TMA 23

9.2K 1.1K 122
                                    

Rintik hujan menemani kepulangan Arcy dan Lily, meski mobil yang mereka kendarai sudah melaju cukup jauh, namun tak ada dialog sepatah katapun yang keluar dari mulut Lily, sejak saat Arcy mengajak dirinya untuk pulang, ia tidak sama sekali mengeluarkan suara.

Pikiran gadis itu dipenuhi oleh mayat Raffi, serta ekspresi yang terpasang di wajah Arcy saat didepannya terdapat seorang mayat yang sudah ia bunuh. Berlalu beberapa detik, Lily lalu menelan saliva, dengan ragu ia menoleh kesamping, untuk menatap wajah Arcy yang saat ini tengah fokus mengemudi.

"Ada yang ingin kau katakan, Lily?"

Lekas Lily menarik kepalanya untuk kembali menatap ke depan saat Arcy membuka mulut, selama beberapa detik, Lily terdiam. Tak menjawab pertanyaan Arcy, "a,ah ti,tidak ... Tidak ada." Jawab Lily pelan. Mendengar jawaban Lily yang tampak takut membuat Arcy kembali bungkam, membuat keadaan di dalam mobil tersebut menjadi canggung.

"Apa kau takut padaku?"

Setelah cukup lama terdiam, akhirnya Arcy kembali membuka kalimat, Lily tak langsung menjawab, ia duduk dengan gelisah, tak tahu harus menjawab apa.

"Jangan bersikap seperti ini, sudah aku katakan berulang kali untuk tidak menunjukkan ekspresi apapun padaku, karena aku tidak akan peduli ..." Ucap Arcy kemudian, "kau, tampak begitu ketakutan karena melihat aku membunuh pria itu, tapi maaf Lily aku tidak akan memikirkan bagaimana perasaanmu sekarang ini, pria itu ... Mengingatkan aku pada orang yang telah membuat aku dan Oris jadi menjalani kehidupan seperti sekarang, jika hal itu membuatmu takut untuk bersamaku, maka pergilah. Keluar dari duniaku sebelum aku benar-benar menyukaimu ..."

Lily terdiam, ia membawa pandangannya untuk menatap wajah Arcy. Kalimat yang barusaja keluar dari mulut pria itu membuat dilema dalam hatinya, disatu sisi, Lily sangat ingin melarikan diri sekarang setelah melihat kalau Arcy telah membunuh seseorang yang ia kenal di depan matanya sendiri. Namun di sisi yang lain, Lily merasa berat karena telah jatuh cinta secara telak pada Arcy, perasaan Lily padanya seolah bisa dikatakan kalau tanpa melihat wajah Arcy untuk sehari saja, maka gadis itu tidak akan bisa menjalani harinya.

Pikiran-pikiran itu membuat Lily lagi-lagi tak menjawab perkataan Arcy, ia memilih diam sambil menundukkan kepalanya ke bawah. Menatap lekat kedua tangannya yang ia satukan di atas paha.

"Aku akan menurunkanmu di sini jika kau ingin pergi," kembali, Arcy membuka suara, kini disertai dengan tolehannya pada sosok Lily, kedua mata abunya berkilat tajam, menandakan kalau saat ini ia serius dengan perkataannya. Laju mobil memelan, dan hal itu membuat Lily sedikit panik, ia mengangkat kepalanya, menatap keluar. Mereka berada di bibir hutan, tempat yang memisahkan letak Kota dan tempat tinggal Arcy.

"Pergilah ..." Ucap Arcy kemudian, mata Lily berkaca, ia menoleh Arcy dengan tatapan yang dalam dan memelas.

"Aku, aku ..."

"Jangan bohongi dirimu Lily, kau ingin pergi dariku, bukan? kau takut padaku." Arcy tersenyum tipis, "ya, aku tidak menyalahkanmu atas hal itu, terkadang aku juga ketakutan pada diriku sendiri, tapi inilah aku. Pria gila yang hidup entah karena apa," tangan Arcy bergerak untuk menggenggam kedua tangan Lily yang sejak tadi ia satukan.

"Pergilah, duniamu sangat berbeda denganku. Anggap saja pertemuan kita tidak pernah terjadi dan jalanilah hidupmu dengan baik."

Mata Lily memanas, air mata mengalir membasahi kedua pipinya. Sempat berlalu beberapa saat sebelum akhirnya ia membuka pintu mobil lalu berlari ke belakang. Arcy terdiam, tangannya bergerak untuk membuka dashboard mobil, mengeluarkan sebuah pistol dari dalam sana lalu ikut keluar.

Sosok Arcy mematung saat matanya berhasil melihat Lily yang berada di belakang mobilnya sambil menangis, mata gadis itu menatap Arcy dengan segala kesedihan yang dimilikinya.

"Mau apa kau dengan pistol itu, Arcy?" tanya Lily disela tangisannya, ia melangkah memutar, mendekati sosok Arcy, "apa kau akan menembakku dari belakang saat aku berlari pergi, hm?" suara Lily terdengar bergetar, langkahnya berhenti tepat di hadapan sosok Arcy.

”… kenapa?" tanya Lily lagi, "kenapa kau menyuruhku pergi kalau kau akan menembakku? kenapa?!" tangan Lily memukul-mukul dada Arcy, "bunuh saja aku sekarang, bunuh saja ..." Lily meluruh duduk, "bunuh saja ..." gumamnya.

Arcy sama sekali tak mengeluarkan suara, pandangannya mengikuti pergerakan tubuh Lily yang kini tangisnya pecah. Keadaan menjadi hening, hujan yang kian melebat mulai membasahi rambut keduanya.

"... Aku, tidak suka jika ada orang yang kukenal pergi meninggalkanku." Arcy berucap datar, rambut abunya mulai turun karena basah oleh air hujan siang itu. Tangisan Lily perlahan mereda, ia mendongak ke atas, menatap wajah Arcy yang basah oleh tetesan air hujan, sama seperti dirinya.

"Aku tidak pernah mengatakan kalau aku akan meninggalkanmu kau yang memintaku untuk per---"

"Bohong," potong Arcy, ia menyeringai samar, "kau berbohong." Dalam sekejap, wajah Arcy kembali datar, "tidak ada satupun manusia di dunia ini yang mau tinggal bersama pembunuh, kecuali ..." Arcy menjeda kalimatnya, "orang itu juga seorang pembunuh."

Lily terdiam, ia terus menatap wajah Arcy dari tempatnya berada.

TMA!

Alunan instrumental piano yang mengalun dari gramofon di rumah Arcy, menemani setiap langkah milik Malik. Pria itu menyiapkan banyak makanan di meja, setelah makanan terakhir yang ia bawa selesai tertata, senyum kecil lalu terukir di bibirnya.

Ia melepas tali apron dari pinggangnya lalu melangkah menuju ruang tengah saat terdengar suara mesin mobil mendekat.

Malik membuka pintu, tubuhnya mematung saat melihat Arcy berjalan masuk bersama Lily.

”Arcy?" panggilnya dengan wajah tanpa ekspresi. Arcy tak menjawab, ia menatap wajah Malik sambil tersenyum kecil, ”kenapa kau di rumahku, Malik?" tanyanya kemudian.

Lily yang baru kali ini melihat wajah Malik tak berani untuk menyapa karena mimik wajah pria itu tampak sedang tidak senang, "aku pikir, semuanya akan berakhir. Aku kemari untuk menyambu---"

"Malik ..." Potong Arcy pada kalimat Malik, ia berjalan mendekati sosok Malik yang berada diambang pintu, Arcy juga melebarkan senyuman kakunya.

"Kau tahu kalau bisa saja ayah mengetahui semuanya kalau kau bersikap seperti ini, bukan? kita sudah susah payah mencapai semuanya sampai bisa seperti ini, jadi jangan menghancurkan semuanya hanya karena kau tidak bisa bersabar sedikit saja," ucap Arcy setengah berbisik.

Malik tak langsung menjawab, matanya mendelik tajam untuk menatap Lily selama beberapa detik.

"Maaf," tutur Malik dengan tatapan kosong.

"Tentu," Arcy memasukkan kedua tangannya kedalam saku celana, ia menoleh Lily, "Lily masuklah ..." Ucapnya kemudian.

Lily mengangguk, ia berjalan masuk kedalam, melintasi sosok Malik yang tubuhnya mengeluarkan aura kesal.

Arcy mengeluarkan salah satu tangannya lalu menjangkau pipi Malik, "kau melakukan semuanya dengan begitu baik, Malik. Tapi, sebelum kita bersama, ada satu tugas terakhir yang harus kau lakukan ... Setelah itu, aku akan segera mengunjungimu, dan kita bisa hidup bersama."

"Apa itu?"

Arcy tak menjawab, ia menurunkan tangannya dari pipi Malik lalu tersenyum aneh, "bunuh semua orang yang ikut dalam pelelangan online yang dibuat Damian."

THAT MAN ARCY
To be continue ...

Selamat berpusing ria.
Ada yang mulai ngerti alurnya ini gimana? kalo iya coba  komen.

But, aku rasa bukannya ngerti kalian malah makin bingung sih, sama alurnya, Wkwk. Bentar lagi aku bakal bikin bab masalalu yang bakal ngejelasin semuanya, so stay tune.

THAT MAN ARCY! ✔ (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang