49 | Perasaan

833 62 0
                                    

Acha mendengus pelan lalu menunduk. Menggenggam erat tangannya sendiri yang gemetar. Entah mengapa masalahnya tidak kunjung usai. Ada saja masalah yang bermunculan, padahal masalah yang lalu belum terselesaikan.

Daren yang tadinya duduk di hadapan Acha, kini bangkit berdiri. Menarik kursinya agar berdampingan dengan Acha. Daren menempati kursinya tersebut. Menatap sedih ke arah Acha yang masih menundukkan kepalanya.

Daren meraih tangan Acha yang bergetar hebat. Menggenggam kedua tangan mungil gadis tersebut. Daren tidak akan membiarkan Acha bersedih hati, karena Daren sangat tidak menyukai hal tersebut.

"Cha..." Daren mendesis pelan. "Lo jangan dengerin omongan Tante Kinan barusan."

Acha mengangkat kepalanya. Menoleh ke arah Daren, pria tampan yang selalu ada di sisinya. Yang selalu menghiburnya dikala hatinya terluka, yang selalu menyemangatinya dalam segala hal.

"Ren..." kini Acha menatap dalam mata Daren. Daren juga melakukan hal yang sama. Iris coklat keduanya saling bertemu. "Gimana kalau nanti omongan Tante Kinan jadi kenyataan?"

"Maksud lo?" Daren tidak paham.

"Ren, suatu hari nanti lo bisa aja ninggalin gue karena lo udah nemuin yang lebih baik dari gue. Nggak sulit untuk nemuin perempuan idaman lo. Gue ini pemalas, gue bisanya ngerepotin lo doang. Nggak menutup kemungkinan kalau lo bakal ninggalin gue suatu hari nanti. Karena untuk nemuin yang lebih baik dari gue itu bukan perkara sulit." Acha mendesis pelan namun cukup serius.

"Cha..." Daren menekan sedikit ucapannya yang terdengar lirih. Genggaman tangannya pada tangan Acha diperkuat. Agar gadis itu yakin kalau Daren benar-benar tidak pernah berfikir demikian. "Lo harus percaya sama gue. Gue nggak akan pernah ninggalin lo, bahkan sampe gue mati sekalipun. Gue sayang sama lo, Cha. Gue bener-bener sayang sama lo. Kalau pun suatu hari nanti gue ketemu sama perempuan idaman gue, lo tetap gue nomor satukan. Gue nggak akan ninggalin lo. Lo tetap sahabat gue sampe kapan pun." Daren mencoba meyakinkan Acha. Menatap teduh gadis mungil di hadapannya ini.

"Ren, nggak mungkin rasanya lo bakal terus-terusan mau gue repotin. Gue takut lo ninggalin gue karena gue nggak bisa apa-apa. Gue kayak kerikil yang gampang ditendang orang. Gue terlihat manusia kalo gue lagi sama lo, sisanya enggak," tutur Acha menatap miris jalan hidupnya.

"Cha, gue janji nggak akan pernah ninggalin lo, lo harus percaya itu."

"Tapi gue takut, Ren. Apa lagi sekarang lo udah jadi milik Citra. Citra itu perempuan baik, dia mau terima hubungan kita. Citra jauh lebih baik dari gue. Citra nggak pemalas, nggak ngerepotin lo kayak gue ngerepotin lo. Citra dewasa, sementara gue?" Acha geleng-geleng kepala. Tidak mampu menjawab pertanyaannya sendiri.

"Citra emang lebih baik dari lo, tapi Citra nggak lebih penting dari lo." Daren berujar tegas. Masih berusaha meyakinkan Acha. "Perlahan memang gue berangsur-angsur punya rasa sama Citra. Karena sejauh ini, cuma Citra yang berkenan di hati gue. Berkali-kali gue pacaran, cuma Citra yang bisa terima hubungan gue sama lo. Mungkin suatu saat gue bakal cinta sama Citra, tapi itu nggak bakal ngebuat rasa sayang gue ke lo memudar. Lo tetap prioritas gue meskipun Citra cintanya gue. Lo paham?" Daren menatap Acha semakin teduh.

Acha menunduk. Ternyata di luar dugaannya, kini Daren perlahan mulai menyukai gadis bernama Citra. Sikapnya yang penyabar membuat Daren yakin dengan pilihannya.

"Jadi... lo sekarang mulai suka, sama Citra?" Acha bertanya lirih.

Daren diam sejenak, lalu mengangguk pelan. "Kayaknya. Tapi lo tetap gue utamain dari apapun, Cha. Lo nggak perlu khawatir."

Acha tidak menjawab apa pun, Acha hanya diam saja.

"Cha." Daren menepuk pelan puncak Acha. Acha memalingkan wajahnya ke arah Daren. "Lo denger gue, kan?"

Acha mengangguk, "Iya gue denger. Gue denger kalo lo suka sama Citra." Acha berkata demikian di luar kesadarannya.

Daren mengernyitkan keningnya heran.

"Lo kenapa, Cha?"

"Nggak pa-pa. Yaudah kita pulang aja ya, Ren? Gue capek pengen istirahat."

Daren diam sejenak lalu mengangguk.

***

Esoknya...

"Cha, gimana? Merasa lebih baik?" tanya Daren pada Acha saat keduanya sedang berjalan keluar dari rumah.

"Sedikit." Acha menjawab singkat.

"Gue beliin lo pizza tadi, sekarang ada di mobil." Daren memberitahukan kabar gembira itu kepada Acha.

"Sekarang gue jauh lebih baik." Acha kegirangan. "Lo emang sahabat yang paling mengerti gue." Acha memeluk pinggang Daren menyamping.

Daren tertawa lepas. Balas memeluk Acha dengan sangat erat.

"Kayak gini terus ya, Cha? Gue lebih suka lo yang kayak gini. Ketawa selalu, bukan malah berlarut-larut dalam kesedihan." Daren mengelus pelan puncak kepala Acha.

Acha manggut-manggut, "Siap, mas bucin!"

"Eh, lo bilang apa barusan?" Daren memperlihatkan raut wajah marahnya. Bukan mengerikan, justru menggemaskan.

"Mas bucin." Acha menjawab relaks. "Bukannya lo suka ngebucinin gue, ya?" Acha menaik-turunkan alisnya. Bermaksud menggoda pria jangkung berperawakan tinggi yang masih dipeluknya itu.

"Kalau gitu, berarti lo... mbak bucin." Daren ngakak saat Acha balas memperlihatkan ekspressi marahnya. "Biar sama imbang."

Daren beralih merangkul Acha. Keduanya melanjutkan perjalanan menuju ke mobil yang terparkir di halaman rumah.

"Eh, Ren. Gue pernah baca dongeng." Acha mendongak ke atas agar dapat melihat wajah Daren.

Daren menautkan kedua alisnya heran, "Dongeng apa?"

"Konon katanya, dulu di sebuah desa yang sangat terpencil dan jauh dari keramaian, ada seorang pria yang mendapat julukan komandan bucin. Dan ada seorang perempuan yang mempunyai julukan ibu bucin. Jadi mereka harus dipersatukan, dan hidup bahagia selamanya. Kalau enggak, bakal ada bencana besar yang menimpa keduanya." hasil akhir cerita Acha adalah mendapat usapan keras pada wajahnya.

Daren memasang wajah datar setelah mendengarkan keseluruhan cerita Acha yang diciptakannya sendiri. Alurnya terdengar konyol, sama seperti pemikiran Acha.

"Nah, kita berdua harus bersatu, Ren. Kita nikah ya?"

Daren geleng-geleng kepala mendengar kekonyolan Acha.

"Masuk." Daren membuka pintu mobil untuk Acha.

"Jawab dulu... Gue barusan ngelamar lo, loh."

"Masuk, Acha. Ntar telat ke sekolah."

Acha menekuk wajahnya dan langsung memasuki mobil.

"Daren... jahat."

oOo

FRIENDSHIT [TAMAT]√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang