokap gue udah mati."
Daren mendengus setelah mendapatkan jawaban dari Acha. Daren meletakkan telunjuknya tepat di depan bibir saat Flo akan menyanggah. Daren tidak ingin sangkalan Flo nantinya hanya akan membuat Acha kembali tertekan dan kembali bersedih. Daren tidak mau itu kembali terjadi.
Flo mengangguk mengerti. Mencoba memahami kondisi hati Acha yang jauh dari kata baik-baik saja.
"Ekhem."
Sebuah deheman membuat Daren dan teman-temannya menoleh ke arah sumber suara secara bersamaan, kecuali Acha. Sebuah suara yang sangat tidak asing.
Kiena.
"Ngapain lo ke sini?" Daren menatap tajam ke arah Kiena yang berdiri cukup dekat dengan mereka.
"Gue baru tau ternyata Acha Adik tiri gue."
Penuturan Kiena membuat Acha membuka matanya. Mendengar ungkapan Kiena benar-benar memancing emosi Acha. Kupingnya memanas. Seakan tidak terima dengan apa yang diucapkan oleh Kiena barusan.
"Gue nggak punya Kakak tiri!" Acha menyangkal sembari meluruskan duduknya. Menatap garang wajah Kiena yang kembali merusak mood-nya di pagi hari ini.
"Nggak punya, ya?" Kiena memutari barisan kursi-meja dari depan hingga ia bisa berdiri tepat di sebelah meja Acha. "Lo lupa sama Pak Bramantya? Bukannya Pak Bramantya itu ... Bokap lo?"
Acha menyunggingkan senyum di sebelah bibirnya. Selanjutnya Acha melemparkan pandangannya ke arah Kiena.
"Bukan lupa, tapi gue emang nggak kenal sama orang yang barusan lo sebut." Acha menyangkal yakin. Mencoba untuk tenang.
"Nggak kenal, ya?" Kiena terkekeh. "Trus, bokap lo, kemana, Acha?"
"Udah mati."
"Anak durhaka yang nggak mengakui Papanya." Kiena lagi-lagi terkekeh. "Gue inget kejadian sepuluh tahun yang lalu di cafe Mentari. Dimana Papa lo lebih milih gue sama Mama gue dibandingkan lo sama Nyokap lo." Kiena tertawa lebar. Merasa puas di atas penderitaan Acha dan Mamanya.
"Trus, lo bangga?" Acha sama sekali tidak termakan hinaan Kiena yang terus menjatuhkannya. Sebisa mungkin Acha menjaga harga dirinya yang terus-terusan diinjak-injak oleh Kiena sesuka hati. "Kie, jangan lupa. Orang yang sekarang ini sama lo, orang yang selama ini ngedidik dan ngebesarin lo, orang yang udah jadi tulang punggung keluarga lo, itu adalah hasil rebutan. Hasil jerih payah Nyokap lo untuk ngerebut Papa dari Mama gue." Acha memberi jeda, "Tapi... nggak masalah. Karena orang yang sekarang ini ada di pihak lo, nggak beda jauh dengan yang namanya pecundang."
Kiena diam. Merapatkan kedua bibirnya karena ia tidak dapat memberikan penyangkalan.
"Gue nggak punya Papa, apalagi saudara tiri kayak lo." Acha tersenyum miring menghina.
"Kita liat, sampe kapan lo sama Mama lo bertahan tanpa Bokap lo." Kiena beranjak pergi setelah mengucapkan kata-kata meremehkan tersebut.
Sepeninggal Kiena, untuk sejenak tidak ada yang berani membuka pembicaraan. Nafas Acha yang memburu menahan amarah terdengar jelas oleh telinga mereka masing-masing. Bahkan suara siswa-siswi lain yang saat ini juga berada di dalam kelas dan sempat menyaksikan pertengkaran Acha dengan Kiena, ikut bungkam. Sesaat kelas terasa senyap. Hawa dingin mulai terasa menyelimuti mereka.
"Cha..."
"Gue nggak pa-pa." Acha menyangkal cepat panggilan Daren. Selanjutnya gadis itu kembali melipat tangannya di atas meja lalu kembali tidur. Mencoba melupakan kejadian barusan.
Teman-teman Acha hanya bungkam. Tidak ada yang berani menegur saat Acha kembali tidur padahal sebentar lagi jam pelajaran pertama akan dimulai.
Acha tidak pernah marah di kelasnya. Acha dikenal dengan karakter yang sangat tidak peduli dengan lingkungannya. Oleh sebab itu, Acha tidak pernah tersinggung ataupun marah jika ada siswa-siswi di sekitar yang menggunjingnya dengan sebutan "wanita gila yang selalu merepotkan Daren".
Acha tidak pernah marah hebat. Karenanya, pertengkaran Acha dengan Kiena barusan benar-benar membuat seluruh siswa-siswi bungkam. Tidak ada yang berani menegur karena takut diterkam.
"Gue bakal buktiin sama Kiena, kalo gue bisa bertahan hidup tanpa adanya sosok persetan kayak Bram di sekitar gue ..."
-To be continued-
KAMU SEDANG MEMBACA
FRIENDSHIT [TAMAT]√
DiversosSepenggal kisah persahabatan antara Acha dan Daren. Hubungan persahabatan yang sudah terjalin selama sebelas tahun, tanpa melibatkan perasaan? Tidak mungkin. Di balik tawa dan canda, ada bisikan hati yang tak terucapkan. Ketidakpekaan Acha dan Daren...