TMA! 10

15.9K 1.6K 111
                                    

Malam semakin dingin, embun diluar mulai menyelimuti pekatnya gelap malam yang hampir tiba di penghujung waktunya.

Alunan piano yang mengalun pelan itu memenuhi ruangan. Arcylic meletakkan beberapa potongan daging jasad seorang wanita yang sudah ia awetkan sebelumnya kedalam ember besar, kemudian menyiramnya dengan cairan asam sulfat. Setelah seluruh potongan tubuh gadis itu terendam, Arcylic lalu membawa langkahnya untuk naik keatas, tangannya bergerak untuk memutar knop salah satu pintu yang terdapat di koridor rumah tersebut.

Segera, seulas senyum kecil terpasang diwajah Arcylic tatkala matanya disambut oleh sosok Oris yang terbaring dingin di atas ranjang yang ditaburi kelopak-kelopak mawar. Dengan senyap, Arcylic naik keatas ranjang, ikut membaringkan tubuhnya diatas kasur yang sama dengan mayat Oris.

"Aku lelah malam ini Oris, saking lelahnya mataku sampai tidak bisa terpejam." Ucap Arcylic sambil mengarahkan kepalanya kesamping untuk menatap mata Oris yang terpejam.

"Jangan tanya kenapa, aku dari mengubur madam Khiel dan James, mereka kabur, jadi aku membunuh mereka." Lanjut Arcylic, meski mayat disampingnya tersebut sama sekali tak mengubris, ia menghela nafas dalam beberapa saat kemudian, "Oris, menurutmu... Lily bagaimana? apa dia bisa dipercaya, apa dia tidak akan kabur setelah tahu semuanya?"

Arcylic terdiam cukup lama setelah mengutarakan pertanyaan, ia kembali menghela nafas, "lewat mata ini, kau pasti juga melihatnya, kan Oris?" Arcylic tersenyum kecil, "mata gadis itu indah, bukan?"

Segera setelah ucapannya berakhir, senyuman dibibir Arcylic memudar perlahan, ingatan pria itu tiba-tiba dipenuhi oleh perkataan Daniel tentang Lily pada dirinya saat mereka sedang berada di gudang. Tanpa sepatah katapun, Arcylic bangkit dari posisi tidurnya, berjalan keluar tak lupa mengunci pintu kamar yang jadi tempat pemakaman Oris, adiknya.

Mata Arcylic tertarik pada ruangan yang pintunya tak tertutup rapat, kamar yang digunakan Lily sebagai tempat tidurnya itu terbuka sedikit, Arcylic menatap isi dalam ruangan lewat celah pintu. Didalam sana,terdapat Lily yang tertidur sambil menekuk kedua kakinya kedinginan, tangan Arcylic bergerak untuk mendorong knop pintu, ia membawa langkahnya masuk saat melihat kalau jendela kamar Lily terbuka. Arcylic menatap keluar jendela selama beberapa detik sebelum ia menutup jendela tersebut. Tak ada yang dapat matanya pandang selain kegelapan. Bunyi jangkrik dan suara burung hantu yang entah datang darimana pun tak mampu ia temukan. Dengan senyap Arcylic menutup daun jendela tersebut, lalu memutar langkahnya segera setelah mengunci jendela.

Kaki Arcylic bergerak mendekati ranjang tempat di mana Lily terlelap, retina abu miliknya menatap wajah Lily yang tampak tenang tak terusik meski tubuhnya yang hanya berbalut dres selutut itu jelas mengatakan kalau sekarang ia tengah kedinginan.

Setelah beberapa menit mengamati wajah Lily, Arcylic melenggang keluar kamar. Ia kembali turun ke ruangan bawah tanah, memasuki sebuah pintu dari total dua pintu dengan jarak cukup jauh di bawah sana, ia memakai sarung tangan, memasang kacamata serta mengganti sepatunya dengan sepatu boot. Alunan piano yang berasal dari piringan kaset gramofon masih berdenting pelan. Arcylic menghampiri ember yang berisikan rendaman daging mayat wanita yang dibawanya dari gudang.

Kini, potongan-potongan daging dalam ember besar itu sudah berubah menjadi cairan. Tulang dan daging wanita malang itu melebur dan larut didalam cairan asam sulfat. Arcylic mengangkat ember penuh tersebut, ia menuangkan isinya ke dalam sebuah wadah besar berisikan semen lalu mengaduknya menggunakan sekop.

TMA!

Pagi sudah menjelang, seorang pria berjalan menyusuri Kota, disetiap langkahnya, ia selalu menaruh harapan kalau dirinya pasti bertemu dengan Lily. Pria tersebut menggendong sebuah ransel, dan dari penampilannya siapa pun pasti bisa menebak kalau pria itu datang dari jauh.

