TMA! 20

11.7K 1.1K 27
                                    

Jalan setapak yang diatasnya terdapat banyak batu kerikil yang tertanam itu terus menjadi pijakan dari langkah Arcy dan Lily. Mereka sampai di depan sebuah bangunan tua yang cukup besar,

"Ini tempat tinggalmu?" tanya Arcy setelah Lily menghentikan langkah, gadis itu menoleh wajah Arcy, "iya, tapi ada yang aneh ..." Jawab Lily, "sepertinya tempat ini kosong," jeda, Lily mengarahkan pandangannya ke sekitar, "kemana semua orang?"

Arcy tak menjawab, membuat suasana menjadi hening selama beberapa waktu. Tak berselang lama, sebuah mobil melintas, Arcy dan Lily memperhatikan mobil tersebut, lajunya memelan, lalu berhenti tak jauh dari letak Lily dan Arcy. Seorang pria paruh baya turun dari dalam mobil.

"Lily?"

"Ah, paman Baron, mau kemana?" tanya Lily kemudian.

Pria paruh baya bernama Baron itu tak menjawab ia menoleh Arcy selama beberapa detik, "siapa pria ini, dan darimana saja kau?"

Arcy tersenyum kecil, "aku Arcylic, teman Lily." Arcy mengulurkan tangannya ke depan, Baron segera menyambutnya, "apa kau dari Kota?"

"Ya, begitulah ..." Jawab Arcy.

Keadaan sempat senyap selama beberapa saat, "paman, di mana bibi? di mana semua penghuni yayasan?" tanya Lily kemudian, Baron tak langsung menjawab, ia menghela nafas dalam, "banyak yang terjadi setelah kepergianmu, Lily, Grace tiba-tiba sakit parah, tiga hari yang lalu dia menghembuskan nafas terakhirnya, dan untuk semua penghuni panti, setengahnya berada dirumah Raffi, lalu setengahnya lagi, kabur. Aku tidak tahu kemana mereka pergi."

"Bibi, bibi sudah meninggal?" ulang Lily dengan mata yang berkaca, tubuhnya mematung, mengabaikan kalimat tambahan yang keluar dari mulut Baron.

Arcy tak bersuara, ia menoleh Lily dengan lekat.

"Kenapa tidak ada yang memberitahuku? " lanjut Lily, ia meminta pertanggung jawaban dari Baron, "Brian! di mana Brian, paman?!" isakan mulai keluar dari mulut Lily, ia menangis tak percaya akan kematian Grace, pemilik panti yang sudah menjadi tempat tinggalnya semasa kecil.

"Aku tidak tahu, Brian menyusulmu sebelum Grace meninggal. Tapi, sampai hari di mana Grace dikuburkan, kau maupun dirinya, sama sekali tidak terlihat." Jawaban final dari Baron membuat Lily mematung, ia memandang kebawah sambil menitikkan air mata, "... Tidak, semuanya pasti bohong, 'kan paman? aku, aku baru saja pergi satu bu---"

"Lily," tangan kanan Arcy mendarat dipundak Lily, "tenangkan dirimu ..." Lanjut Arcy pada kalimatnya, Lily membawa pandangannya pada pria itu, ia tak bersuara dan melanjutkan tangisannya, "Arcy ..." panggil gadis itu pelan, tubuh Lily mendekat, meminta pelukan. Sadar akan hal itu, Arcy menoleh Baron sejenak, pria paruh baya itu mengangguk mengerti. Membuat Arcy tak ragu untuk menyambut raga Lily, ia menenangkan gadis itu dalam pelukannya.

"Kalian akan menginap?" tanya Baron kemudian.

"Ya, sepertinya begitu." Arcy menjawab, jari-jarinya mengelus pelan rambut Lily, gadis itu masih menangis dalam pelukan Arcy.

"Kalau begitu, ikutlah bersamaku, kalian tidak mungkin tidur ditempat ini tanpa orang lain." Baron berjalan menuju mobilnya, meninggalkan sosok Lily dan Arcy yang masih ditempat mereka berdiri.

"Ayo, Lily ..." Arcy menurunkan tangannya dari kepala Lily.

TMA!

Hari sudah petang saat Malik masuk ke sebuah rumah makan, di tengah ruangan terdapat sebuah meja panjang berisikan belasan orang yang semuanya memakai setelan jas serupa dengan yang digunakan Malik saat ini.

"Oh, Malik! kau sudah sampai?" tanya seorang pria pada Malik yang masih dalam perjalanan untuk bergabung, "ya, maaf terlambat, aku ada sedikit urusan ..." Jawabnya sembari menarik sebuah kursi kosong lalu duduk diatasnya.

Sempat hening selama beberapa detik sebelum akhirnya seseorang di kursi ujung membuka kalimat, "ini hanya perkumpulan biasa, kenapa kau memakai topeng? ayolah, apa menurutmu kami ini bisa membunuhmu jika kami tahu seperti apa wajahmu, Malik?"

Keadaan kembali senyap untuk beberapa saat, "kau tidak akan mati seperti Daniel dan Damian ..." Kalimat yang terlontar dari orang yang sama itu diakhiri dengan kekehan pelan, disusul oleh semua anggota lainnya kecuali Malik.

"Apa ..." Malik menarik keluar topeng yang dipakainya, "yang kau bicarakan Sam?" tatapan tajam ia lontarkan pada seorang pria yang berada diujung meja. Segera, mimik wajah pria bernama Sam itu berubah terkejut, "ah, kau belum tahu kabarnya? Daniel dan Damian mati, mayatnya keduanya mengerikan ..." Kalimat Sam memelan diakhir.

"Tapi, bukankah aneh jika kau tidak tahu kabar kematian Daniel dan Damian sementara kau yang terakhir punya janji bersamanya, Malik?" pria yang duduk diseberang meja Malik melontarkan pertanyaan.

Malik membawa pandangannya untuk menatap pria itu, "... Aku tidak tahu," Jawabnya tanpa ekspresi.

"Haaah, orang bilang penjara akan penuh jika pelaku mengakui perbuatannya begitu saja," pria di samping Malik membetulkan posisi duduknya.

"Tck, tck, tck, lihatlah tatapan matanya itu, entah apa yang bisa dia lakukan pada kita, nanti." Sam kembali membuka mulut, Malik terdiam, ia mengamati satu persatu wajah anggota lelang yang sudah ia ikuti selama 9 tahun terakhir.

"... Kalian menuduhku?" tanya Malik tersenyum miring.

Sontak semua anggota tertawa saat mendengar pertanyaan Malik, "lihat, dia mengakuinya sendiri!" seru pria diseberang meja Malik, sesaat kemudian, ia kembali tertawa bersama anggota lain, Sam mendorong kursinya kebelakang lalu menunduk kebawah, menjangkau sebuah map cokelat dari bawah sana.

"Awalnya aku mengira kau adalah pria yang pintar sama seperti Arcy mengingat kalau kau dan dia berasal dari tempat yang sama, tapi setelah melihat dari caramu membunuh, tidak lagi." Sam menatap lekat wajah Malik dari tempatnya, "kau tidak menggunakan otakmu!" lanjutnya.

"Sidik jarimu ada di mayat keduanya, dan jika kami melapor ke Polisi tentang hal ini, kau akan langsung di penjara, Malik."

Malik bungkam, matanya mulai meredup malas kala mendengarkan perkataan Sam, "tapi untungnya, Cornell yang melakukan autopsi pada mayatnya jadi ka---"

"Kalau memang kalian berani, laporkan saja!" Malik mengangkat pandangannya untuk menatap semua orang, secara lekas, sebuah seringai lebar terukir di wajahnya, "kalian harus ingat kalau aku adalah satu-satunya anggota yang berasal dari tempat yang sama dengan Arcy, kalian orang Kota akan bubar begitu saja kalau sampai aku tidak ada di grup ini ..." Malik berdiri dari duduknya, "camkan itu!" lanjutnya tegas lalu berpaling untuk pergi begitu saja.

"Berhenti Malik!" seru Sam.

Seruannya berhasil membuat Malik menghentikan langkah, "kau mungkin lupa jadi aku akan mengingatkanmu satu hal, meski aku dan yang lainnya berasal dari Kota ini, namun itu tidak berarti kami tidak bisa membunuhmu jika kau sudah melewati batas, Malik."

Hening, Malik tak merespons, setelah cukup lama mematung Ia akhirnya membuka mulutnya untuk menjawab perkataan Sam, "memangnya kau pernah membunuh orang?" tanyanya sembari membalik tubuh, "apa kau tahu bagaimana sensasi yang ditimbulkan oleh jantungmu karena telah membunuh, hm?" Malik berdiri dibelakang kursi yang sempat ia duduki sebelumnya.

"Tidak, kan?" Malik menggeleng pelan sambil menyeringai, Sam maupun yang lain terdiam.

"Kau hanya menggertak Sam, sementara aku bertindak, nantikanlah hari kematianmu, juga kalian semua!" Malik menjangkau topengnya diatas meja lalu melenggang dengan langkah yang terburu-buru.

THAT MAN ARCY!
To be continue ...

THAT MAN ARCY! ✔ (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang