TMA 24

8.7K 1K 28
                                    

Tetes air hujan yang jatuh dari ujung genteng yang terpasang di atas rumah Malik berjeda cukup lama. Di sebuah sofa dalam rumahnya, ia duduk sambil menatap kosong layar televisi yang terus memutar video Omar. Sesekali, ia melirik ke pojok atas ruangan tersebut. Sebuah kamera CCTV yang sudah ada sejak lama itu, terus saja merekamnya sepanjang hari, persis seperti saat dirinya menonton film dokumenter milik Omar.

Pikiran Malik berlari jauh, ingatannya kembali ke masa lalu. Tepatnya pada tahun 2000, dimana dirinya dan Arcy sudah mengenal satu sama lain selama dua tahun terakhir.

TMA!

Juni, 2000.

Angin siang berhembus, melayangkan rambut hitam Arcy, saat ini ia duduk di salah satu kursi kayu yang terdapat di tepi lapangan bola.

"Kau tidak ingin main, Arcy?" Malik ikut duduk di samping Arcy, hal itu berhasil membuat Arcy membawa pandangannya untuk menatap wajah Malik yang berkeringat.

"Tidak, aku tidak suka main bola, aku kesini hanya ingin melihat Oris ..." Jawab Arcy, ia merogoh saku celananya, mengeluarkan sebuah sapu tangan dari dalam sana, "ini, kau berkeringat."

Malik sempat terdiam beberapa detik sebelum menyambut uluran sapu tangan tersebut, "terimakasih, Arcy ..."

"Hm," jawab Arcy, pandangannya kembali mengarah ke depan. Menatap segerombol anak laki-laki yang saling memperebutkan bola, riuh yang diselangi suara tawa terdengar, mata Arcy terus mengawasi Oris yang terlihat senang bermain di tengah lapangan.

"Malik, apa yang akan kau lakukan kalau sudah besar nanti?" Arcy kembali membawa pandangannya untuk menatap Malik.

"Aku?" ulang Malik, ia tampak berpikir sambil mengelap wajahnya, "tidak tahu ... Aku belum putuskan. Tapi kemungkinan besar, aku hanya akan mengurus kebun bungaku," jawabnya lalu tertawa kecil, "kau sendiri, bagaimana Arcy? apa yang akan kau lakukan kalau sudah dewasa nanti?"

Arcy tak langsung menjawab, kedua sudut bibirnya tertarik ke atas, "aku juga tidak tahu, tapi saat dewasa nanti, aku ingin Oris dan kau ada bersamaku," ucapnya sambil terus tersenyum, "mari lakukan hal yang menakjubkan bersama-sama, Malik."

"Tentu ..." Setuju Malik.

Haris semakin siang, beberapa anak yang sebeumnya bermain bola di tengah lapangan, kini bubar teratur, dan diantara belasan anak itu, terdapat Oris dan Omar yang saling merangkul, mereka mendekati sosok Arcy dan Malik yang berada di atas kursi yang terdapat di bawah pohon.

"Arcy!" seru Oris sambil tersenyum, "apa kau lihat waktu aku menendang bola masuk tadi?" ucapnya, ia melepas rangkulannya pada bahu Omar.

"Tentu, itu sangat keren ..." Respons Arcy, ia bangkit dari duduknya lalu mengelap wajah Oris menggunakan telapak tangannya, "tapi Oris, aku tidak akan mengizinkanmu main lain kali, aku lihat dari sini kau terjatuh beberapa kali."

Sontak wajah ceria Oris memudar, "ah, itu karena aku baru pertama kali main, aku belum terbiasa Arcy, jika kau mengizinkan aku untuk main lagi bulan depan aku---"

"Tidak, Oris." Potong Arcy pada kalimat Oris, hal itu membuat Oris jadi terdiam, ia menatap wajah Arcy dengan tatapan kecewa, "kau melakukannya lagi ..." Arcy berucap sambil tersenyum, ia menyudahi tindakannya yang sempat mengelap keringat dari wajah Oris.

"Ma,maaf," gumam Oris.

Arcy tak menjawab, ia menoleh Omar dan Malik yang sibuk membahas tentang permainan bola yang hanya diadakan sebulan sekali tersebut, "Omar, Malik ..." Panggil Arcy, "dibanding yang lain, aku lihat kalian berdua cukup akrab, kenapa tidak putuskan untuk berbagi rumah saja nanti."

"Berbagi rumah?" ulang Omar, ia kemudian tersenyum, "itu masih lama sekali Arcy," ucapnya.

"Hanya tersisa lima tahun sebelum aku dan Malik berumur 17, jadi gunakan saja waktu lima tahun itu untuk kalian lebih mengenal satu sama lain, bukankah akan lebih menyenangkan jika rekan serumah kita adalah orang yang kita kenal, daripada nanti ayah menempatkanmu bersama yang lain? apalagi kalau sampai bersama Jakson, mungkin kau akan diminta untuk menemaninya belajar cara memotong daging setiap bulannya ..."

"Benar juga ... Hidup bersama tukang jagal seperti Jakson pasti sangat mengerikan." Malik ikut mengeluarkan suara, "kalau begitu, aku akan bilang pada ayah kalau aku dan Omar akan serumah nanti."

Arcy tak lagi menjawab, senyum kecil terus terpasang di wajahnya.

TMA!

April, 2015

Arcy terbaring di atas ranjang kamar yang menjadi tempat peristirahatan terakhir Oris, ia menjadikan dada Oris sebagai alas kepalanya, pria itu menatap langit-langit kamar yang berwarna putih kemerahan karena sinar lentera yang terpasang di dalamnya.

Berselang cukup lama, Arcy lalu bangkit, ia turun dari atas ranjang lalu menjangkau ember kecil berisi air, mencelupkan handuk putih ke dalamnya. Helaan nafas terdengar dari Arcy setelah ia naik kembali ke atas ranjang. Dengan diam, ia mulai mengelap dengan pelan wajah pucat milik Oris yang sedikit demi sedikit mulai kehilangan daging pipinya.

"Belakangan ini, kau jadi terlihat kurus Oris ..." Ucap Arcy pelan, selesai mengelap wajah Oris, tangan pria itu lalu bergerak untuk melepas kancing jas serta kemeja putih yang melekat di tubuh Oris.

Arcy terdiam saat melihat dada penuh jahitan milik Oris sudah memiliki beberapa bagian yang mulai menghitam.

"Apa kau marah karena aku jarang memperhatikanmu, Oris?" Arcy kembali mengancingkan kemeja yang dipakai Oris. Ganti menatap wajah yang tampak tenang tersebut, "apa kau akan meninggalkanku untuk kedua kalinya?”

"Arcy?"

Perhatian Arcy teralihkan oleh suara Lily yang terdengar dari luar ruangan. Tanpa mengatakan hal lain, Arcy turun dari atas ranjang Oris, keluar dari kamar tersebut lalu berjalan menyusuri koridor.

"Arcy? kau di mana?"

"Di sini ..."

Segera Lily memutar tubuhnya, berjarak beberapa meter terdapat sosok Arcy yang berdiri di depan sebuah pintu.

"Ah, sejak kapan kau di sana?" Lily berjalan menghampiri sosok Arcy, "barusaja, aku mendengarmu memanggil namaku, jadi aku keluar, ada apa?"

Lily tersenyum kikuk, "se,sebenarnya, aku lapar ..." Ucapnya dengan nada yang mengecil di akhir kalimat. Arcy yang mendengarnya tak menjawab sepatah katapun, ia terus memperhatikan wajah Lily. Sadar kalau Arcy memperhatikannya dengan tatapan aneh, Lily merasa heran.

"Kenapa menatapku seperti itu?"

"Tidak, hanya saja aku heran. Bagaimana bisa kau bersikap seperti tak terjadi apa-apa sementara kau melihatku membunuh seseorang tepat di depan matamu sendiri?"

Wajah Lily berubah begitu mendengar perkataan Arcy, "...  Ka, kau kan, membunuh karena ingin me,membela diri, ja---"

"Kalau aku melakukannya bukan karena ingin membela diri, bagaimana?" seulas senyum terpasang di wajah Arcy, ia terus menatap Lily yang berada tak jauh darinya.

"I,itu ... Itu tidak mungkin," jawab Lily ragu.

Keadaan menjadi senyap selama beberapa saat, "...  Benar, itu tidak mungkin. Aku tidak mungkin membunuh seseorang secara sengaja, kan Lily?"

"I,iya ..."

THAT MAN ARCY!
To be continue ...

THAT MAN ARCY! ✔ (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang