Eight

37.6K 1.9K 96
                                    

Sepasang siswa ini masih menggunakan seragamnya. Mereka kini berada di atas motor yang membelah jalanan kota Bandung. Sore yang cerah, jam pun masih menunjukan pukul setengah lima sore.

Genna juga tidak tahu mengapa tadi ia mengajak Nadyne, yang ia rasakan adalah dia tidak ingin menutupi apapun dari Nadyne, termasuk keadaan keluarganya.

Jaket besar yang kini tengah dipakai di badan kecil seorang gadis ini bergetar. Dalam saku jaketnya terdapat ponsel pemilik jaket itu.
Gadis itu merogoh saku jaket itu, benar saja ponsel Genna bergetar tanda ada yang menelponnya.

"Genna ada yang telpon." Beritahu Nadyne dengan nada lumayan tinggi karena bising kendaraan. Dagu Nadyne ditempelkan di bahu Genna.

Genna yang mendengarnya pun langsung meminggirkan motornya, membuka helm full face nya, dan mengambil ponsel yang disodorkan Nadyne. Dia menempelkan ponsel itu di telinganya.

Nadyne mengerutkan dahinya saat melihat wajah tenang seorang Genna berubah menjadi merah menahan amarahnya, tangannya sudah mengepal kuat, rahangnya mengeras, giginya menggertak.

Genna menoleh ke sampingnya dimana kepala Nadyne masih menempel di bahunya hatinya tenang saat melihat wajah Nadyne, jantungnya berdetak kencang "Gue anter pulang!" Ucapnya.

"Kenapa?" Tanya Nadyne yang mendapatkan perubahan dari raut wajah Genna.

"Nanti gue cerita." Jawab Genna yang kembali memakai helm full facenya, dia menutup matanya mengontrol emosinya, kemudian menjalankan motornya.

Dia sudah bilang bukan tidak ingin menyembunyikan apapun dari Nadyne. Tapi masalahnya bagaimana dia akan bercerita? Lewat bahasa tubuh?

Genna melajukan motornya normal walaupun pikirannya tidak normal. Dia membawa seorang gadis yang harus dia jaga. Dia juga harus memikirkan orang yang sedang berada dengannya saat ini. Dia tidak boleh egois.

Motor Genna berhenti di pagar hitam yang menjulang tinggi, gadis yang duduk dibelakangnya pun turun. Nadyne merapikan rambutnya yang kusut karena angin, Nadyne membuka jaket Genna, dia menyodorkan jaket itu. Genna menerima jaketnya kemudian dia pakai di badannya. Tanpa kata apapun Genna meninggalkan Nadyne yang menatapnya khawatir.

Genna melajukan motornya seperti orang yang kesetanan, dia tidak peduli dengan umpatan orang-orang. Dia ingin cepat sampai ke rumah seseorang. Dia marah, dia merasa bersalah, dan sedih.

Genna berhenti di sebuah rumah yang ramai dengan orang, di depan rumahnya sudah terdapat bendera kuning. Genna berlari kecil ke dalam rumah tersebut, dia menghadap kepada seorang wanita paruh baya yang duduk di karpet. Mata wanita paruh baya itu sembab, mungkin sudah terlalu lama menangis.

"Maafin Genna Mak." Kata Genna dengan nada bersalah. Dia bersimpuh di hadapan wanita paruh baya.

"Ieu lain salah Genna, ieu mah takdir, emak terang geng motor maneh mah tara nyieun masalah iwal ti maranehna nu ngoconan tiheula. Emak ikhlash si Udin pupus, daripada si Udin hirup sangsara jeung emak." Kata Ntin- emak Udin.
(Ini bukan salah Genna, ini takdir, emak tahu geng motor kamu gak pernah buat masalah kecuali orang lain yang mulai duluan. Emak ikhlas si Udin meninggal, daripada Udin hidup sengsara dengan emak)

"Saya minta maaf Mak, saya gak becus ngejaga anggota saya Mak." Ucap Genna yang masih merasa bersalah.

"Moal unggal waktu maneh ngajaga anggota maneh. Maneh ge boga kahirupan sorangan, geus tong sok nyalahkeun sasaha, da ieu mah takdir ti Gusti." Kata Ntin dengan air mata yang terus mengalir di pipinya.
(Gak akan tiap waktu kamu ngejaga anggota kamu. Kamu juga punya kehidupan sendiri, udah jangan menyalahkan siapapun, karena ini sudah takdir dari Tuhan)

GENNAIOS ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang