Mata Brian meliar menatap sisi kiri dan kanan ruangan depan tempatnya berada sekarang, menatap banyak kepala rusa yang diawetkan dan digantung serapi mungkin ditembok kayu.
"Brian,"
Sontak Brian membawa pandangannya kearah belakang, di sana terdapat Jakson yang membawa nampan berisikan segelas air putih, "maaf karena aku hanya punya ini, kau tahu kalau tempat ini jauh dari Kota, dan mobilku sudah tiga minggu rusak, jadi aku tidak bisa pergi ke Kota untuk membeli kebutuhan hidup." Jakson meletakkan gelas berisikan air putih tersebut ke atas meja. Brian tersenyum, "tidak masalah paman, kau tidak perlu repot." Respons Brian ramah. Jakson duduk dikursi yang berada di seberang Brian.
"Jadi, kau datang dari jauh?" Jakson mengajukan pertanyaan.
Brian mengangguk kecil, selama beberapa detik, ia menatap gelas berisikan air putih yang terhidang dihadapannya, didalam gelas tersebut terdapat binatang kecil yang mengendap didasar gelas.
"... Aku datang dari Kota sebelah," ucap Brian sambil tersenyum masam, perasaannya mulai tak enak. Jakson tak lagi membuka mulutnya, ia menatap wajah Brian dengan lekat selama beberapa saat, menyadari hal itu, Brian menarik nafas pelan, ia berdiri dari posisi duduknya, "boleh aku pinjam kamar kecilnya, paman?"
Jakson ikut berdiri, ”tentu, mari aku antar." Brian berjalan dibelakang tubuh Jakson yang mengenakan jas rapi namun sedikit lusuh, bau tak sedap juga samar tercium dari tubuhnya yang terus melangkah ke depan. Di tengah perjalanan menuju letak kamar kecil, mata Brian tak henti menatap ruangan sekeliling, rumah yang tak begitu besar itu tampak berdebu, seperti tempat yang jarang dikemasi.
"Kamar kecilnya di sana, silakan Brian," ucap Jakson menghentikan langkah, Brian menatap pintu kecil diujung ruangan, "terimakasih." Jawabnya lalu berjalan menuju pintu tersebut, sesekali Brian menoleh kebelakang, menatap Jakson yang terdiam ditempatnya berdiri. Ketika membuka pintu, mimik wajah Brian sontak berubah jijik, bagaimana tidak, ruangan kecil di sebalik pintu itu tampak begitu kotor. Brian kembali mengarahkan pandangannya kebelakang, sosok Jakson sudah lenyap dari tempatnya berada.
"Kemana dia?" gumam Brian pelan, ia menutup pintu kamar kecil tersebut lalu melangkah menuju ruang tengah kembali. Di tengah perjalanannya, langkah Brian terhenti saat sepatunya menginjak sesuatu, ia mengangkat kakinya lalu memungut benda kecil yang barusaja ia pijak.
Sebuah patahan gigi.
"Brian!"
Brian terkejut saat mendengar namanya diserukan dari arah belakang, sontak ia menggenggam gigi tersebut, "kau sudah selesai?" tanya Jakson.
"A, ya, sudah ..." Jawab Brian panik.
Jakson yang menyadari hal itu menatap wajah Brian lekat, "ada apa?" tanyanya sambil melangkah mendekati sosok Brian.
"Tidak, tidak ada," jawab Brian mencoba setenang mungkin, namun tampaknya Jakson tak mempercayai ucapannya, "apa itu ditanganmu?" tanyanya seraya menoleh tangan kanan Brian dengan lekat, beberapa detik kemudian pandangannya naik untuk menatap wajah Brian, raut wajah Jakson berubah serius, "kau tahu, Brian. Ini rumahku dan tampaknya sekarang kau sedang menyembunyikan sesuatu, menurutmu apa yang sedang ada dalam pikiranku saat ini?"
Hening, Brian tak menjawab, ia menelan salivanya susah payah, perlahan tangannya terulur ke depan, "a,aku tidak sengaja menginjak ini." Brian membuka tangannya.
Jakson menoleh patahan gigi tersebut, berselang beberapa detik ia mengambil benda kecil tersebut, "ini gigiku, patah dua hari yang lalu. Kenapa kau menyembunyikannya?" ucap Jakson, ia memasukkan patahan gigi tersebut kedalam kantong celananya.
"Ah, itu---"
"Sudahlah, ayo ikut aku." Jakson melintasi tubuh Brian, "ke mana?" Brian mengajukan pertanyaan karena arah yang dituju Jakson bukan arah yang sama dengan yang tadi mereka lewati.
Jakson menghentikan langkah, ia menoleh kebelakang sambil tersenyum aneh, "kau akan tahu nanti."
TMA!
Lily menatap wajah Arcylic yang juga sedang menatap wajahnya, "pulang?" ulang Lily meyakinkan, "pulang ke mana?"
Arcylic tak langsung menjawab, ia memundurkan langkahnya, memberi ruang untuk Lily bernafas normal, "kau tak punya tempat pulang?" tanyanya setelah beberapa detik.
Lily terdiam, tatapannya berubah bimbang, sangat jelas terlihat kalau ia ragu untuk mengatakannya pada Arcylic, "kalau tidak ingin memberitahuku, tidak masalah. Aku hanya bertanya, barangkali ada seseorang yang mengkhawatirkan keberadaanmu diluar sana."
"Tidak, bukan begitu ..." Tukas Lily, "sebenarnya, aku ingin pulang, bahkan sangat ingin." Jawab Lily, ia kembali menundukkan kepalanya kebawah.
"Lalu?"
"Aku tidak ingin menikah, kalau aku pulang maka aku harus menjadi isteri seorang pria tua di Desa." Suara Lily memelan diakhir kalimat, Arcylic tak menjawab membuat keadaan menjadi senyap. Berselang beberapa detik, suara tawa pelan Arcylic sampai ketelinga Lily, membuatnya kembali menatap pria tinggi dengan rambut abu tersebut.
"Kau tertawa?" tanya Lily.
Arcylic menghentikan tawanya, "ya, aku tertawa karena alasanmu tidak masuk akal, gadis bodoh mana yang pergi dari rumah hanya karena tidak mau menikah?" ucapan Arcylic terdengar setengah mengejek, Lily yang mendengarnya tentu jengkel.
"Pria itu sudah tua! isterinya juga sudah tiga, siapa yang mau, kalau kau bagaimana? memangnya mau menikah dengan gadis yang---"
"Menikah denganku saja." Potong Arcylic pada kalimat Lily, membuat gadis itu menghentikan kalimatnya. Ia mematung, menatap Arcylic yang memandangnya serius.
"Apa?" tanya Lily pelan.
Arcylic tersenyum miring, ia melipat kedua tangannya kedada, "tentu kau mau, bukan? dasar." Arcylic melenggang begitu saja, meninggalkan Lily yang masih diam ditempat, masih mencoba mencerna perkataan Arcylic.
"Lily," panggil Arcylic menghentikan langkah, Lily membawa pandangannya untuk menatap Arcylic yang kini menoleh dirinya, "aku tidak ingin jadi suamimu, jadi jangan dipikirkan," ucapnya kemudian.
"Aku juga tidak ingin menikah denganmu!" ucap Lily kesal, ia menantang mata Arcylic, mendengar jawaban Lily atas kalimatnya membuat Arcylic tersenyum.
"Baguslah kalau begitu."
TMA!
Daniel melangkah memasuki sebuah ruangan, didalam ruangan tersebut terdapat seorang pria gemuk yang tengah menghitung uang.
"Malik sudah mengirim uangnya, Damian?" tanya Daniel pada pria tersebut, ia duduk disalah satu sofa didalam sana.
"Ya, dia mengirimnya pagi tadi." Jawab pria bernama Damian tersebut. Mendengar jawabannya, Daniel jadi menghela nafas, ia menyandarkan punggungnya ke bahu sofa, "kau benar-benar cari masalah Damian, Arcy tidak ingin menjual Lily, aku sudah tanya sendiri. Tapi kau masih saja terima uangnya, apalagi, itu Malik kalau sampai---"
"Kalau sampai apa?" potong Damian cepat, "aku akan membujuk Arcy sampai dia berubah pikiran!" kekeuhnya.
Mendengar ucapan Damian, Daniel tersenyum miring, "terserahmu saja kalau begitu, kalau sudah seperti ini kau hanya punya dua kemungkinan, membunuh Arcylic atau dibunuh Malik. Kau berurusan dengan dua orang gila sekaligus Damian, aku tidak ingin ikut campur." Daniel bangkit dari duduknya, "aku pergi dulu, kalau nanti kau dibunuh, aku yang akan menggantikan posisimu sebagai pembawa acara pelelangan, ya?" ucap Daniel dengan senyum diwajahnya.
"Bangsat! itu tidak akan terjadi." Damian menutup dengan keras pintu brankasnya.
"Kita lihat saja nanti ...."
THAT MAN ARCY!
To be continue...YUK, MASUK KE PERMASALAHAN ORANG-ORANG SINTING INI.
KAMU SEDANG MEMBACA
THAT MAN ARCY! ✔ (SUDAH TERBIT)
Mystery / ThrillerPart lengkap! Juga tersedia di Shopee Rank #1 di Thriller (14 Des 2021) Rank #1 di Misteri (02 Jan 2022) Rank #1 di Mystery (24 Jun 2022) "Kau takkan bisa lepas dariku sekalipun jika kau mati, Lily." - Arcylic Darel Tristan. THAT MAN ARCY, August 2...