"Permisi, apa kau pernah melihat gadis ini?" tanyanya pada dua orang pria yang sedang duduk di kursi taman. Salah satu dari pria itu menyambut foto yang diperlihatkan pria tersebut.

Cukup lama keduanya memperhatikan foto Lily, "tidak lihat, memangnya ada apa dengannya anak muda?" tanya salah satu dari mereka.

Pria tersebut tampak sedikit kecewa, "aku sedang mencarinya, ia pergi sekitar tiga minggu yang lalu." Jawab pria tersebut, tangannya bergerak untuk menjangkau foto Lily kembali, "baiklah terimakasih." Lanjut pria tersebut hendak berpamitan.

"Tunggu sebentar!" pria yang tadinya duduk kini berdiri, "siapa namamu?"

Pria yang hendak pergi itu menahan langkahnya, "aku Brian." Jawabnya, mendengar jawaban Brian, pria didepannya itu tersenyum, "kenalkan, aku Luke, dan temanku ini Thomas. Kau tampak datang dari jauh, bagaimana kalau kita berbincang-bincang sejenak, hilangkan rasa penatmu." Tawar Luke sambil tersenyum, ucapannya membuat Brian tersenyum sungkan, "terimakasih ajakannya, tapi maaf mungkin lain kali. Aku harus mencari Lily." Tolaknya sopan.

"Oh kalau begitu baiklah, semoga kita bertemu lagi dilain waktu, Brian." Luke menepuk pundak Brian pelan, Brian tak merespons, ia hanya mengangguk pelan, "kalau begitu aku permisi..." Ucap Brian lalu melangkah pergi. Berjalan beberapa meter, ia bertemu seorang pria tinggi yang sedang berjalan menuju dirinya. Pandangan pria itu menatap dirinya lekat, karena merasa pria itu sedikit aneh, Brian tak bermaksud untuk menanyakan Lily pada dirinya.

"Kau mencari Lily?" suara berat yang terdengar begitu ramah itu sampai ke telinga Brian, ia menatap pria yang berjarak tak jauh dari tempatnya berada. Mata sayu yang tampak enggan terbuka sempurna itu tampak lelah.

"Kalau Lily yang kau maksud adalah gadis dalam foto itu, maka kau tak perlu mencarinya lagi, dia ada bersamaku."

Mata Brian berbinar saat mendengar perkataan pria didepannya, "benarkah?" tanyanya sambil tersenyum senang. Pria di depannya tak langsung menjawab, pandangannya tertuju pada Thomas dan Luke yang diam memperhatikan dari tempat duduknya.

"Ya, ikutlah ke rumahku setelah urusanku selesai. Kau boleh bawa Lily pulang bersamamu nanti." Arcylic tersenyum simpul, "pergilah ke kafe di dekat sini, jika nanti urusanku sudah selesai, aku akan menghampirimu." Lanjut pria tersebut.

"Oh ya... Namaku Arcy." Pria tersebut mengulurkan tangannya.

"Aku Brian," Brian menyambut uluran tangan Arcy, "terimakasih banyak Arcy, terimakasih banyak."

Untuk sesaat Arcylic tak menjawab, ia terus tersenyum selama beberapa menit, "jangan berterimakasih terlalu cepat Brian, karena ucapan itu tidak bisa ditarik." Ucap Arcylic, "omong-omong, kau memiliki mata yang indah." Arcylic menyudahi jabatan tangannya pada tangan Brian, pria itu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana.

"Mata yang indah?" ucap Brian tak percaya, ”seharusnya aku yang mengatakan itu padamu Arcy, warna matamu jarang dimiliki orang lain."

"Ini bukan mataku..." Arcylic berucap serius, membuat senyuman Brian berubah menjadi senyuman canggung dalam sekejap, "bukan matamu? apa maksudnya?"

Arcylic tak menjawab, ia menatap Brian dengan saksama, ”...hanya bergurau." Ucapnya kemudian, disusul kekehan pelan.

THAT MAN ARCY!
To be continue...

Hallo guys, maaf ya lama ga update padahal udah janji mau update tiap hari. Kemarin aku dilema banget soalnya nentuin cover novel ISTD mau gimana.

Ya, walaupun sekarang udah jadi sih, udah aku kirim ke penerbitnya juga. (Jangan kecewa kalo covernya nanti jelek, hehe.) Pokoknya maaf ya.

Btw, jangan lupa komen sama ngasih vote kalau mampir, karena itu juga mempengaruhi semangat aku buat nulis chapter lanjut. :')

Love u all.

THAT MAN ARCY! ✔ (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang