25

795 133 96
                                        

Tubuhnya menggeliat diatas ranjang king size itu. Dengan perlahan manik bak kucing terbuka. Ia sesuaikan cahaya yang masuk kedalam retinanya.

Setelahnya siren edarkan pandangan ke sekeliling lalu menyadari bahwa ia sendirian didalam kamar Hanbin.

Jennie berusaha mendudukkan diri meski kepalanya masih terasa pening. Memorinya mengilas balik kejadian tadi. Ia memandangi kedua telapak tangannya.

Kala hatinya merasa bersalah telah mencekik Jaewon tadi, otaknya berfikir sebaliknya. Bahwa pelajaran tadi sudah cukup dan pantas diberikan pada lelaki Jung.

Perutnya yang terasa lapar segera kembalikan dirinya. Energinya benar terkuras untuk membaca memori masa lalu Jaewon.

Maka ia bangkit dari ranjang berniat mencari prianya untuk minta dibuatkan 'cacing berdarah' a.k.a tteokbeokki.

Kala berusaha turuni ranjang, Jennie malah terdiam mendapati sesuatu yng tak biasa pada dirinya. Duduk dulu ditepi ranjang, raih ujung rambutnya lalu meneliti lebih dekat.

Kenapa memutih? kalau begitu pasti rambutnya memanjang. Siren itu bangkit dan mematut diri didepan cermin. Mengumpulkan semua surainya, dan menyampir itu didepan pundak kiri.

Ujung-ujungnya memutih walau belum terlalu banyak. Ia kembalikan rambutnya yang tergerai kebelakang punggung.

Siren juga membelakangi cermin dan menoleh kebelakang untuk pastikan sepanjang apa rambutnya.

Dan Jennie yakin memang rambutnya memanjang. Ia lirik ke pintu kamar yang terbuka, samar terdengar suara Hanbin juga Jaewon berasal dari ruang tengah.

Ia cemas, kakinya sudah sembuh dan sudah dapat berenang lagi. Tapi kalu ia pulang, apa yang akan ibunya lakukan? rambutnya memanjang juga memutih, Jennie-pun tak tau persis apa penyebabnya.

Ibu dan kakaknya tak pernah secara detail menceritakan tentang siren yang diasingkan dalam palung setelah dapati rambut berubah selayaknya Jennie kini.

Mau tak mau, ia harus tetap pulang. Ia harus bertanya pada Irene apa yang terjadi pada dirinya, sebab Jennie benar-benar tak tau.

Tak berani bertanya pada sang ibu, ia takut diasingkan, sendirian dalam palung gelap. Berusaha mengontrol ekspresinya ketika keluar dari dalam kamar.

Dilihatnya bibi Han serta pak Han pamitan untuk pulang. Namun dua pria disana masih berdebat kecil.

Dari ujung lorong ia berdiri dan, "Hanbin," panggilnya dengan suara serak.

Prianya langsung menoleh, "Sayang?" dan segera hampiri dirinya dengan raut khawatir sangat kentara disana.

Bagaimana bisa ia berpisah dengan pria ini jika perlakuannya begini? Lagipula mereka sama-sama tau kalau saling mencintai. Meski berat, Jennie tak punya pilihan lain.

Apa boleh buat? ia harus tetap pulang juga.

+++

"Tu, filius tuus"*

"Kau, anakmu,"

Refleks pria Kim mundur seketika kala Irene menyodorkan janin mungil berlumuran darah. Langsung skeptis padanya setelah Irene berkata sepeeti barusan.

"Leluconmu tak lucu sama sekali, Irene,"

Irene kembali meletakkan bayi itu di lengan kirinya, menggendong dengan santai tanpa khawatir bajunya yang ternoda oleh darah.

"Siapa bilang aku melucu?" ucapnya tak kalah datar.

"Kau, pffttt!! ini!?" ia menunjuk si bayi yang masih menangis kencang dengan tak sopan juga tawa sarkas mengiringi.

Nefastus [JenBin] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang